ICW: KPK Bisa Jerat Korporasi Penerima Aliran Dana e-KTP
Berita

ICW: KPK Bisa Jerat Korporasi Penerima Aliran Dana e-KTP

Selain penyalahgunaan wewenang, ICW anggap Novanto bisa dikenakan pencucian uang.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
ICW. Foto: RES
ICW. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk tidak melakukan upaya banding atas putusan Setya Novanto. Hal yang sama dilakukan oleh mantan Ketua DPR itu yang tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta atas vonis 15 tahun yang diputus majelis.

 

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai seharusnya sejak awal KPK menuntut Novanto dengan pidana seumur hidup. Sehingga jika tuntutan itu tidak disetujui majelis dan menghukum jauh lebih ringan, maka penuntut umum bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

 

"Kalau enggan bandingnya kan cuma beda setahun ya, ya semestinya kalau mau dituntut dari awal seumur hidup kan semestinya lebih baik. Tapi kan dalam kasus ini SN cuma dituntut 16 tahun, dan kemudian divonis 15 tahun," kata Adnan di Kedutaan Besar Inggris, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (2/5/2018). Baca Juga: Hukuman Maksimal Setya Novanto

 

Menurut Adnan, jika kedua belah pihak tidak keberatan dengan putusan pengadilan tingkat pertama, maka artinya Setya Novanto sudah bisa dieksekusi. Namun hal itu bukan berarti perkara korupsi yang melibatkan Novanto telah usai, tetapi KPK bisa bekerja menjerat Novanto dengan kasus selanjutnya.

 

"Tinggal kemudian kalau KPK tidak banding berarti ada pekerjaan lain yang harus segera dilakukan yaitu menjerat Setya Novanto dengan TPPU dan juga korporasi, korupsi korporasi," terangnya.

 

Indikasi Novanto akan dijerat dengan pencucian uang memang tampak dari surat tuntutan yang menyebut pengaturan uang yang dilakukan Made Oka Masagung, orang yang disebut sebagai kepercayaan Novanto. Dalam tuntutan penuntut umum menganggap pengaturan uang mulai dari penerimaan, diproses di luar negeri terindikasi pencucian uang dengan model "Hawala".

 

Sedangkan terkait dengan korupsi korporasi Adnan berpendapat dalam kasus e-KTP ini terlihat banyak perusahaan yang terlibat. Kemudian dari berbagai macam proses penegakan hukum di Pengadilan Tipikor itu terlihat jelas pihak korporasi menikmati uang dari korupsi e-KTP ini.

 

"Nah, kalau itu tidak dilakukan ya aset recovery-nya nanti akan sangat kecil dan itu merugikan karena dampak korupsi di e-KTP ini luas sekali. Bukan hanya uang proyeknya gede, tapi juga masyarakat ini kan akhirnya kehilangan akses terhadap id (kartu identitas) mereka sendiri," jelasnya.

 

KPK dan Novanto terima putusan

Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail kepada Hukumonline menyatakan pihaknya memang menunggu langkah yang dilakukan KPK untuk memutuskan apakah akan menerima atau melawan putusan hakim Tipikor. Menurutnya, jika KPK banding, maka pihaknya akan melakukan hal yang sama, begitupula sebaliknya.

 

"Ada lawyer yang lagi cek ke PN Jakarta Pusat, KPK banding atau tidak banding. Kalau KPK banding, Pak SN akan banding. Kalau KPK terima pak SN akan terima," ujar Maqdir.

 

Dengan KPK menerima putusan ini, maka kuasa hukum melakukan hal yang sama, yaitu tidak akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Alasannya, Novanto dan keluarga tidak ingin lagi larut dalam hiruk pikuk kasus ini dan ingin melihat perkara yang menimpanya secara utuh.

 

Tiga terdakwa kasus e-KTP lainnya yaitu Irman dan Sugiharto serta Andi Narogong dipidana lebih lama oleh pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi. Mereka masing-masing dipidana 15 tahun untuk Irman dan Sugiharto serta, 11 tahun untuk Andi Narogong.

 

Saat ditanya apakah hal ini juga menjadi dasar pihaknya memikirkan masak-masak untuk mengajukan banding, Maqdir menampiknya. "Tidak ada hubungannya dengan putusan perkara yang lain," tutur Maqdir.

 

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menegaskan pihaknya menerima putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang memutus sedikit lebih rendah dari tuntutan selama 16 tahun dan putusan menjadi 15 tahun. Menurut Syarif, angka tersebut sudah memenuhi 2/3 dari ekspektasi penuntut umum.

 

"KPK menerima putusan karena kita anggap lebih dari 2/3 dan semua yang disangkakan juga diadopsi hampir seluruhnya oleh majelis hakim. Kita tuntut 16 tahun diputus 15 tahun," kata Syarif.

Tags:

Berita Terkait