ICW: Kepentingan Ekonomi dan Politik Menghambat Pemberantasan Korupsi
Berita

ICW: Kepentingan Ekonomi dan Politik Menghambat Pemberantasan Korupsi

Pemerintah sejak awal menempatkan institusi penegak hukum sebagai bagian dari tawar menawar politik.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
ICW saat konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2017. Foto: DAN
ICW saat konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2017. Foto: DAN

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang tahun 2017 agenda pemberantasan korupsi ditempatkan pada dua hal pragmatis. Yakni, kepentingan ekonomi jangka pendek dan kepentingan politik elit yang cenderung transaksional dan kompromis. Sementara pada saat yang sama, dunia politik seakan tidak merestui adanya upaya pemberantasan korupsi yang kuat dan serius. Hal ini dibuktikan dari jeratan parlemen terhadap KPK melalui skema Pansus Angket KPK.

 

Oleh karena itu ICW menyimpulkan bahwa niat negara untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik masih lemah. “Karena itu pula, menjadi tidak terlalu aneh jika pada tahun 2017 kita dihadapkan pada berbagai macam pelecehan norma dan etika yang ditunjukkan oleh banyak elit politik dan pejabat tinggi,” ujar Siti Juliantari, bagian Kampanye Publik ICW di Jakarta, Rabu (27/12).

 

Menurut Juliantari, di sektor ekonomi, prioritas pemerintah adalah bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas ekonomi. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif dan bersahabat.

 

“Berbagai proyek deregulasi, pemangkasan proses izin dan biaya berinvestasi serta penyediaan infrastruktur yang mendukung adalah contoh strategi pemerintah,” tambahnya.

 

Untuk itu, ia mengakui, keberhasilan pemerintah di sektor ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya rangking Ease of Doing Business (EODB) Indonesia dari posisi 91 menjadi 72. Proyek deregulasi memang memiliki keterkaitan erat dengan dengan prilaku antikorupsi. Asumsinya, aturan yang rumit serta proses yang berbelit-belit berpotensi melahirkan rente ekonomi. Untuk itu pemangkasan proses dipandang positif untuk mengurangi perilaku koruptif.

 

“Namun sayangnya pemerintah hanya fokus untuk membenahi tata kelola yang berkontribusi langsung terhadap perbaikan sektor ekonomi saja,” ujar Juliantari.

 

Sementara untuk aspek politik, berkali-kali Presiden melontarkan pernyataan bahwa KPK harus diperkuat. Salah satu tindakan kongkretnya adalah dengan tidak menghendaki revisi Undang-Undang KPK. Namun menurut ICW, hal itu tidak berlaku bagi Pansus Angket KPK. Kepentingan politik partai dan elitnya untuk menggergaji KPK tampaknya tak pernah berhenti.

 

Menurut Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina, KPK pada konteks konsolidasi kepentingan politik ekonomi elit dipandang sebagai gangguan yang serius. Telah banyak politisi yang diproses KPK. Baik mereka yang dalam posisi DPR/DPRD, Kepala Daerah maupun ketua umum partai hingga mereka yang berada di sektor swasta yang yang selama ini membangun kolusi dengan pejabat politik untuk mendapatkan akses anggaran dan proyek.

 

“Harus diakui bahwa KPK belum bisa menjangkau aktor besar yang selama ini dianggap sebagai oligarki, namun gebrakan KPK tampaknya sudah cukup dianggap merepotkan,” ujar Almas.

 

Bagaimana tidak, selain menggunakan Pansus Angket KPK, Komisi III DPR bahkan sempat mendorong gagasan pembentukan Densus Tipikor Mabes Polri. Menurut Almas secara politis, gagasan ini adalah sebuah strategi untuk menggeser fungsi dan wewenang KPK pada Mabes Polri melalui Densus. Targetnya, jika Densus Tipikor terbentuk, maka ada justifikasi baru untuk membubarkan KPK, sementara program pemberantasan korupsi yang akan dikerjakan Densus Tipikor tentu akan lebih mudah dikendalikan oleh parlemen.

 

Contoh lain dari upaya politik untuk menghambat kinerja KPK bisa dilihat dari berlarut-larutnya penanganan perkara Novel Baswedan. Kasus Novel Baswedan yang masih gelap ujung pangkalnya menjadi ujian kemauan politik Pemerintah untuk memperkuat dan melindungi kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK. “Sayangnya, sampai saat ini sinyal bahwa akan ada pelaku yang diseret ke meja hijau tidak ada sama sekali,” tambahnya.

 

Baca:

 

Penegakan Hukum Masih Tersendat

Menurut ICW, pemerintah sejak awal menempatkan institusi penegak hukum sebagai bagian dari tawar menawar politik. Akibatnya, sulit bagi publik untuk mengharapkan adanya gebrakan dan upaya serius, khususnya dari Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum korupsi. Komitmen Pemerintah terhadap penegakan hukum juga kian menipis karena anggaran penegakan hukum secara umum mengalami penyusutan atau pemangkasan.

 

Selama 2017, hampir tidak ada satu kasus korupsi besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri. Situasi penegakan hukum korupsi tertolong oleh gebrakan KPK yang terus menangani kasus cukup besar seperti E-KTP, BLBI, dan berbagai praktik suap yang melibatkan anggota DPR dan pengusaha.

 

Program untuk mendorong reformasi aparatur sektor penegakan hukum juga tidak tampak, kecuali penggunaan yang lebih intens mereka untuk menyapu bersih praktik pungli, yang secara positif memiliki dampak meski berjangka pendek, dan menempatkan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai pengawas langsung program dana desa.

 

“Alih-alih menjadikan program dana desa bebas dari masalah korupsi, berbagai keluhan aparatur desa mengemuka karena menjadi korban pemerasan oknum penegak hukum,” ujar Lola Ester dari Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW.

 

Selanjutnya, untuk potret wajah peradilan, tahun 2017 dibuka dengan penangkapan salah satu Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK pada 26 Januari 2017. Patrialis Akbar ditangkap oleh KPK karena menerima suap terkait dengan penanganan permohonan uji materill undang-undang.

 

Selain penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, MK juga diperhadapkan dengan masalah dugaan pelanggaran etik yang terkini dilakukan oleh adanya dugaan lobi politik yang dilakukan oleh Arief Hidayat untuk mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi. “Upaya lobi tersebut diduga dibarter dengan putusan menguntungkan bagi DPR RI dalam Uji Materil UU MD3 yang diajukan masyarakat sipil,” ujar Lola.

 

Selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga menghadapi salah satu permasalahan pelik akibat oknum panitera dan hakim pengadilan yang ditangkap karena melakukan korupsi. Per Oktober 2017, tercatat ada dua orang hakim dan satu orang panitera yang ditangkap oleh KPK karena menerima suap terkait penanganan perkara. Ia mencatat, paling tidak terdapat 25 oknum MA yang diduga terlibat dalam perkara korupsi.

 

“Hal ini menunjukkan reformasi lembaga pengadilan yang digagas sejak 2003 oleh MA belum bisa dianggap berhasil,” pungkas Lola.  

Tags:

Berita Terkait