Cost Recovery Masih Layak Dipertahankan
Berita

Cost Recovery Masih Layak Dipertahankan

Model apapun yang dipakai, peluang korupsi tetap ada.

CR-!4
Bacaan 2 Menit
Faisal Basri. Foto: Sgp
Faisal Basri. Foto: Sgp

Ekonom Faisal Basri berpendapat sistem cost recovery perlu dikeluarkan dari UU Migas karena dalam praktek sangat merepotkan. Cost recovery yang berlebih, kata Faisal saat memberi masukan untuk RUU Migas di DPR, 23 Januari lalu, bisa memberatkan perekonomian negara.

Namun menghapus sistem  cost recovery tak sepenuhnya diterima. Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer Institute), Pri Agung Rakhmanto, berpendapat cost recovery masih dianggap lebih baik dibanding sistem yang pernah dijalankan sebelumnya.

“Poin positif dari cost recovery itu negara bisa mengawasi setiap belanja yang akan dikeluarkan”, ujarnya kepada hukumonline dalam acara diskusi ‘Format Kelembagaan Ideal Pasca Putusan MK soal BP Migas’ di Kementerian BUMN, Jakarta, (30/1).

Sistem cost recovery digunakan karena negara berada pada posisi tidak mau mengeluarkan investasi sendiri tetapi negara mau mengontrol investasi yang dikeluarkan. “Negara tidak mau berinvestasi. Tetapi negara mau terlibat dalam manajemen untuk pengelolaannya. Di situ poinnya,” jelas Pri Agung.

Penghapusan cost recovery, sambungnya, justru akan mengancam posisi tawar Indonesia di depan investor. Sebab, Indonesia belum tentu dianggap sebagai negara tujuan utama investasi migas. Indonesia masih kalah dibanding Venezuela dan Arab Saudi. Karena itu, Pemerintah perlu hati-hati membuat kebijakan migas. ”Cadangan kita relatif kecil. Jadi, belum tentu ditawarkan sistem tanpa cost recovery orang menjadi tertarik,” imbuh Agung.

Sistem cost recovery atau bukan tetap mempunyai kelemahan. Termasuk peluang untuk penyelewengan atau korupsi. Pada sistem cost recovery, sebelum dibelanjakan terlebih dahulu dikontrol dengan mekanisme pre audit, during audit dan post audit. Yang tidak memakai cost recovery pada dasarnya secara konseptual juga menggunakan cost recovery pada model perhitungan pajak. Sebelum membayar pajak, investor menghitung berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk operasi dan dihitung sebagai biaya pengurang pajak. Karena itu, Pri Agung juga melihat peluang korupsi sama-sama ada pada sistem cost recovery atau sistem lain.

Mantan Dirjen Migas dan Direktur Pertamina EP, Suyitno Patmosukismo, menilai bahwa sistem cost recovery harus tetap dijalankan dalam model kontrak migas yang sudah dijalankan selama ini. Cost recovery adalah suatu biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah atas hasil kerja investor untuk membuka lahan produksi migas jika memenuhi standar produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. “Biaya itu tentunya harus diganti oleh pemerintah. Mekanismenya perlu melalui suatu kontrak,” tandasnya kepada hukumonline.

Suyitno menilai boleh saja pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapus sistem cost recovery tapi itu berarti Indonesia kembali kepada rezim konsesi, kembali kepada model kontrak karya. “Padahal dengan kontrak bagi hasil itu kan ada proses membagi keuntungan atas hasil pengelolaan industri migas,” imbuhnya.

Menurutnya, hal terpenting dalam pengelolaan migas yang melibatkan investor adalah proses dan kesepakatan untuk membagi hasilnya secara proporsional, denga catatan bukan manajemen tetap ditangan pemerintah.

Cost reovery kita sudah sesuai dengan sistem yang ada dan dijalankan di Indonesia. Kalau mau menghilangkannya berarti kita merubah sistem yang sudah ada,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait