ICJR: Perlu Antisipasi Dampak PK Lebih dari Sekali
Berita

ICJR: Perlu Antisipasi Dampak PK Lebih dari Sekali

Beban penanganan pengajuan permohonan kasasi maupun PK di Mahkamah Agung sudah sedemikian padat.

RFQ
Bacaan 2 Menit
ICJR: Perlu Antisipasi Dampak PK Lebih dari Sekali
Hukumonline
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bisa berdampak meningkatnya pengajuan upaya luar biasa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Selama ini, jumlah pengajuan PK yang masuk ke MA tak sebanyak dengan jumlah pengajuan kasasi. Oleh sebab itu, diperlukan langkah khusus untuk mengantisipasi implikasi PK yang tidak dibatasi tersebut.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Kamis (13/3).“Perlu langkah-langkah khusus untuk mengantisipasi implikasi PK yang tidak dibatasi ini,” ujarnya.

Beban penanganan pengajuan permohonan kasasi maupun PK di lembaga tertinggi peradilan Mahkamah Agung sudah sedemikian padat, meski pengajuan kasasi lebih mendominasi dibanding pengajuan PK. Supriyadi berpandangan, MA perlu strategi untuk mengantisipasi kemungkinan penambahan penanganan jumlah perkara.

Dikatakan Supriyadi, potensi kenaikan jumlah perkara akibat putusan MK harus segera diantisipasi secara serius oleh MA. Namun, sikap membatasi PK dengan menolak permohonan pencari keadilan dinilai bukanlah jalan yang dapat ditempuh MA. Sebaliknya, manajemen perkara yang menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan MA.

“MA sudah mengalami layaknya ‘kuda kelebihan beban’, sehingga berapapun jumlah kenaikan perkara pasti akan berpengaruh pada MA,” ujarnya.

Supriyadi menuturkan putusan MK cenderung pada pertimbangan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi korban yang mengalami peradilan sesat. Menurutnya, PK lahir lantaran sistem peradilan pidana yang melahirkan peradilan sesat. Banyaknya jumlah permohonan PK disebabkan potensi terjadinya ‘peradilan sesat’.

Selain itu, minimnya pengawasan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. “Inilah sebenarnya yang  menjadi salah satu akar timbulnya novum yang muncul justru di akhir perkara pidana,” katanya.

Ia berharap definisi novum haruslah disepakati secara konsisten sesuai dengan prinsip hukum pidana, maupun doktrin yang berlaku. Ia khawatir jika tidak ada definisi novum yang disepakati secara konsisten, bisa jadi pihak-pihak dapat memaknai apapun sebagai novum.

Lebih jauh, pria berkacamata itu berpendapat pendekatan crime control model terlampau menojol dalam penegakan hukum pidana. Alhasil, pengawasan terhadap langkah upaya paksa kurang memadai. Dampaknya antara lain banyaknya problem dalam pengumpulan alat bukti.

Supriyadi berpandangan prinsip fair trial dan profesionalisme kerja aparat penegak hukum mesti mengedepankan penghormatan pada HAM. Terpenting, pengawasan dan kontrol terhadap aparat penegak  hukum menjadi mutlak. Hal itu dilakukan agar tercipta peradilan sehat yang tidak menimbulkan ketidakadilan.

“Dan mendorong lahirnya novum, sehingga MA terbeban dengan PK yang terjadi berulang-ulang,” katanya.

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Erman Suparman mengatakan, tak ada batasan pengajuan PK dinilai mengacaukan sistem hukum. Pasalnya, PK merupakan upaya hukum luar biasa. Maka dari itu, diperlukan strategi untuk meminimalisir dampak jumlah pengajuan PK.

Misalnya, MA membuat aturan dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Erman beralasan dengan menerbitkan PERMA, setidaknya terdapat aturan khusus prosedur administrasi dari PK yang dapat diajukan lebih dari satu kali. Dengan begitu, PERMA menjadi aturan yang ketat dalam penanganan pengajuan PK oleh terpidana maupun ahli waris.

“Semua nanti lolos saja, padahal PK itu kan upaya hukum luar biasa. Nanti tidak ada novum, tidak ada kekhilafan yang nyata, tidak ada dua putusan yang bertentangan, ya jangan di proses (PK itu,red),” ujarnya.

Lebih jauh mantan Ketua KY periode 2010-2013 itu mengatakan meskipun PK dapat diakukan lebih dari satu kali, tetap ketentuan pengajuan perlu diperketat. Erman berpandangan putusan MK tentang PK menjadi tantangan  bagi MA.

“Karena kalau pengadilan kita masih tetap tidak dipercaya mau PK 10 kali pun tidak akan mendatangkan keadilan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait