ICJR: Pemidanaan Anak Korban Perkosaan di Jambi Bukan Langkah Tepat!
Berita

ICJR: Pemidanaan Anak Korban Perkosaan di Jambi Bukan Langkah Tepat!

ICJR meminta agar Mahkamah Agung mendorong para hakim untuk menerapkan PERMA No. 3 Tahu 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dan meminta Pemerintah dan DPR mengvaluasi regulasi yang ada terutama dalam RKHUP terkait aborsi.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, pada 2016, BL seorang pekerja rumah tangga di Jakarta, dituntut 8,5 tahun penjara setelah membuang janin hasil perkosaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang dikenalnya dari Facebook. Saat ini pada 19 Juli 2018 seorang anak perempuan berusian 15 tahun di Jambi dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian karena melakukan aborsi.

 

Padahal, menurut berita yang dilansir oleh Jakartapost, kandungan yang digugurkan merupakan hasil perkosaan yang dilakukan oleh kakak anak perempuan tersebut. Perkosaan yang dilakukan sebanyak delapan kali sejak September 2017 dengan ancaman akan melukainya apabila keinginannya tidak dipenuhi.

 

Namun demikian, majelis hakim yang memeriksa kasus tersebut menolak tuntutan dari jaksa dan menjatuhi pidana berupa bimbingan di panti sosial karena mempertimbangkan kondisi korban yang mendapatkan tekanan batin dan trauma pada saat melahirkan bayi yang tidak diduga sama sekali.

 

Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan penjatuhan pidana bagi korban kekerasan seksual bukanlah hal yang tepat. Sebab, kekerasan seksual merupakan sebuah kejahatan yang kompleks dan korbannya lebih membutuhkan bantuan dari negara untuk mengobati trauma. “Daripada menghukum korban pemerkosaan yang melakukan aborsi dalam bentuk pidana penjara, terlebih jika yang terlibat adalah anak-anak. Ini bukan langkah yang tepat,” kata Anggara kepada Hukumonline, Sabtu, (21/07).

 

Ia menjelaskan meskipun tindakan aborsi merupakan salah satu perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 346 KUHP serta Pasal 45A jo. 77A UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. (Baca juga: Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia)

 

“Tetapi, tindakan aborsi dapat dilakukan berdasarkan alasan kehamilan terjadi akibat perkosaan, yang dapat mengakibatkan trauma psikologis bagi korban perkosaan,” ujarnya.

 

Sayangnya, lanjut dia, meskipun ketentuan yang memberikan pengecualian bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi sudah ada di dalam UU Kesehatan. Namun ketentuan tersebut dalam perjalanannya tidak juga memberikan jalan keluar bagi korban-korban perkosaan yang mengalami trauma dan ingin menggugurkan kandungannya.

 

Sebab, kata dia, akubat ketatnya persyaratan melaksanakan aborsi bagi korban perkosaan, yang hanya dapat dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari, terhitung sejak hari pertama haid terakhir.

 

Padahal dalam praktiknya, seringkali perempuan korban perkosaan tidak mengetahui dirinya sedang mengandung hingga usia kehamilannya lebih dari 40 hari. Sehingga, ketika mengetahui dirinya mengandung, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan aborsi yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. “Tentu sungguh disayangkan, mengingat selama ini juga tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap ketatnya aturan batas waktu 40 hari,” ujarnya.

 

“Pengadilan seharusnya tidak hanya melihat larangan aborsi yang terdapat di dalam KUHP dan UU Kesehatan namun juga wajib berpedoman kepada ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 dan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Namun, pengadilan juga wajib mempertimbangkan hak – hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban,” tandasnya.

 

Anggara juga mengatakan meskipun fenomena pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi ini sudah beberapa kali terjadi. Namun, dalam RKUHP ketentuan mengenai aborsi yang dilakukan dengan alasan korban perkosaan, justru tidak diakomodasi oleh Tim Perumus RKUHP.

 

“Pengecualian pemidanaan hanya berlaku bagi dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan, namun tidak berlaku bagi perempuan yang kandungannya digugurkan itu sendiri. Hal ini, nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan banyaknya kasus kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi,” kata dia.

 

Maka dari itu, ICJR memberikan beberapa catatan dan rekomendasi. Anggara meminta kepada Mahkamah Agung untuk mendorong para hakim memeriksa perkara dengan memperhatikan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

 

“Terutama, dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan perempuan korban kekerasan seksual. Serta, memperhatikan dengan hati – hati terkait dengan kasus kekerasan seksual mengingat kompleksitas dari perkara tersebut. Dan selalu mengutamakan pemenuhan hak-hak korban sesuai dengan UU PSK, utamanya bagi korban kekerasan seksual daripada melakukan pemidanaan,” tegasnya.

 

Ia juga mendorong agar pemerintah dan DPR segera membentuk sistem layanan dan penanganan korban kekerasan seksual yang terpadu agar penanganan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang komprehensif.

 

Tidak hanya itu, ia juga meminta agar pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada termasuk dalam RKUHP, yang mengatur dan terkait dengan pengguguran kandungan ketentuan agar korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang proporsional alih – alih menjadi korban yang kedua kali dari sistem peradilan pidana.

 

Sekadar diketahui, saat ini DPR tengah menggodok RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun memasuki tahun politik, nasib RUU PKS nampaknya bakal menggantung. Sebab boleh jadi para anggota dewan yang bertugas melakukan pembahasan RUU PKS, justru fokus terhadap pemenangan partai maupun mempertahankan kursi dewan di periode berikutnya.

 

Terhitung sejak Maret 2018, RUU PKS masuk dalam pembicaraan tingkat pertama. Langkah tersebut menjadi angin segar lantaran menjadi capaian yang cukup baik bagi DPR.  Apalagi, itu RUU sudah tiga tahun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun tak juga kunjung disahkan menjadi UU.

 

“Pekerjaan Rumah anggota DPR khususnya untuk menunaikan janjinya tak kunjung juga terlaksana,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Tags:

Berita Terkait