ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja
Utama

ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja

Tahun 2022, hukum lingkungan diproyeksikan tetap diarahkan sebagai instrumen untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Narasumber diskusi secara daring bertema 'Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia', Kamis (3/2/2022). Foto: ADY
Narasumber diskusi secara daring bertema 'Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia', Kamis (3/2/2022). Foto: ADY

Terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya berdampak terhadap berbagai sektor, salah satunya sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini mengatakan lembaganya menyoroti sedikitnya 10 instrumen hukum lingkungan hidup setelah terbit UU No.11 Tahun 2020.

Pertama, PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mendefinisikan masyarakat terdampak langsung dan LSM dapat dikategorikan sebagai masyarakat terdampak langsung sejauh telah mendampingi masyarakat yang terdampak langsung tersebut. Grita khawatir aturan itu menghilangkan peran signifikan organisasi lingkungan hidup sebagai wali dari lingkungan dan menghilangkan diskurus yang lebih besar.

“Yakni mengenai kepentingan lingkungan hidup dalam suatu rencana usaha dan/atau kegiatan,” kata Grita dalam diskusi secara daring bertema “Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia”, Kamis (3/2/2022).

(Baca Juga: Walhi: 4 Kebijakan Ini Berpotensi Mengancam Lingkungan Hidup)

Selain masyarakat terdampak langsung, ketentuan itu mengatur bentuk partisipasi dilakukan dengan cara mengajukan surat/tanggapan secara tertulis dalam waktu 10 hari setelah pengumuman. Kemudian tim uji kelayakan lingkungan hidup “menyaring” masukan publik “yang relevan.” Tapi sayangnya tidak ada penjelasan mengenai indikator yang dimaksud “relevan”.

Kedua, PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang memberi kemudahan tata ruang bagi proyek strategis nasional (PSN). Kemudahan ini dikhawatirkan mengganggu fungsi ruang yang telah ditetapkan sebelumnya dan menghilangkan kesempatan partisipasi publik sejak di hulu. Grita menyoroti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) hanya menjadi dokumen yang sekedar perlu “diperhatikan” dalam penyusunan RTRW.

Ketiga, penyelesaian keterlanjuran dan pelanggaran atas kawasan hutan. PP No.24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan; Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK No.8 Tahun 2021 belum memuat pertimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam skema penyelesaian keterlanjuran dan pelanggaran atas kawasan hutan.

Dia menilai sanksi administratif paksaan pemerintah sebagaimana diatur PP No.24 Tahun 2021 itu belum berorientasi pada pemulihan. Serta belum mencantumkan pertimbangan mengenai potensi konflik tenurial dengan masyarakat. Pemerintah perlu lebih selektif dan membuka opsi penegakan hukum pidana dalam penyelesaian keterlanjuran. “Perlu komitmen pemulihan terhadap lahan yang tidak diberikan legalitas,” harapnya.

Keempat, pemerintah tidak memperpanjang moratorium perizinan kelapa sawit yang berakhir 19 September 2019. Ketentuan itu tertuang dalam Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Menurut Grita, pemerintah perlu membuka data perusahaan yang izinnya bermasalah, sanksi yang dikenakan, dan bagaimana eksekusinya, serta pengawasan pelaksanaan sanksi.

Selama kebijakan moratorium itu berjalan, Grita mencatat sejumlah pemerintah daerah melakukan langkah korektif walau belum maksimal. Hanya 5 pemerintah daerah yang berkomitmen menjalankan moratorium dan 3 diantaranya menuangkan dalam kebijakan daerah.

Kelima, multi usaha di sektor kehutanan. Grita mengatakan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya mengenalkan konsep baru berupa multi usaha kehutanan. Konsep itu menyatukan berbagai kegiatan usaha yang beroperasi di kawasan hutan menjadi 1 jenis usaha sesuai status kawasan hutan. Kebijakan ini harus dibarengi dengan pengawasan dan sinkronisasi yang ketat.

“Perlu pengawasan yang ketat dan koordinasi yang baik lintas kementerian/lembaga untuk memastikan multi usaha kehutanan berjalan sesuai pemanfaatan berkelanjutan,” sarannya.

Keenam, perlunya earmarking (pengelolaan keuangan publik) PNBP kompensasi dan PNBP kehutanan. Grita menjelaskan PNBP kompensasi hanya dibebankan bila permohonan dilakukan pada daerah yang sama atau kurang dari kecukupan luas kawasan hutan. Aturan itu belum memberikan kepastian pemanfaatan lanjutan untuk “dikembalikan” pada lingkungan dan hutan.

“Belum ada mekanisme earmarking untuk memastikan dana dari PNBP Kompensasi dapat langsung digunakan untuk restorasi ekosistem,” lanjutnya.

Ketujuh, absennya pengaturan detail tentang penetapan kecukupan kawasan hutan setelah terbit PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. UU No.11 Tahun 2020 menghapus jumlah minimal 30 persen (penutupan) luas kawasan hutan dari luas wilayahnya. Dalam peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 belum ditemukan ada presentase acuan angka kecukupan. Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 hanya menegaskan penetapan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan bertujuan untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan produksi.

Delapan, kebijakan perubahan iklim. Grita mengatakan pemerintah masih mempertahankan target nationally determined contribution (NDC) yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan LTS-LCCR 2050 Indonesia akan mencapai net zero emission tahun 2060 dan membuka ruang deforestasi 6,8 juta hektar sampai 2050. Pemerintah belum bisa lepas dari ketergantungan batubara dan melakukan perpanjangan penggunaan batubara dalam bauran energi melalui penerapan Carbon Capture Storage.

Sembilan, kebijakan nilai ekonomi karbon terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Perpres No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional mengenalkan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon sebagai bentuk instrumen nilai ekonomi karbon.

Menurut Grita, kebijakan nilai ekonomi karbon itu perlu desain yang jelas untuk dapat beroperasi oiptimal. Peraturan turunannya perlu menentukan dan meregulasi desain pasar dan instrumen pelaksana untuk mendorong penurunan emisi aktual. Perlu sistem metode verifikasi, standar dan pencatatan yang kuat serta transparan untuk memastikan tidak ada kebocoran emisi dan pelanggaran hak masyarakat.

Sepuluh, kebijakan dan regulasi sektor pengelolaan sampah. Grita mengusulkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertindak tegas mewajibkan produsen menyampaikan rencana pengurangan sampah kepada publik dan mengoreksi cara pengurangan sampah yang keliru. Sampai akhir 2021 tercatat hanya 31 produsen yang menyerahkan rencana pengurangan sampah. Rencana pengurangan sampah tersebut dapat dikategorikan sebagai informasi publik.

Pembatasan plastik sekali pakai (PSP) di daerah perlu diperkuat karena beberapa peraturan tidak mengikat umum misalnya berbentuk instruksi atau keputusan kepala daerah. Peraturan pembatasan PSP hanya mengatur sampai pengawasan dan pembinaan saja, namun tidak mencantumkan instrumen penegakan hukum baik melalui sanksi atau instrumen ekonomi.

Direktur Eksekutif ICEl, Raynaldo G Sembiring, mengatakan tahun 2022 hukum lingkungan diproyeksikan tetap diarahkan sebagai instrumen untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Melihat situasi tahun 2020 dan 2021 hukum lingkungan tahun ini akan tetap dinamis.

Ada beberapa kebijakan yang positif dan lainnya mendapat kritik. Tahun 2022 diproyeksikan masih ada tantangan terkait putusan pengadilan atau ketidakjelasan putusan pengadilan. Hal itu terjadi karena ada ketidakjelasan dalam regulasi seperti UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya.

“Tahun 2022 kebijakan perlindungan hak masyarakat (anti SLAPP) belum akan terpadu dan menyeluruh. Penyelesaian kasus-kasus SLAPP akan lebih banyak terjadi secara kasuistis,” katanya.

Tags:

Berita Terkait