ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja
Utama

ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja

Tahun 2022, hukum lingkungan diproyeksikan tetap diarahkan sebagai instrumen untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Keempat, pemerintah tidak memperpanjang moratorium perizinan kelapa sawit yang berakhir 19 September 2019. Ketentuan itu tertuang dalam Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Menurut Grita, pemerintah perlu membuka data perusahaan yang izinnya bermasalah, sanksi yang dikenakan, dan bagaimana eksekusinya, serta pengawasan pelaksanaan sanksi.

Selama kebijakan moratorium itu berjalan, Grita mencatat sejumlah pemerintah daerah melakukan langkah korektif walau belum maksimal. Hanya 5 pemerintah daerah yang berkomitmen menjalankan moratorium dan 3 diantaranya menuangkan dalam kebijakan daerah.

Kelima, multi usaha di sektor kehutanan. Grita mengatakan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya mengenalkan konsep baru berupa multi usaha kehutanan. Konsep itu menyatukan berbagai kegiatan usaha yang beroperasi di kawasan hutan menjadi 1 jenis usaha sesuai status kawasan hutan. Kebijakan ini harus dibarengi dengan pengawasan dan sinkronisasi yang ketat.

“Perlu pengawasan yang ketat dan koordinasi yang baik lintas kementerian/lembaga untuk memastikan multi usaha kehutanan berjalan sesuai pemanfaatan berkelanjutan,” sarannya.

Keenam, perlunya earmarking (pengelolaan keuangan publik) PNBP kompensasi dan PNBP kehutanan. Grita menjelaskan PNBP kompensasi hanya dibebankan bila permohonan dilakukan pada daerah yang sama atau kurang dari kecukupan luas kawasan hutan. Aturan itu belum memberikan kepastian pemanfaatan lanjutan untuk “dikembalikan” pada lingkungan dan hutan.

“Belum ada mekanisme earmarking untuk memastikan dana dari PNBP Kompensasi dapat langsung digunakan untuk restorasi ekosistem,” lanjutnya.

Ketujuh, absennya pengaturan detail tentang penetapan kecukupan kawasan hutan setelah terbit PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. UU No.11 Tahun 2020 menghapus jumlah minimal 30 persen (penutupan) luas kawasan hutan dari luas wilayahnya. Dalam peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 belum ditemukan ada presentase acuan angka kecukupan. Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 hanya menegaskan penetapan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan bertujuan untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan produksi.

Tags:

Berita Terkait