Business Judgment Rule, Alasan di Balik Lepasnya Eks Dirut Pertamina di Tingkat Kasasi
Berita

Business Judgment Rule, Alasan di Balik Lepasnya Eks Dirut Pertamina di Tingkat Kasasi

Hakim bersuara bulat yang dilakukan Karen bukan tindak pidana.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Khusus untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengakomodasi konsep BJR melalui POJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam Pasal 13 ayat (2) POJK a quo juga diatur bahwa Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik jika mampu membuktikan empat syarat yang sejalan dengan rumusan UUPT.

Tidak jauh berbeda dengan muatan prinsip BJR yang diatur Indonesia, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12), lalu menyebut karakteristik BJR di beberapa negara meliputi terpenuhinya dasar iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty).

Begitu besarnya wewenang diskresi yang dimiliki Direksi di satu sisi membenarkan tindakan Direksi mengambil keputusan untuk ‘kepentingan perusahaan’ (vide: Pasal 92 UU PT). Hanya saja yang menjadi persoalan, kata Hikmahanto, frasa ‘kepentingan perusahaan’ maknanya bisa sangat lentur sekali. Sehingga untuk menghindari persoalan serius di kemudian hari, Direksi, tim legal beserta divisi terkait perlu mendefinisikan betul ‘di awal’ apakah keputusan yang diambil betul atas dasar kepentingan perusahaan.

Untuk memastikan bahwa direksi telah berupaya menghimpun dan mempertimbangkan pengetahuan/data/informasi yang memadai, sejak awal pun sangat penting bagi direksi untuk meminta arahan dari berbagai fungsi-fungsi perusahaan, khususnya fungsi unit bisnis yang akan menjalankan keputusan itu, fungsi legal, fungsi keuangan dan fungsi lain yang bersangkutan. Sehingga keputusan bersama itu bisa dijadikan landasan bahwa Direksi telah dengan penuh kehati-hatian, beriktikad baik, berlandaskan due of care dan informed basis dalam menandatangi suatu kebijakan. “Kalau semua prinsip itu sudah dilakukan, artinya BJR sudah berlaku,” tukas Hikmahanto.

Bebas karena BJR

Berdasarkan penelusuran hukumonline, contoh lain perkara yang berkaitan dengan BJR ditemukan dalam Putusan No. 130 PK/Pid.Sus/2013 berupa bebasnya eks pejabat Bank Mandiri, Fachrudin Yasin (Group Head Corporate Relationship) dan Roy Ahmad Ilham (Group Head Credit Approval). Awalnya, kredit yang digelontorkan Fachrudin dan Roy kepada PT Arthabima Textindo dan PT Arthamustika Textindo dianggap Jaksa dilakukan secara melawan hukum dan tanpa melalui prosedur dan syarat yang ditentukan Bank.

Kedua pejabat ini bebas di pengadilan tingkat pertama, dihukum 5 tahun di tingkat kasasi. Permohonan PK pertama dinyatakan tidak dapat diterima. Vonis bebas diputus pada PK kedua. Dalam proses PK Kedua, terkuak bukti baru yang menunjukkan para pejabat itu telah berhati-hati mengambil kebijakan pengucuran kredit, diantara bukti baru yang dihadirkan seperti Surat Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia kepada Ketua BPPN tertanggal 20 Juni 2000, Nota No. CGR/CRM.3.109/2002 tertanggal 17 Juni 2002, Nota CGR/CRM.2.275/2002, Surat Edaran Bank Bandiri No. 006/KRD/RMN.POR/2002 tertanggal 24 Desember 2002 tentang Kebijakan Pengambilalihan Aset Kredit dari BPPN.

Ada juga Hotasi Nababan, anggota Dewan Direksi PT Merpati Airlines (Persero). Pada 19 Februari 2013, majelis hakim tipikor PN Jakarta Pusat telah memberikan putusan bebas murni (Vrijspraak) kepada Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto atas perkara security deposit Sewa Pesawat Merpati yang terjadi pada Desember 2006. Menurut majelis hakim, perbuatan kedua terdakwa tak memenuhi unsur-unsur pada dakwaan primair maupun dakwaan subsidair. Untuk dakwaan primair yakni Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur melawan hukum tak terbukti.

Tags:

Berita Terkait