Ibadah Haji Menjadi Komoditas, UU PIH Diuji ke MK
Berita

Ibadah Haji Menjadi Komoditas, UU PIH Diuji ke MK

Hakim konstitusi mempertanyakan legal standing pemohon. Apakah dengan berlakunya pasal itu mengakibatkan orang Indonesia tak bisa menunaikan ibadah haji?

ASh
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: Sgp
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: Sgp

Majelis hakim yang diketuai Hamdan Zoelva menggelar sidang sidang uji materi UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH). Pemohonnya antara lain Farhat Abbas yang berprofesi sebagai advokat (pemohon I) dan Windu Wijaya (pemohon II), seorang karyawan swasta. Mereka hendak menguji Pasal 1 angka 8, Pasal 8 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1) (2) UU PIH.    

 

Mereka merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal itu. Diantaranya, mahalnya biaya penyelenggaran haji dan terbatasnya jumlah kuota yang semuanya dimonopoli pemerintah. Karenanya, pemohon meminta Mahkamah membatalkan pasal-pasal itu karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28I, 28H ayat (2), Pasal  28D ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

 

Misalnya, Pasal 1 angka 8 UU PIH menyebutkan biaya haji (BPIH) adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji. Sementara, Pasal 22 ayat (1) menyebutkan BPIH disetorkan ke rekening menteri melalui Bank Syariah, dan atau bank umum nasional yang ditunjuk menteri.             

 

Kuasa hukum pemohon dari Kantor Hukum Farhat Abbas dan Rekan, Dirga Rachman menuturkan pokok permohonan yang diajukan berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji yang dimonopoli pemerintah. Seperti mahalnya biaya haji, pembatasan kuota haji, dan adanya dana abadi umat yang penggunaannya tak jelas.

 

Hal itu berakibat penyelenggaraan ibadah haji lebih berorientasi pada komoditas keuntungan dan ini kerap menjadi hambatan bagi warga negara untuk menunaikan ibadah haji. “Uang yang disediakan oleh calon jemaah haji yang akan menunaikan rukun Islam yang kelima sangatlah besar dan juga kuotanya dibatasi. Hal ini tak sesuai dengan kaedah Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.    

 

Pemohon menyatakan keberatan atas tugas dan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji yang merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) UU PIH. Menurut Dirga mestinya tugas itu diselaraskan sebagai tujuan nasional sebagaimana ditentukan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

 

"Jadi bukan dijabarkan konsep monopoli pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji yang akan melanggar norma dalam UUD. Sebab, karena monopoli itu yang berfungsi sebagai regulator sekaligus eksekutor menyebabkan tumpang tindih peran yang menyulitkan peran publik untuk melakukan control. Seharusnya pemerintah hanya berfungsi melindungi dan mengawasi.”

 

Adanya pemberlakuan kuota, kata Durga, mengakibatkan pemohon II terhambat untuk menunaikan ibadah haji. “Pemohon II ingin sekali naik haji, tetapi dengan adanya pembatasan kuota dari pemerintah ini, istilahnya harus ‘ngantri’ untuk tahun-tahun berikutnya,” katanya.

 

Atas permohonan itu, Hamdan Zoelva mengingatkan bahwa kuota haji bukan ditentukan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia, tetapi merupakan kesepakatan Indonesia dan Arab Saudi. “Jadi jumlah kuota negara, nanti didistribusikan ke setiap provinsi,” kata Hamdan.    

 

Hakim konstitusi Akil Mochtar mengatakan besaran BPIH tidak ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, tetapi juga lewat persetujuan DPR. Menurutnya mahalnya biaya haji bersifat relatif karena naik haji itu diwajibkan bagi yang mampu.    

 

“Jadi pemerintah tak bisa menaikkan BPIH secara sepihak tanpa persetujuan rakyat, dalam hal ini DPR,” kata Akil. “Unsur persetujuan rakyat sudah terpenuhi sesuai Pasal 21 ayat (1) UU PIH. Kalau Pasal 22 ayat (1) PIH soal penempatan dananya, ini bukan persoalan norma.”                        

 

Soal legal standing, kata Akil, apakah dengan berlakunya pasal itu mengakibatkan orang Indonesia tak bisa menunaikan ibadah haji? “Oleh karena itu, legal standing ini juga harus jelas, pemohon I ini juga tetap bisa naik haji kan, jadi apa kerugian konstitusionalnya,” kata Akil bertanya.        

 

Jika pasal-pasal yang diuji dibatalkan atau tak berlaku, menurutnya menjadi tak jelas siapa yang akan menyelenggarakan ibadah haji. “Pasal 8 (2) UU PIH itu jelas PIH merupakan tugas nasional yang diselenggarakan pemerintah termasuk swasta, kalau dibatalkan siapa menentukan berapa biaya naik haji, siapa yang menyelenggarakan. Sebab, naik haji itu diwajibkan bagi yang mampu, Anda mulai dari di sini dululah,” sarannya.         

 

Hamdan menambahkan jika pemohon meminta pasal-pasal itu dibatalkan apakah telah dipikirkan dampak sosialnya. “Apa sudah dipikirkan jika pasal itu dibatalkan?”

Tags: