Hukumonline Luncurkan Hasil Survei Kebutuhan Lembaga Arbitrase di Indonesia
Utama

Hukumonline Luncurkan Hasil Survei Kebutuhan Lembaga Arbitrase di Indonesia

Salah satunya, dari beberapalembaga arbitrase yang ada di Indonesia, sebagian besar responden atau 75% pernah beracara di Badan Arbitrase nasional Indonesia (BANI). Sedangkan sebanyak 42,86% responden pernah beracara di SIAC (Singapore International Arbitration Center).

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Berlarut-larutnya penyelesaian sengketa hukum keperdataan dapat berimbas pada banyak hal. Mulai dari perkembangan pembangunan ekonomi yang tak efisien, menurunnya produktivitas, sampai dengan dunia bisnis mengalami stagnasi, sementara biaya produksi terus meningkat. Untuk itu, model penyelesaian sengketa bisnis dengan sebuah lembaga arbitrase yang kapabel menjadi penting agar penyelesaian sengketa semakin cepat, efektif, dan efisien.

“Sedangkan penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan dinilai relatif lambat, sehingga memiliki potensi implikasi negatif terhadap beberapa sektor yang saling terkait. Lembaga arbitrase menjadi alternatif untuk memenuhi kepentingan yang belum dipenuhi melalui pengadilan,” ujar Research & Awards Manager Hukumonline Katon Baskoro saat dihubungi, Kamis (13/7/2023).

Baca Juga:

Sehubungan dengan itu, Hukumonline berinisiatif menghadirkan Survei Kebutuhan terhadap Lembaga Arbitrase di Indonesia. Dengan harapan sebagai gambaran umum, pijakan strategis dalam peningkatan peran lembaga arbitrase agar memberi pengaruh positif yang mendukung iklim bisnis di Indonesia.

“Survei kebutuhan lembaga arbitrase menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survei terhadap praktisi hukum yang terbagi dalam beberapa kelompok responden antara lain advokat, arbiter, dan in-house counsel (IHC). Survei ini menggunakan metode yang memusatkan perhatian pada karakteristik tertentu dengan batasan yang relevan,” terang Katon.

Lebih lanjut, kata Katon, metode purposive sampling dikombinasikan dengan incidental sampling. Dengan begitu, pemilihan sample tidak dilakukan secara acak, sehingga keterbatasan data populasi berakibat pada prinsip atau syarat generalisasi tak terpenuhi. Hasil analisis datanya memberi gambaran seluruh responden penelitian.

"Pertanyaan yang diberikan mempunyai spesifikasi pada kelompok responden tertentu. Menjaring beberapa praktisi hukum dari berbagai latar belakang, mayoritas responden (72,97%) pernah beracara di lembaga arbitrase di Indonesia," bebernya. 

Dari beberapa lembaga arbitrase yang ada, sebagian besar responden atau 75% pernah beracara di Badan Arbitrase nasional Indonesia (BANI). Sedangkan sebanyak 42,86% responden pernah beracara di SIAC (Singapore International Arbitration Center).

“Berdasarkan pada seluruh responden yang pernah beracara di BANI dan SIAC, sebagian besar responden menilai bahwa SIAC merupakan lembaga arbitrase yang paling ideal. SIAC merupakan lembaga arbitrase yang sangat profesional dan efektif dalam penanganan kasus melalui arbitrase.”

SIAC dinilai punya reputasi yang lebih baik perihal mencari kebenaran materiil termasuk dalam hal discovery. “Letak geografis dan zona waktu juga menjadi pertimbangan bagi responden untuk menilai bahwa SIAC merupakan lembaga arbitrase yang paling ideal. Di samping itu terdapat pertimbangan mengenai prosedur yang berlaku di SIAC,” kata dia.

Sebagian besar responden memiliki pengalaman atau pernah beracara di lembaga arbitrase Indonesia tercatat 85,18%. Mayoritas responden memandang mudah penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga arbitrase di Indonesia.

Sebagian besar responden dalam studi ini menginginkan pelaksanaan arbitrase dilakukan melalui medium atau perantara yang fleksibel. Sebagian besar responden menginginkan pelaksanaan arbitrase dilakukan secara hybrid sebesar 51,4% dan kondisional atau sesuai pertimbangan situasi dan kondisi sebanyak 40,5%. Hanya 5,4% saja yang menginginkan arbitrase dilaksanakan secara offline dan 2,7% dilakukan daring.

“Selain media perantara pelaksanaan arbitrase, studi ini juga memiliki fokus pada jangka waktu sampai putusan yang dikeluarkan oleh lembaga arbitrase. Sebanyak 59.4% responden menginginkan atau penilaian paling ideal oleh responden selama kurang dari 90 hari,” lanjutnya.

Pada umumnya, fasilitas yang penting bagi responden dalam penyelesaian sengketa bisnis di lembaga arbitrase ialah translator dengan angka sekitar 81,1%. Terdapat beberapa fasilitas lain yang dianggap penting seperti kualitas ruangan (infrastruktur fisik) yang representative (75,7%), jasa transkrip (73%), counsellor room (70,3%), hearing room (67,6%), monitor data room (62,2%), dan microphone (56,8%).  

“Secara spesifik, menurut advokat translator merupakan fasilitas prioritas dalam lembaga arbitrase. Sedangkan hearing room, kualitas ruangan yang representatif dan translator merupakan fasilitas prioritas menurut arbiter. In-house counsel menilai counsellor room merupakan fasilitas yang paling penting dalam lembaga arbitrase,” jelas dia.

Dalam aspek kompetensi yang menjadi nilai utama seluruh responden ialah independensi (91.89%). Tak hanya itu, terdapat kompetensi lain yang perlu dimiliki oleh arbiter antara lain penguasaan terhadap bidang perkara atau kasus dan pengetahuan hukum yang baik (89,19%), kemampuan menggunakan teknologi dan sertifikasi sebagai arbiter (59,46%), pengalaman yang panjang sebagai arbiter (35,14%), dan enerjik (32,43%).

“Kategori sumber daya manusia ini terdiri dari pengetahuan hukum, independensi, usia (kaitannya dengan regenerasi arbiter) dan pengetahuan teknis mengenai teknologi. Dalam pertanyaan terbuka ini peneliti juga menemukan bahwa referensi arbiter yang disediakan lembaga arbitrase menjadi salah satu kebutuhan bagi responden (khususnya bagi advokat atau IHC).”

Dengan referensi arbiter saat ini dirasa kurang diterima baik, dalam hal jumlah ataupun kedalaman informasi tentang profil arbiter. Ini mempunyai relevansi dengan tingkat atau efektivitas sosialisasi tentang lembaga arbitrase. Kebutuhan terhadap informasi atas lembaga arbitrase sebagai perantara dan lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan jadi isu penting.

“Sebagian besar responden menilai UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa efektif menjadi landasan hukum arbitrase. Hal yang sama juga pada kepatuhan dalam implementasi lembaga arbitrase terhadap UU yang mengatur,” ucap Katon.

Akan tetapi, masih dijumpai catatan terkait UU tersebut. Seperti belum mencakup beberapa isu terkait penanganan kasus secara kolektif; masih ada aturan yang tidak jelas (fakultatif atau imperatif); UU sudah tidak akomodatif terhadap perkembangan praktik arbitrase, khususnya konteks internasional. "Termasuk kepastian eksekusi putusan arbitrase yang belum dijamin dalam UU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait