Diksriminatif? Pasalnya, untuk tindak pidana yang sama yang dilakukan masyarakat awam bisa dijerat dengan hukuman enam tahun penjara. Pasal 263 KUHP tegas menyebut bahwa barangsiapa pun yang menggunakan surat palsu untuk tujuan tertentu bisa dikenai hukuman tersebut.
Dalam surat bersifat rahasia ke Polda Metro Jaya pada 4 Maret 2004, Panwaslu DKI Jakarta juga berpendapat bahwa pada caleg berijazah palsu dapat dijerat dengan pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP, disamping pasal 137 ayat (3), (4) dan (7) Undang-Undang Pemilu.
Bahkan menurut Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengguna ijazah palsu dapat dipidana lima tahun penjara atau denda Rp500 juta rupiah (lihat tabel).
Tabel
Perbedaan Hukuman atas Pidana Pemalsuan Ijazah
Jenis Hukuman | UU Pemilu | KUHP | UU Sisdiknas |
Penjara/Kurungan | 3 - 18 bulan | 6 tahun | 5 tahun |
Denda | Rp600 ribu – 6 juta |
| Rp500 juta |
Sumber: Pusat Data hukumonline
Ade Irawan, Divisi Monitoring Pelayanan Umum ICW, punya pendapat yang sama. Diskriminasi hukum yang demikian lebih disebabkan faktor politik. Pembuat undang-undang adalah juga politikus, sehingga akan membuat hukum yang berbeda untuk kalangan mereka sendiri. Aparat hukum sering tidak berani bertindak tegas kalau menyangkut kepentingan politik, ujar Ade.
Lantas, kenapa jaksa hanya menggunakan pasal 137 ayat (7) Undang-Undang Pemilu dan mengabaikan sama sekali sanksi pidana dalam KUHP dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional? Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman mengatakan bahwa penerapan Undang-Undang No. 12/2003 merupakan lex specialis karena hanya dipergunakan untuk kepentingan pemilu.