Hukuman Ganti Rugi Fuel Surcharge Diwarnai Dissenting Opinion
Utama

Hukuman Ganti Rugi Fuel Surcharge Diwarnai Dissenting Opinion

Hukuman terberat diemban Garuda Airlines lantaran perusahaan plat merah itu telah beberapa kali melanggar hukum persaingan usaha.

Mon
Bacaan 2 Menit
Majelis KPPU perkara fuel surcharge beda pendapat soal<br>penerapan ganti rugi. Foto: Sgp
Majelis KPPU perkara fuel surcharge beda pendapat soal<br>penerapan ganti rugi. Foto: Sgp

Putusan majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam perkara penetapan harga fuel shurcharge industri jasa penerbangan domestik tak bulat. Ketua majelis komisi, Tri Anggraini menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas hukuman ganti rugi yang dibebankan pada sembilan terlapor (liat tabel). Tri menyatakan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak mengenal ganti kerugian pada masyarakat.

 

Dalam putusan yang dibacakan Selasa (4/5), Tri menyatakan KPPU memang diberi kewenangan untuk memutuskan ada atau tidak adanya kerugian pada pelaku usaha lain atau masyarakat sebagaimana Pasal 36 huruf j UU No 5/1999. Kewenangan itu ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf f UU No. 5/1999 yang menyatakan KPPU dapat menjatuhkan hukuman tindakan administrasi berupa penetapan pembayaran ganti rugi.

 

Meski demikian, kata Tri, UU No 5/1999 tidak mengatur prosedur ganti rugi pada masyarakat. Pasal 38 ayat (2) UU No 5/1999 berbunyi pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap UU No 5/1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.

 

Berdasarkan pedoman pelaksanaan Pasal 47 UU No 5/1999, KPPU dapat menetapkan ganti rugi sesuai kerugian nyata (actual damages) dari pihak yang dirugikan. Sesuai konteks hukum perdata, beban pembuktian tentang kerugian nyata itu berada pada pihak yang dirugikan. “Saya menyatakan tidak sependapat dengan amar putusan tentang ganti rugi,” kata Tri.

 

Tabel Hukuman Denda dan Ganti Rugi

No Terlapor

Perusahaan

Denda

Ganti Rugi

1

PT Garuda Indonesia

Rp25 miliar

Rp162 miliar

2

PT Sriwijaya Air

Rp9 miliar

Rp60 miliar

3

PT Merpati Nusantara Airlines

Rp8 miliar

Rp53 miliar

4

PT Mandala Airlines

Rp5 miliar

Rp31 miliar

6

PT Travel Express Aviation Services

Rp1 miliar

Rp1,9 miliar

7

PT Lion Air Mentari Airlines

Rp17 miliar

Rp107 miliar

8

PT Wing Abadi Airlines

Rp5 miliar

Rp32,5 miliar

9

PT Metro Batavia

Rp9 miliar

Rp56 miliar

10

PT Kartika Airlines

Rp1 miliar

Rp1,6 miliar

 

Pertimbangan Tri berbeda dengan anggota majelis Benny Pasaribu dan M Nawir Messi. Hukuman ganti rugi itu dijatuhkan sebab penetapan harga fuel shurcharge berdampak kerugian terhadap konsumen sebesar Rp5,081 triliun hingga Rp13,843 triliun dalam periode 2006-2009.

 

Hukuman terberat diemban Garuda Airlines lantaran perusahaan plat merah itu telah beberapa kali melanggar hukum persaingan usaha. Sementara, Lion Air, Wings Air dan Batavia Air dinilai tidak kooperatif karena tidak memberikan keterangan dan dokumen yang diperlukan.

 

Apalagi, hingga kini kesembilan terlapor itu masih memberlakukan fuel surcharge pada konsumen. Padahal, Menteri Perhubungan telah menerbitkan Keputusan Menteri No 26/2010 yang menghilangkan fuel surcharge yang berlaku mulai 14 April 2010. Peraturan itu merupakan revisi Keputusan Menteri Nomor 9/2002 tentang tarif batas atas.

 

Majelis komisi merekomendasikan agar pembayaran denda dan ganti rugi itu digunakan untuk meningkatkan fasilitas bandara dan pelayanan umum kepada masyarakat.

 

Dalam putusan No 25/KPPU-L/2009 ini, majelis komisi juga merekomendasikan agar Kementerian Perhubungan tidak memberikan kewenangan pada asosiasi pelaku usaha untuk menetapkan harga tarif.

 

Langgar Pasal 5

Majelis komisi satu suara dalam menentukan kesalahan para sembilan terlapor tersebut. Para maskapai penerbangan itu terbukti melanggar Pasal 5 UU No 5/1999 (penetapan harga). Namun ada tiga terlapor yang bebas dari hukuman. Pertama, PT Riau Airlines (terlapor V) karena baru terdaftar sebagai anggota INACA pada 2009. Kedua, PT Trigana Air Services (terlapor 12) karena sebagian besar pendapatan berasal dari kargo, bukan dari angkutan penumpang. Ketiga, PT Indonesia AirAsia lantaran sudah menghentikan penetapan harga fuel surcharge sejak 2008. 

 

Sementara, PT Linus Airways (terlapor 11) tidak dikategorikan sebagai pelaku usaha. Sebab, kata majelis komisi, Departemen Perhubungan telah mencabut izin operasi PT Linus. Kini, perusahaan tersebut tidak lagi menjalankan usaha angkutan udara niaga berjadwal.

 

Kesepakatan penetapan harga fuel surcharge itu bermula dari perjanjian tertulis antara Indonesian National Air Carriers Association (INACA) dan sembilan terlapor pada 4 Mei 2006. Sesuai kesepakatan, penetapan harga fuel surcharge Rp20 ribu/penumpang ditetapkan mulai 10 Mei 2006.

 

Akhir Mei 2006 kesepakatan itu akhirnya dibatalkan. INACA menyerahkan penetapan harga fuel surcharge pada masing-masing perusahaan. Namun, menurut majelis hakim perjanjian itu tetap dilaksanakan oleh masing-masing maskapai penerbangan.

 

Padahal, formula penetapan fuel surcharge dari masing-masing perusahaan berbeda. Seharusnya, penetapan harga masing-masing berbeda berdasarkan pertimbangan ekonomi perusahaan. “Ada tren yang sama, korelasi positif dan varian yang sama,” ujar anggota majelis komisi Benny.

 

Hasilnya, terjadi penetapan harga fuel surcharge secara terkoordinasi dalam zona penerbangan 0 s/d 1 jam, 1 s/d 2 jam dan 2 s/d 3 jam. Ini mengakibatkan penetapan fuel surcharge yang eksesif. Hal ini berdasarkan perbandingan harga aktual dengan estimasi perusahaan dan harga aktual dengan harga acuan dari Departemen Perhubungan.

 

Sementara itu, seluruh terlapor tidak terbukti melanggar Pasal 21 UU No 5/1999. Penetapan fuel surcharge tidak dinilai sebagai penetapan harga secara curang. Sebab fuel surcharge merupakan kompensasi kenaikan harga avtur. Hal itu menjadi komponen harga tiket yang dibebankan pada konsumen.

 

Juru Bicara Garuda Indonesia, Hengky Pudjo Broto menyatakan menolak putusan KPPU. “Pertimbangan majelis komisi tidak berdasarkan pertimbangan hukum dan ekonomi yang benar dan akurat,” ujarnya usai bersidang.

 

Senada, Biro Hukum Lion Air dan Wings Air, Hans Arthur Hedar menyatakan keberatan atas putusan KPPU. “Apa yang dituduhkan tidak benar semua karena tidak pernah ada perjanjian (kartel),” ujar Hans. Biro Hukum Batavia Air, Raden Catur Wibowo menyatakan akan mengajukan keberatan atas putusan KPPU.

Tags: