Hukum Pidana Adat Jadi Alternatif Penyelesaian Kasus Anak
Utama

Hukum Pidana Adat Jadi Alternatif Penyelesaian Kasus Anak

Masyarakat desa adat, kepala desa, dan tokoh adat terlibat dalam proses pemberian sanksi adat kepada pelaku di desa adat tertentu.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Para narasumber panel ASEAN Conference on the Prevention and Response to the Misuse of Financial Service Providers in Child Sexual Exploitation, Rabu (7/8/2024). Foto: FKF
Para narasumber panel ASEAN Conference on the Prevention and Response to the Misuse of Financial Service Providers in Child Sexual Exploitation, Rabu (7/8/2024). Foto: FKF

Kelompok peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) menilai penerapan hukum pidana adat bisa ikut menyelesaikan kasus yang melibatkan anak. Pandangan ini berbeda dengan berbagai negara yang umumnya menggunakan sistem penegakan hukum pidana anak melalui proses litigasi.

“Hukum adat merupakan landasan kehidupan yang telah mengikat masyarakat Indonesia sejak lama, meskipun belum berbentuk tertulis. Adanya upaya pemaksaan dan ancaman sanksi dalam hukum adat dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran dan rasa keadilan umum agar aturan-aturan tersebut tetap tertata,” ujar peneliti FH UNS, Ismunarno, dalam ASEAN Conference on the Prevention and Response to the Misuse of Financial Service Providers in Child Sexual Exploitation, Rabu (7/8/2024).

Baca Juga:

Penelitiannya menemukan bahwa sanksi hukum adat dinilai lebih ditujukan sebagai efek jera terhadap pelaku perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai adat. Sanksi itu mencegah agar perbuatan yang dimaksud tidak terulang. Sanksi yang diberikan dianggap sebagai alat pemaksa untuk tetap menaati nilai-nilai dan norma-norma yang dihormati keabsahannya dalam masyarakat.

“Secara umum, proses peradilan adat dilakukan untuk memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran norma, yang dipimpin oleh ketua adat. Proses pemberian sanksi diawali dengan membayar denda sejumlah uang kepada ketua adat, kemudian keluarga pelaku memberikan tumpeng kuning dan sejumlah hewan, seperti sapi dan kambing,” terang Ismunarno.

Bila semua tahapan dilakukan, dimulai prosesi bersih-bersih kampung dan dilanjutkan dengan pembacaan putusan sanksi terhadap pelaku. Kelompok peneliti FH UNS menemukan fakta bahwa seluruh tahapan peradilan adat dipimpin langsung oleh ketua adat dalam masyarakat adat di Indonesia.

Upacara bersih-bersih dusun adat yang dipimpin oleh ketua adat atau tetua adat menyimpan pesan dan tujuan tersendiri. Ritual ini mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang sempat terganggu akibat pelanggaran norma yang dilakukan oleh salah satu warga kampung adat. 

“Proses pemberian sanksi bagi pelaku pemerkosaan di wilayah adat biasanya tidak hanya melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban. Masyarakat desa adat, kepala desa, dan tokoh adat terlibat dalam proses pemberian sanksi adat kepada pelaku pemerkosaan (termasuk terhadap anak yang menjadi korbannya) di desa adat tertentu,” urainya.

Anak Korban Eksploitasi Seksual di Asia

Bukan hanya di Indonesia, kekerasan seksual seperti pemerkosaan atau eksploitasi seksual telah menjadi tantangan global yang meluas. Anak-anak kerap menjadi korban perdagangan manusia di dalam negara, lintas batas negara, bahkan regional melalui penggunaan ancaman atau kekerasan.

“Eksploitasi anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak dan resolusi internasional, konvensi dan kerangka kerja PBB. Meskipun menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan teknologi, anak-anak di Asia terus menderita (dari eksploitasi),” ujar Bushra Zulfiqar, Regional Director Asia Terre Des Hommes Netherlands.

Terlebih lagi, banyak ibu kota Asia yang disebut-sebut sebagai sumber, lokasi transit, bahkan tujuan perdagangan serta aksi eksploitasi anak. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh negara-negara Asia termasuk negara anggota ASEAN seperti Indonesia. Mereka harus berupaya memastikan bahwa anak-anak aman dari segala bentuk eksploitasi

Bushra menyampaikan sejumlah rekomendasi seperti mengatasi faktor kontekstual yang membuat anak berisiko mengalami eksploitasi; penerapan kebijakan yang memadai, undang-undang nasional & rencana aksi; tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku untuk memberikan keadilan kepada korban; serta mekanisme dukungan korban dan kelembagaan yang lebih kuat.

“Eksploitasi seksual terhadap anak-anak di Asia dimungkinkan melalui transaksi keuangan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan dan fasilitatornya. Pengumpulan informasi keuangan dan ketekunan sangat penting dalam pendeteksian dan pencegahan. Di samping itu, kerja sama lembaga keuangan diperlukan dalam penyelidikan dan penuntutan untuk membawa pelaku ke pengadilan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait