Hukum Perdagangan Indonesia: Quo Vadis?
Imam Nasima(*)

Hukum Perdagangan Indonesia: Quo Vadis?

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional 10 tahun yang lalu, Mochtar Kusumaatmadja mengungkapkan adanya sebuah kendala besar dalam pengembangan hukum perdagangan di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam kesempatan ini penulis tidak akan membahas lebih lanjut keberagaman pendapat tersebut secara khusus. Setidaknya satu buku tersendiri barulah cukup untuk, misalnya, membicarakan perkembangan hukum tentang perkumpulan di Indonesia. Yang ingin penulis bahas lebih lanjut adalah bagaimana keberagaman pemahaman akan ikon-ikon hukum dari masa penjajahan Belanda tersebut berkembang dan mengakibatkan lahirnya ketidakpastian hukum.

 

 

Penerjemahan Ganda

Seperti telah dituturkan di atas, mau tak mau kita hatus mengakui bahwa telah terjadi proses penerimaan (resepsi) hukum Eropa di dalam sistem hukum Indonesia, dalam hal ini berkaitan dengan  pengaturan hukum perikatan dan hukum perdagangan. Sedang untuk pengaturan hukum waris, hukum perkawinan, serta hukum keluarga, hukum adat dan hukum Islamlah yang berperan.

 

Namun begitu, masa sekarang ini setidaknya telah jauh berbeda dari masa prakemerdekaan, di mana di masa itu masih banyak terdapat sarjana hukum Indonesia yang menguasai bahasa hukum Belanda. Sarjana-sarjana hukum yang lahir belakangan, tidak lagi mendapatkan pengetahuan tentang hukum dagang Eropa yang dibawa Belanda dari sumber pertama. Telah terjadi proses pemindahan dan perpindahan pengetahuan yang bisa disebut sebagai proses penerjemahan ganda.

 

Penerjemahan ganda, karena terjadi dua kali proses interpretasi dalam memahami satu masalah hukum yang bersumber dari BW atau WvK. Akibatnya, apa yang diterima oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia saat ini, lebih dipengaruhi oleh bagaimana sarjana-sarjana hukum sebelumnya menginterpretasikan isi BW atau WvK. Proses penerimaan yang terjadi, pada kenyataannya telah diikuti dengan proses pengembanan dan pengembangan hukum yang dilakukan sarjana-sarjana hukum Indonesia sendiri.

 

Proses penerjemahan ganda tersebut, bukannya tidak menimbulkan masalah. Sebab, seperti sudah penulis singgung sebelumnya, sarjana-sarjana hukum Indonesia yang lahir belakangan tidak lagi menguasai bahasa Belanda. Sehingga yang mereka lihat hanyalah adanya beragam interpretasi akan satu pengertian tertentu, tanpa lagi bisa menyelami lebih dalam esensi dari perbedaan pendapat yang timbul akan satu pengertian hukum.

 

Sebuah ilustrasi menarik penulis temukan dalam disertasi yang ditulis oleh A.W.H. Massier berjudul ‘Van Recht Naar Hukum: Indonesische juristen en hun taal 1915-2000' (Dari ‘Recht' Ke ‘Hukum': Sarjana-sarjana hukum Indonesia dan bahasa mereka 1915-2000). Dalam ilustrasi tersebut, ditunjukkan bagaimana sulitnya mahasiswa-mahasiswa seorang guru besar pada Universitas Gajah Mada mencoba memahami pengertian ‘overeenkomst' yang diterima di dalam sistem hukum Indonesia dengan terjemahan ‘perjanjian'. Saat ditanyakan apa pengertian ‘perjanjian', maka para mahasiswa tersebut dengan sigap memberikan definisi yang mereka ketahui melalui kuliah-kuliah maupun diktat-diktat perkuliahan. Namun, saat ditanyakan bagaimana KUH Perdata (BW) mendefinisikan hal tersebut, mereka diam seribu bahasa.

 

Hal tersebut terjadi, karena dalam KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio pada waktu itu, kata ‘overeenkomst' diterjemahkan sebagai ‘persetujuan'. Baru pada cetakan ke 25 yang dikeluarkan di tahun 1992, Subekti dan Tjitrosudibio mencantumkan kata ‘perjanjian' sebagai ganti kata ‘persetujuan'. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: