Hukum Olahraga Harus Jadi Lex Specialis
Berita

Hukum Olahraga Harus Jadi Lex Specialis

Olahraga memiliki law of the gamenya masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional, bahkan hukum internasional.

CR-7
Bacaan 2 Menit
Hukum Olahraga Harus Jadi <i>Lex Specialis</i>
Hukumonline

Nova Zaenal dan Bernard Mamadou mungkin tak pernah menyangka kalau perkelahian mereka akan menyeret keduanya ke meja hijau. Nova dan Mamadou, secara terpisah, didakwa melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan di Pengadilan Negeri Solo, Agustus 2009. Akhir Januari 2010 lalu jaksa menuntut keduanya hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun.

 

Sekilas memang tak ada yang aneh dalam kasus Nova dan Mamadou di atas. Para pelanggar hukum memang harus diadili. Namun, persoalan akan muncul ketika diketahui fakta bahwa Nova dan Mamadou berkelahi di lapangan sepak bola.

 

Nova dan Mamadou bukan sekedar pemuda biasa yang berkelahi di lapangan karena berebut sesuatu atau hanya karena salah paham. Keduanya adalah pesepakbola profesional. Nova adalah pesepakbola profesional Indonesia yang bermain untuk Persis Solo. Sementara Mamadou adalah pemain klub Gresik United asal Liberia.

 

Perkelahian Nova dan Mamadou terjadi setahun lalu, Februari 2009. Kala itu, Persis Solo sebagai tuan rumah dan menjamu Gresik United. Di pertengahan pertandingan, Nova memprotes tindakan Mamadou yang dianggap tidak fair karena tak membuang bola keluar lapangan saat ada pemain Persis yang cidera. Adu tarik urat leher terjadi antara Nova-Mamadou. Ujungnya, Mamadau memukul pelipis Nova. Tak terima, Nova mengejar dan balas memukul perut Mamadau. Usai pertandingan, polisi menciduk Nova-Mamadu. Bahkan keduanya sempat ditahan. Namun belakangan polisi menangguhkan penahanan keduanya.

 

Intervensi negara

Penangkapan, penahanan dan proses peradilan terhadap Nova dan Mamadou menimbulkan kontroversi. Pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Badan Liga Indonesia (BLI) dan sejumlah pelatih klub sepakbola menyayangkan pemrosesan hukum terhadap Nova-Mamadou. Menurut mereka, ada aturan di dalam sepakbola yang dikecualikan dari hukum.

 

Direktur Indonesia Lex Sportiva Instituta, Hinca IP Pandjaitan menilai semua jenis olah raga –termasuk sepak bola- memiliki law of the game alias aturan mainnya masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional, bahkan hukum internasional. “Karena olah raga, khususnya sepak bola, sudah global, borderless,” terang Hinca dalam Seminar Pengembangan Hukum Olahraga Nasional di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (10/2).

 

Secara umum, Hinca menuturkan olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara sudah ikut campur terlalu jauh, maka itu berarti negara sudah melanggar hak asasi rakyatnya. Di Indonesia, Hinca melihat negara sudah cukup jauh melakukan intervensi ke dunia olah raga.

 

Penyusunan UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) misalnya. Menurut Hinca, UU itu memberikan kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk ikut campur dalam urusan olahraga. Sebagai contoh, UU SKN mengatur mengenai standarisasi nasional keolahragaan, akreditasi, dan sertifikasi yang menjadi domain menteri dan atau lembaga mandiri yang berwenang untuk itu. Bahkan, pengawasan dan pengendalian olahraga profesional dilakukan oleh lembaga mandiri yang dibentuk pemerintah.

 

Hinca juga melihat intervensi dilakukan terhadap penyelesaian sengketa di bidang keolahragaan. Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, mengatur secara tegas tentang sengketa dalam induk organisasi sepakbola. Menurutnya, hal ini menunjukkan pemerintah secara tegas dan sadar melakukan intervensi atas penyelenggaraan kompetisi sepakbola profesional.

 

Intervensi penyelesaian sengketa dalam cabang sepak bola, kata Hinca, bertentangan dengan hukum global yang mengatur olah raga. Statuta FIFA, dan berbagai federasi olahraga internasional lainnya menetapkan aturan tidak boleh membawa penyelesaian sengketa sepakbola ke badan peradilan negara dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.

 

Negara sendiri, masih menurut Hinca, hanya bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan fasilitas dan infrastruktur olah raga bagi warga negaranya. “Memastikan lapangan sepak bola cukup, dana untuk itu cukup, infrastrukutur cukup, itu saja, yang lain tidak boleh,” tukas Hinca yang juga berprofesi sebagai advokat ini. Untuk aspek hukum, negara hanya bisa mengatur aspek-aspek yang berkenaan dengan olah raga. Misalnya, pengaturan untuk klub olahraga yang berbentuk perseroan terbatas. Maka klub itu harus tunduk terhadap pada UU Perseroan terbatas, maupun ketentuan lain yang terkait misalnya ketentuan perpajakan. “UU PT kita sudah ada, UU Pajak kita sudah ada. Semua sudah ada. Mengapa harus ada UU Olah raga untuk mengatur itu?”.

 

Di tempat sama, Sekjen Badan Pengembangan dan Pengawasan Olahraga Profesional Indonesia (BP2OPI), Kamil Husni yang ikut merumuskan UU SKN menyangkal intervensi pemerintah melalui UU ini. “Justru ini mendorong masyarakat, pemerintah untuk berbuat sesuai fungsi-fungsinya,” terang Kamil.

 

Lebih lanjut Kamil menerangkan, pemerintah tidak menyentuh masalah atau hakekat peraturan dari cabang olahraga itu sendiri. “Kita tidak pernah mengatur wasit, kita tidak pernah mengatur permain olah raga, kita tidak intervensi,” tandasnya.

 

Studi Hukum Keolahragaan

Pada kesempatan sama, pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, mengatakan bahwa dalam segala hal pasti ada aspek hukumnya. Begitupun dalam olah raga. Sebagai contoh, Gandjar menyoroti masalah kesejahteraan atlet. Misalnya, untuk atlet sepakbola, yang hanya dibayar oleh klub ketika masa liga atau pertandingan. Padahal liga hanya berlangsung selama tujuh sampai delapan bulan setahun. Selebihnya, penghasilan atlet menurun drastis.

 

Gandjar berpendapat bahwa kesejahteraan dan masa depan atlet harus diperhatikan. Karenanya, pendidikan menjadi hal yang penting untuk bagi setiap atlet. “Jangan sampai berprestasi, bubar, pensiun, tidak mempunya modal untuk melanjutkan hidup,” tukasnya.

 

Fredi Haris, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) memandang perlunya hukum keolahragaan menjadi satu studi yang dipelajari secara dalam. Menurutnya, diperlukan orang-orang yang memahami secara khusus olahraga dari aspek hukum.

 

Studi khusus itu bisa dilakukan dalam bentuk sekolah lanjutan, atau program Magister Hukum Keolahragaan, maupun program lisensi untuk mendapatkan sertifikat keahlian dalam bidang hukum keolahragaan. Fredy melihat seharusnya manajer persatuan sepak bola misalnya, harus mengerti tentang hukum keolahragaan. “Supaya ngerti, ngerti haknya si atlet, ngerti haknya pelatih, dan hak dia (manajer-red) sendiri,” terangnya.

 

Selain terhadap pihak yang berkepentingan, tentunya hukum keolahragaan juga menjadi penting bagi aparat penegak hukum. Setidaknya aparat penegak hukum bisa memiliki perspektif yang baru selain norma hukum yang diatur dalam KUHP.

Tags:

Berita Terkait