Hukum Jual Beli Pemain dalam Sepak bola
Terbaru

Hukum Jual Beli Pemain dalam Sepak bola

Jual beli pemain bola bukanlah tindak perdagangan orang/human trafficking sebab tidak ada unsur eksploitasi di dalamnya. Para pemain sepak bola secara sukarela mengikatkan diri mereka masing-masing dalam kontrak antara mereka dengan klub sepak bola.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Pertama, adanya kesepakatan diantara para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan dalam hal ini adalah tidak adanya unsur paksaan (dwang), penipuan (bedrog/fraud), kekhilafan atau kesesatan berfikir dari para pihak yang membuat perjanjian. Singkat kata, hal-hal yang kelak akan diatur dalam perjanjian merupakan ungkapan dari kehendak bebas para pihak yang membuatnya, dibuat secara sadar untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kedua, adanya kecakapan hukum untuk bertindak. Pasal 1329 KUH Perdata mengatur bahwa pada dasarnya setiap orang cakap hukum untuk bertindak, kecuali bagi mereka yang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang dinyatakan tidak cakap adalah anak yang masih di bawah umur dan mereka yang berada di bawah pengampuan. Kategori di bawah umur adalah di bawah usia 21 tahun/belum kawin menurut Pasal 330 KUH Perdata, sementara kategori di bawah pengampuan adalah termasuk orang-orang yang sakit ingatan atau gila, lemah pikiran, pemboros, pemabuk atau mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh hakim untuk mengurus hartanya.

Syarat sebagaimana disebut dalam point a dan b di atas adalah syarat subjektif, yaitu persyaratan yang menyangkut para pihak yang menjadi subjek (pelaku) perjanjian. Apabila salah satu atau kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian yang sudah dibuat tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang dirugikan tidak memintakan pembatalan terhadap perjanjian tersebut, maka perjanjian tersebut tetap sah dan berlaku.

Ketiga, adanya objek tertentu. Objek dari perjanjian harus jelas, tertentu/spesifik (centainty of terms). Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Namun, objek perjanjian tidak hanya berupa benda berwujud, tetapi juga dapat berupa jasa. Benda yang menjadi objek perjanjian dapat berupa benda yang telah ada pada saat perjanjian itu dibuat dan dapat juga berupa benda yang akan ada di kemudian hari.

Sementara definisi jasa merujuk berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Perbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain, negara, instansi, dan sebagainya; perbuatan yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan orang lain; layanan; servis; aktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya. Termasuk sebagai layanan jasa dalam hal ini adalah yang dilakukan oleh kaum profesional, seperti dokter, advokat, akuntan publik, notaris, dan lain sebagainya.

Keempat, adanya sebab/kausa yang halal. Para pihak yang membuat perjanjian tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum, misalnya, jual beli narkotika atau obat-obatan terlarang lainnya, perdagangan manusia, dan perjudian.

Syarat sebagaimana disebut dalam point c dan d di atas adalah syarat objektif, artinya persyaratan yang menyangkut objek yang diperjanjikan. Apabila salah satu atau kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut secara otomatis menjadi batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait