Hukum Internasional Tidak Berpihak kepada yang Lemah
Berita

Hukum Internasional Tidak Berpihak kepada yang Lemah

Baghdad telah jatuh ke tangan Koalisi di bawah pimpinan AS. Sebagai agresor, Presiden AS George W. Bush bisa diadili sebagai penjahat perang. Namun sebagai pemenang perang, AS dan konco-konconya malah bisa menyeret Presiden Saddam Hussein dan pendukungnya sebagai penjahat perang.

Rep
Bacaan 2 Menit
Hukum Internasional Tidak Berpihak kepada yang Lemah
Hukumonline

Rasanya tidak masuk akal juga, Saddam dan pengikutnya yang diinvasi AS dan sekutunya malah diseret ke pengadilan internasional. Padahal secara nalar, tidak ada hak bagi negara lain untuk menginvasi negara lain dengan alasan pemerintahnya tidak melindungi rakyatnya.

Ya begitulah, agaknya dalam tataran dunia yang berlaku adalah 'hukum rimba'. Siapa yang kuat, dia menang, dan leluasa mengatur segalanya. "Hukum internasional memang hukum yang primitif dan tidak berpihak kepada yang lemah. Pihak yang diadili adalah yang kalah perang," cetus Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, dalam sebuah diskusi "Legalitas Invasi ke Irak Menurut Hukum Internasional" di Jakarta.

Menurut Hikmahanto, AS dan sekutunya--sebagai pihak yang menang-- bisa saja menyeret para pemimpin Irak--sebagai pihak yang kalah--ke pengadilan internasional. Karena itu, jangan berharap pihak-pihak yang menginginkan Bush atau PM Tony Blair untuk diadili sebagai penjahat perang.

Bahkan, jika pun AS dan sekutunya kalah, tidak mudah begitu saja untuk membawa Bush ke pengadilan internasional. Sebagai negara adidaya satu-satunya di dunia, sepertinya AS bisa mengatur segalanya. Dengan kekuatan lobinya, AS bisa mempengaruhi berbagai lembaga dan opini publik. Lihatlah ketika AS kalah dalam perang melawan Vietnam, Presiden Johnson tidak diadili.

AS melanggar hukum internasional

Di mata Hikmahanto, aksi AS dan sekutunya menginvasi Irak melanggar hukum internasional. Memang dalam Piagam PBBB, ada dua alasan suatu negara dapat melakukan perang. Pertama, dalam rangka membela diri (Pasal 51 Piagam PBB). Kedua, perang bisa dilakukan melalui mandat PBB lewat mandat Dewan Keamanan PBB (Pasal 7).

Hikmahanto mengemukakan, ternyata dua persyaratan itu tidak dipenuhi. Berdasar Resolusi 1441, Irak harus koperatif dan kalau tidak akan menghadapi ancaman yang serius. Pengunaan resolusi ini sangat lemah karena tidak mengatur penurunan rezim. "AS malah sekarang ingin mengatur pasca Irak," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Sebaliknya, Richard Gozney, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, berpendapat bahwa ada dasar hukum yang jelas bagi Koalisi untuk menyerang Irak. Menurutnya, keterlibatan Inggris itu mendapat lampu hijau setelah ada masukan dari Jaksa Agung. "Jaksa Agung sebagai ahli hukum, bukan sebagai menteri," cetusnya.

Gozney menyebutkan landasan bagi Inggris untuk terlibat dalam perang melawan Irak. Pertama, Resolusi 678, yang mengijinkan untuk mengusir Irak dari Kuwait. Kedua, Resolusi 687, untuk menghancurkan senjata pemusnah masal. Ketiga, Resolusi 141. "Bagi kami, Resolusi 1441 menjustifikasi aksi militer. Kami yakin, masih ada senjata pemusnah masal di Irak," katanya.

Ia menegaskan bahwa pasca perang Irak, PBB lah yang akan banyak berperan dan bukan AS atau Inggris. Namun, Gozney juga menekankan bahwa tentara Inggris dan AS akan tetap berada di Irak untuk menjaga keamanan.

Implikasi

Namun, pendapat Gozney itu ditepis oleh Munarman, Ketua Dewan Pengurus YLBHI. "Tafsiran Grosney (Inggris) hanya sepihak, bukan tafsiran resmi PBB untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Itu tidak betul prosedur hukumnya," tukasnya. Apalagi berdasarkan temuan tim inspeksi, belum ditemukan senjata massal dan Irak sudah mulai kooperatif.

Karena itu, menurut Munarman, penggunan kekerasan (militer) oleh Koalisi di Irak tidak sah karena bertentangan dengan Konvensi Jenewa dan Statuta Roma. Merujuk ke Statuta Roma, aksi Koalisi itu melangar tiga dari empat kategori kejahatan perang.

Pertama, kejahatan kemanusian karena aksi tentara Kolisi mengakibatkan jatuhnya korban dari sipil yang tidak berdosa. Kedua, kejahatan agresi, yaitu pengerahan militer untuk menyerang negara lain. Ketiga, kejahatan perang. "Yang belum dilakukan hanya genosida. Perang ini tidak legal dan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Munarman.

Pengamat politik intelijen Djuanda, juga sependapat bahwa aksi AS dan sekutunya adalah agresi karena telah melanggar martabat negara. "Irak di bawah Saddam adalah bangsa berdaulat. Kemudian, Irak diperkosa oleh AS dan koalisinya," kata purnawiwan Letkol AL ini.

Perang tidak hanya meninggalkan jatuhnya korban dan luka mendalam, tapi juga ketidakadilan. Pada akhirnya, negara adidaya dan negara kuatlah yang bisa menggunakan hukum internasional. "Yang kita inginkan adalah moralitas negara besar. Jangan sampai pada waktu kepentingan mereka diusik, justru hukum internasional diabaikan," kata Hikmahanto.

Hikmahanto juga mengingatkan implikasi terhadap pengabaian hukum internasional. "Ada preseden buruk yang dicontohkan negara besar," cetusnya. Jadi, ada alasan bagi negara lain untuk mengikuti jejak AS, Inggris, dan sekutunya. Negara agresor  pun tidak mau disalahkan dan bisa saja berkelit. Kalau AS dan Ingris bisa, mengapa negara lain tidak bisa?

 

Tags: