Gozney menyebutkan landasan bagi Inggris untuk terlibat dalam perang melawan Irak. Pertama, Resolusi 678, yang mengijinkan untuk mengusir Irak dari Kuwait. Kedua, Resolusi 687, untuk menghancurkan senjata pemusnah masal. Ketiga, Resolusi 141. "Bagi kami, Resolusi 1441 menjustifikasi aksi militer. Kami yakin, masih ada senjata pemusnah masal di Irak," katanya.
Ia menegaskan bahwa pasca perang Irak, PBB lah yang akan banyak berperan dan bukan AS atau Inggris. Namun, Gozney juga menekankan bahwa tentara Inggris dan AS akan tetap berada di Irak untuk menjaga keamanan.
Implikasi
Namun, pendapat Gozney itu ditepis oleh Munarman, Ketua Dewan Pengurus YLBHI. "Tafsiran Grosney (Inggris) hanya sepihak, bukan tafsiran resmi PBB untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Itu tidak betul prosedur hukumnya," tukasnya. Apalagi berdasarkan temuan tim inspeksi, belum ditemukan senjata massal dan Irak sudah mulai kooperatif.
Karena itu, menurut Munarman, penggunan kekerasan (militer) oleh Koalisi di Irak tidak sah karena bertentangan dengan Konvensi Jenewa dan Statuta Roma. Merujuk ke Statuta Roma, aksi Koalisi itu melangar tiga dari empat kategori kejahatan perang.
Pertama, kejahatan kemanusian karena aksi tentara Kolisi mengakibatkan jatuhnya korban dari sipil yang tidak berdosa. Kedua, kejahatan agresi, yaitu pengerahan militer untuk menyerang negara lain. Ketiga, kejahatan perang. "Yang belum dilakukan hanya genosida. Perang ini tidak legal dan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Munarman.
Pengamat politik intelijen Djuanda, juga sependapat bahwa aksi AS dan sekutunya adalah agresi karena telah melanggar martabat negara. "Irak di bawah Saddam adalah bangsa berdaulat. Kemudian, Irak diperkosa oleh AS dan koalisinya," kata purnawiwan Letkol AL ini.
Perang tidak hanya meninggalkan jatuhnya korban dan luka mendalam, tapi juga ketidakadilan. Pada akhirnya, negara adidaya dan negara kuatlah yang bisa menggunakan hukum internasional. "Yang kita inginkan adalah moralitas negara besar. Jangan sampai pada waktu kepentingan mereka diusik, justru hukum internasional diabaikan," kata Hikmahanto.
Hikmahanto juga mengingatkan implikasi terhadap pengabaian hukum internasional. "Ada preseden buruk yang dicontohkan negara besar," cetusnya. Jadi, ada alasan bagi negara lain untuk mengikuti jejak AS, Inggris, dan sekutunya. Negara agresor pun tidak mau disalahkan dan bisa saja berkelit. Kalau AS dan Ingris bisa, mengapa negara lain tidak bisa?