Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid I)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid I)

​​​​​​​Hukum Harta Perkawinan dan Hukum Keluarga mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tetapi kita bisa membedakannya.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Pengantar

Adapun yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Harta Perkawinan adalah hukum yang mengatur akibat perkawinan terhadap harta yang terbentuk dalam keluarga tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai Hukum Kekayaan Keluarga[1] atau lebih sering: Hukum Harta Perkawinan (Huwelijksgoederanrecht). 

 

Perkawinan tidak hanya mempunyai dampak terhadap diri pribadi suami dan isteri, tidak hanya mempunyai akibat dalam hubungan kekeluargaan, tidak hanya mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga, tetapi juga terhadap harta suami–isteri yang terbentuk dalam perkawinan. Artinya, perkawinan juga mempunyai akibat yang bersifat Hukum Kekayaan Keluarga. Dengan demikian bisa kita katakan, bahwa Hukum Harta Perkawinan dan Hukum Keluarga mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tetapi kita bisa membedakannya.

 

Dalam sistematika Burgerlijk Wetboek (BW), Hukum Harta Perkawinan merupakan bagian dari Hukum Keluarga. Kalau UU Perkawinan sesuai dengan judulnya mengatur “Tentang Perkawinan”, mengapa dalam judul makalah ini, dikaitkan dengan Hukum Harta Perkawinan (HHP)?

 

Kalau kita simak isi UU Perkawinan, ternyata UU Perkawinan -berlainan dengan judulnya- mengatur lebih dari sekadar “perkawinan” saja. Hal itu nampak dari adanya pengaturan tentang: Harta Benda di dalam Perkawinan (Bab VIII), Kedudukkan Anak (Bab IX), Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak (Bab X) dan Perwalian (Bab XI), yang merupakan bagian dari Hukum Keluarga.[2] 

 

Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa UU Perkawinan sebenarnya -berlainan dengan kesan yang ditimbulkan oleh judulnya- mengatur Hukum Keluarga atau paling tidak sebagian besar dari Hukum Keluarga.

 

Karena ternyata UU Perkawinan mengatur juga tentang Harta Benda dalam Perkawinan, yang tidak lain merupakan akibat perkawinan terhadap harta suami–isteri. Dan sebelum berlakunya UU Perkawinan -atas dasar Pasal 131 jo. Pasal 162 Indische Staatsregeling dan Pasal 11 Algemene Bepaling van Wetgeving- kita sudah mengenal Hukum Harta Perkawinan yang berlaku bagi beberapa golongan penduduk Indonesia (dahulu disebut Nederlands Indie), maka berdasarkan ketentuan peralihan dalam beberapa UU Perkawian yang pernah berlaku di Indonesia (sesudah merdeka) ada dasar bagi ketentuan lama -selama belum diganti dengan yang baru- untuk tetap berlaku.

 

Sehingga ada peluang bagi kita untuk mempermasalahkan, bagaimana hubungan antara Hukum Harta Perkawinan berdasarkan UU Perkawinan dengan Hukum Harta Perkawinan yang selama ini berlaku? Apakah ketentuan Hukum Harta Perkawinan dalam UU Perkawinan bermaksud mencabut/meniadakan ketentuan Hukum Harta Perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelumnya?

 

Obyek Tinjauan

Dalam peristiwa timbulnya undang-undang baru yang mengatur hal yang sama dengan undang-undang yang selama ini berlaku, maka berlaku asas lex posterior derogat lex priori. Namun demikian bisa terjadi, undang-undang yang baru belum mengatur seluruh materi yang diatur dalam undang-undang lama, yang hendak diganti dengan yang baru, sehingga bisa ada sebagian dari undang-undang lama yang masih tetap berlaku berdampingan dengan yang baru. 

 

Ketentuan seperti itu kita temukan dalam Pasal 66 dan 67 UU Perkawinan. Sehubungan dengan adanya ketentuan pasal-pasal tersebut, kiranya perlu diteliti sampai sejauh mana ketentuan lama masih berlaku?

 

Pasal 66 UU Perkawinan mengatakan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. 

 

Adapun yang dimaksud dengan “undang-undang ini” adalah UU Perkawinan. Selanjutnya perhatikan kata-kata “perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan”, yang mestinya mempunyai jangkauan yang luas -tidak hanya mengenai perkawinan saja- dan kalau kata-kata itu ditafsirkan meliputi semua akibat dari perkawinan, maka jangkauannya mestinya sampai ke Hukum Harta Perkawinan. Ini membuktikan, bahwa kita perlu menyimak Pasal 66 UU Perkawinan.

 

Namun, kalau kita baca anak kalimat di belakangnya, yang berbicara tentang “peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan” -perhatikan kata “perkawinan”- anak kalimat itu memberikan kesan jangkauannya hanya sampai pada ketentuan tentang perkawinan saja. Jadi, hanya peraturan yang mengatur perkawinan saja? Yang kalau demikian, sekalipun berhubungan dengan perkawinan, tetapi bukan mengenai “perkawinan” itu sendiri, tidak termasuk yang dikecualikan dari penghapusan?

 

Agar sinkron dengan awal kalimat Pasal 66 UU Perkawinan, mestinya termasuk juga semua ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan. Selanjutnya kita perlu simak kata-kata dalam anak kalimat “sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Apa yang bisa kita simpulkan dari kata-kata itu?

 

J. Satrio

 

[1] Familie Vermogensrecht; baca J.G.Klaassen – J. Eggens – J.M. Polak, Huwelijksgoederen – en Erfrecht, pada kata Pengantar cetakan keenam.

[2] baca L.v. Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, hlm. 171.

Tags:

Berita Terkait