Hukum Acara dan Tantangan Penegakan UU No. 5/1999
Kolom

Hukum Acara dan Tantangan Penegakan UU No. 5/1999

Tantangan selalu akan ada bagi pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (selanjutnya disebut "UU No. 5") dengan bobot yang berbeda﷓beda dan sesuai dengan perkembangan cara berbisnis dan teknologi dunia usaha. Akan tetapi yang relevan pada saat ini adalah tantangan mana yang pada saat ini merupakan tantangan terbesar bagi eksistensi, reputasi dan masa depan UU No. 5, khususnya ditinjau dari segi tata cara penanganan perkara?

Bacaan 2 Menit

Wewenang sanksi administratif

Wewenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif diatur dalam Pasal 47 UU No. 5. Putusan KPPU dapat berupa:

- "perintah untuk menghentikan" sesuatu, dan

- "penetapan pembatalan" sesuatu,

sesuai dengan sifat ketentuan yang dilanggar.

KPPU bukan hanya tidak dibekali dengan ketentuan efektif untuk melaksanakan tindakan adminstratif tersebut secara paksa, tetapi juga tidak ada sanksi efektif terhadap tidak dipenuhi isi tindakan adminsitratif oleh KPPU!

Wewenang untuk menjatuhkan "pidana pokok" dan "pidana tambahan" tidak tercakup oleh wewenang yang diberikan oleh Pasal 47 UU No.5. Oleh karena wewenang dalam Pasal 47 UU No. 5 secara tegas hanya terbatas pada tindakan administratif.  Tindakan Administratif pada prinsipnya dikaitkan pada ketentuan tertentu da!am UU No. 5 yang dilanggar, yaitu pelanggaran atas:

-  Pasal 4 sampai dengan Pasal 13 UU No. 5;

-  Pasal14;

-  Pasal15;

-  Pasal 16; dan

-  Pasal28,

sedangkan wewenang yang tidak dikaitkan dengan pasal tertentu adalah:

- perintah untuk menghentikan kegiatan praktek antimonopoli dan/atau persaingan sehat dan atau merugikan masyarakat; dan

- menetapkan denda bagi masyarakat yang dirugikan, dan

- menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.

Pelaku Usaha berdasarkan Pasal 41 Ayat 1 UU No.5 harus menyerahkan alat bukti  yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan dan berdasarkan Pasal 41 Ayat 2 UU No. 5 dilarang menolak diperiksa memberikan informasi yang diperiksa atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

Pelanggaraan atas Pasal 41 ayat 2 dapat diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila situasi tersebut terjadi ada akibat hukum yang ditentukan dalam penjelasan atas ayat ke-3 Pasal 41 UU No. 5: yang diserahkan oleh KPPU pada penyidik bukan hanya perbuatan atau tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (2) Pasal 41 UU No. 5, tetapi juga termasuk pokok perkara yang sedang diselidiki dan diperiksa oleh KPPU.

Apa dampak peraturan tersebut?

Pelanggaran terhadap Ayat 1 (menyerahkan bukti) tidak dapat diserahkan kepada penyidik. Oleh karenanya, tidak juga kena pidana pokok dan juga tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh KPPU.

Pemaksaan pelaksanaan kewajiban melalui penyidik tidak berakibatkan melancarkan pemeriksaan oleh KPPU. Akan tetapi, berakibatkan (keharusan?) penyerahan pokok perkara yang sedang diselidiki kepada penyidik ke luar dari jangkauan KPPU.

Penanganan selanjutnya oleh penyidik dan peradilan umum kemungkinan besar berarti tidak dapat dilakukan lagi tindakan administratif (karena tidak lagi berada ditangani oleh KPPU) dan terbatas pada pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan tidak semua pelanggaran ketentuan UU No. 5 dikenakan pidana pokok. Misa!nya: Pasal-pasal 1-3, Pasal 10-13, dan Pasal 29 UU No. 5. Mungkin ini suatu kesalahan atau mungkin memang demikian dikehendaki oleh pembuat undang-undang!

Dilihat dari ketentuan dalam UU No. 5 yang berlaku untuk KPPU yang hanya mengenal keberatan kepada Pengadilan Tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung (yang masing- masing terikat oleh jangka waktu penyelesaian sampai pada putusan), proses lewat penyidik memberikan kesempatan perubahan putusan dengan jangka waktu penyelesaian kemungkinan besar lebih lama. Bahkan, ada kemungkinan bahwa perkara persaingan tidak dapat dilaksanakan lebih lanjut sama sekali oleh penyidik dan peradilan umum karena ketidaksempurnaan integrasi dan sinkronisasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 27 UU No. 5 dan Pasal 29 UU No. 5 hanya berupa perintah penghentian (sepanjang masih berlangsung?) dan penetapan denda (sepanjang ada kerugian masyarakat lain yang menuntut ganti rugi). Kewenangan tersebut tidak termasuk wewenang penetapan pembatalan misalnya. Berarti, sepanjang perilaku persaingan tersebut telah berakhir tidak ada wewenang tindakan administratif oleh KPPU, sehingga menjadi pertanyaan apa kegunaan KPPU menangani perkara seperti itu.

Tindakan sementara

Suatu kelemahan lain bagi KPPU adalah bahwa tidak ada sarana untuk menghentikan sementara suatu perbuatan persaingan yang diduga melanggar UU No. 5 selama pemeriksaan berlangsung sampai ada putusan yang final.

Di sisi lain mungkin diperlukan suatu sarana yang memberikan wewenang bagi KPPU untuk melaksanakan terlebih dahulu putusan KPPU, walalupun ada keberatan kepada Pengadilan Negeri atau banding ke Mahkamah Agung.

Hal yang sama dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), misalnya pada saat PTUN memerintahkan penghentian proses tender Jakarta Outer Ring Road (JORR). Menarik adalah pertanyaan, apakah KPPU dapat bertindak sebagai penggugat di PTUN untuk keperluan putusan tersebut.

Oleh karena pidana pokok hanya mencakup pelanggaran atas ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 UU No. 5, pemberitahuan penggabungan atau peleburan badan usaha ataupun pengambilalihan saham yang berakibatkan nilai aset dan/atau penjualan melebihi jumlah tertentu sesuai dengan Pasal 29 UU No. 5, tidak terjangkau oleh KPPU ataupun oleh penyidik.

Ada kemungkinan bahwa adanya keragu-raguan apakah KPPU berwenang untuk memeriksa suatu perkara tertentu. Ada perbedaan pendapat apakah yang diduga memang masuk ke dalam ruang lingkup UU No. 5. Misalnya menurut Terlapor, KPPU tidak mempunyai wewenang oleh karena perbuatan berada di luar UU No. 5. Tentunya dengan bertambahnya variasi kasus, lama-kelamaan seharusnya makin jelas ruang lingkup UU No. 5. Kenyataan bahwa pada permulaan masih lebih sering timbul pertanyaan tentang kewenangan adalah gejala yang wajar. Memang,  seharusnya ada mekanisme untuk memastikan wewenang KPPU.

Terobosan

Sebagai akibat beberapa kelemahan tata cara pemeriksaan UU No. 5, perlu adanya terobosan. Akan tetapi, terobosan terbesar tersebut tidak boleh berkibatkan tidak adanya dasar hukum yuridis formal. Membelokkan hukum demi tuiuan yang baik tidak dapat ditolerir dalam semangat supremasi dan reformasi hukum. Terobosan tidak boleh menjadi budaya mengakali sesuatu apabila tidak mau diakali pula.

UU No. 5 sendiri merupakan terobosan terhadap struktur ekonomi yang sudah usang. Oleh karena merupakan trendsetter dari segi kerangka substansi diharapkan bahwa UU No 5 merupakan teladan tatanan hukum yang modern secara keseluruhan dan tidak selayaknya dibungkus dengan suatu karoseri hukum acara yang lebih terbelakang dari hukum acara yang umum berlaku.

Terlapor sebaiknya berhak untuk mengetahui apa yang dilaporkan atau diduga secara akurat dan tidak hanya secara global dengan menunjuk pada suatu pasal tertentu di dalam UU No. 5 tanpa mengetahui secara konkret apa yang dipersalahkan kepadanya, sehingga dapat melakukan "pembelaan" secara konkrit. Masalah yang di hadapi di KPPU sama sekali berlainan dengan acara yang berlaku di pihak Kepolisian atau kejaksaan, oleh karena masih ada kesempatan pembelaan di tingkat pertama.

Apabila secara konseptual pemeriksaan pendahuluan dianggap sebagai tahap penyelidikan dan pemeriksaan lanjutan dianggap sebagai "tahap pengadilan" yang menghasilkan putusan yang dapat "dieksekusi", lalu mana tahap pembelaannya? Seandainya ada kesalahan dalam asumsi tersebut, tetapi kesalahan tersebut tidak menghilangkan asas bahwa di mana diberikan suatu hak eksekusi lewat pengadilan seharusnya ada tahap pembelaan. Dari tata kerja yang dibuat sendiri oleh KPPU, sidang berupa serangkaian pertanyaan yang diakhiri dengan suatu putusan. Hal ini secara fundamental mengandung cacat struktur hukum dan rasa keadilan.

Peranan konsultan hukum

Peranan konsultan hukum seharusnya setidak-tidaknya sama seperti di keadaan lain yang dapat dipersamakan. Bantuan hukum yang diperbolehkan oleh KPPU hanya berlaku selama pemeriksaan, apabila diminta oleh Terlapor dan asalkan diijinkan setiap kali oleh Majelis.

Apapun pendapat tentang kegunaan konsultan hukum, peranan yang ada jelas kurang memadai. Seharusnya suatu perkara persaingan dapat diselesaikan dengan lebih efisien dengan perantaraan konsultan hukum, kecuali untuk pemeriksaan di mana Terlapor harus menjawab secara langsung. Bagaimanapun juga, sewajarnya Terlapor perlu dilindungi oleh permintaan KPPU yang tidak harus dipatuhi atau pertanyaan di luar ruang lingkup UU No. 5.

Hukum persaingan memang suatu bidang hukum yang khusus dan yang memerlukan pengetahuan khusus. Dari segi Perkumpus, tidak keberatan bahwa disyaratkan suatu standar pengetahuan tertentu sebelum boleh mendampingi Saksi/Terlapor pada acara pemeriksaan perkara di KPPU. Di samping itu juga diperlukan suatu kode ethik khusus yang menjamin aturan main dengan standar etika profesi yang tinggi.

Tantangan harus diatasi dan semua pihak harus bekerja sama agar UU No. 5 dapat berjalan secara efektif, asalkan sesuai dengan asas legalitas dan penegakan supremasi hukum.

 

Dr. M. Idwan Ganie, S.H. adalah praktisi hukum pada Firma Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) dan Ketua Perhimpunan Konsultan Hukum Persaingan Usaha (Perkumpus)

 

Artikel ini disampaikan pada diskusi panel dengan tema "Evaluasi Penegakan UU N0. 5 Tahun 1999 dan Visi ke Depan" yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan Usaha FH UI di Jakarta pada 26 Maret 2002

Tags: