‘Hujan’ Asas Hukum di Panggung Sidang Mahkamah Konstitusi
Sengketa Pilpres 2019

‘Hujan’ Asas Hukum di Panggung Sidang Mahkamah Konstitusi

Asas reo negate actori incumbit probatio berarti jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang sengketa pilpres 2019 di MK. Foto: RES
Suasana sidang sengketa pilpres 2019 di MK. Foto: RES

Sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden–Wakil Presiden telah rampung. Publik Tanah Air tengah menunggu hasil rapat permusyawaratan hakim. Apapun hasilnya yang akan dibacakan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 28 Juni 2019, putusan itu sejatinya menyelesaikan kegaduhan yang berlangsung selama pelaksanaan pemilu. Banyak hal menarik yang tersisa dari perjalanan sidang PHPU yang berlangsung tepat selama seminggu tersebut. Salah satunya datang dari salah satu ahli yang dihadirkan ke hadapan persidangan.

 

Tim Kuasa Hukum Joko Widodo–Ma’ruf Amin menghadirkan Edward OS Hiariej sebagai ahli. Saat memberikan keterangan, profesor pidana dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) itu menyita perhatian para pengunjung sidang Mahkamah Konstitusi. Ia menyampaikan sejumlah postulat hukum dalam bahasa Latin. Publik mendengar bagaimana Prof. Eddy, begitu ia biasa disapa, menyebutkan tidak kurang dari sembilan potulat berbahasa asing hanya untuk menjelaskan salah satu substansi dalil pemohon yang dia “bantah” sebagai ahli di sidang MK. Menjelaskan substansi tanggung jawab beban pembuktian yang seyogianya berada pada pundak pihak pemohon, Eddy menyebutkan sembilan postulat yang pada substansinya saling menguatkan satu sama lain.

 

“Setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum telah diajarkan salah satu asas yang berbunyi actori in cumbit probatio. Artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan,” ujar Eddy menyampaikan keterangannya saat sidang berlangsung, Jumat (21/6).

 

Didahului sebuah pertanyaan yang menggugat pendekatan pemohon yang meminta Majelis Hakim MK untuk menghadirkan sejumlah saksi yang dibutuhkan dalam proses pembuktian sepanjang persidangan berlangsung, Eddy mempertanyakan dasar teori pendekatan Pemohon tersebut. Sebab, dalam hukum pembuktian ada banyak asas yang dapat dijadikan rujukan. Selainasa actori in cumbit probatio ei incumbit, Eddy juga menyebutkan asas probatio qui dicit, non qui negat yang memiliki arti beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat.

 

Eddy juga menggunakan asas probandi necessitas incumbit illi qui agit yang berarti beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat, dan semper necessitas probandi incumbit ei qui agit yang berarti beban pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat. Postulat lain yang disebutkan Edy adalah affirmanti, non neganti, incumbit probation; pembuktian bersifat wajib bagi yang mengajukan bukan yang menyangkal, Asas affirmantis est probare berarti orang yang mengiyakan harus membuktikan. Asas reo negate actori incumbit probatio bermakna  jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.

 

Ada pula asas In genere quicunque aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut probat yang berarti siapapun yang membuat tuduhan, baik itu penggugat ataupun tergugat, harus membuktikannya.

 

Saat menilai permintaan Pemohon untuk juga membebankan pembuktian kepada Termohon serta Pihak Terkait, Eddy menyebutkan hal ini juga bertentangan dengan asas negativa non sunt probanda. Artinya, membuktikan sesuatu yang negatif adalah tidak mungkin karena bertentangan dengan asas dalam hukum pembuktian.

 

Tidak hanya di situ, asas-asas berbahasa asing sebenarnya sudah digunakan oleh Eddy sejak awal menyampaikan keterangannya sebagai ahli dalam sidang di MK tersebut. Pada poin kedua keterangan yang disampaikan, Eddy telah menggunakan asas primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis yang berartiperkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.

 

Asas itu muncul ketika Eddy mencoba menafsirkan substansi pasal 24C UUD Tahun 1945 secara gramatikal. Menurut Eddy, kewenangan MK secara limitatif adalah memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. “Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar menurut Pemohon. Dengan demikian secara muatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan oleh Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil perhitungan suara,” urai Eddy.

 

Baca:

 

Selanjutnya saat menggugat pendekatan Kuasa Hukum Pemohon yang mendalilkan kecurangan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai contoh dari putusan MK yang berani mendiskualifikasi pasangan calon, Eddy menggunakan asas nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Artinya, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut. Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa Kontinental bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.

 

Menurut Edy, setiap perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula. Hal ini ia dasarkan pada asas Judicandum est legibus non exemplis yang berarti, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh. Eddy menilai pendekatan yurisprudensi yang digunakan oleh kuasa hukum pemohon terhadap sengekta PHPU Presiden – Wakil Presiden terlebih dahulu perlu dicarikan kesesuaiannya secara relavan. Jika tidak hal itu tidaklah tepat.

 

“Hal ini didasarkan pada postulat citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation. Artinya, penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut. Kedalaman makna postulat ini adalah penggunaan putusan hakim sebelumnya dapat dijadikan yurisprudensi jika pokok perkara yang disengketakan adalah sama,” Eddy mengurai.

 

Masih dalam persoalan yang sama, Eddy mengingatkan Majelis Hakim MK untuk tidak terjebak dengan pendekatan yang digunakan oleh Kuasa Hukum Pemohon. Ketika Kuasa Hukum Pemohon dianggap berulang kali menggunakan contoh Pilkada sebagai rujukan dalam perselisihan hasil MK, Eddy menggunakan asas ubi eadem ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium. Artinya, jika terdapat alasan hukum yang sama, maka berlaku hukum yang sama. Menurut Eddy, pendekatan ini terpatahkan jika menggunakan pendekatan argumentum a contrario. Dengan begitu ia berkesimpulan bahwa jika alasan hukumnya berbeda, maka tidak beralasan untuk menggunakan hukum yang sama.

 

Pada dasarnya, Permohonan yang disampaikan oleh kuasa hukum Pemohon coba mendorong paradigma keadilan susbstantif (sucbtantive justice) dalam memeriksa sengketa PHPU Presiden – Wakil Presiden kali ini. Hal ini dikarenakan, Pemohon beranggapan bahwa pendekatan legal – formal yang selama ini berlaku akan membatasi kewenangan Mahkamah hanya pada salah benarnya proses rekapitulasi suara. Kuasa hukum pemohon menilai pendekatan ini bersifat konservatif karena lebih menerapkan keadilan prosedural.

 

“Pemohon menolak pendekatan yang demikian, dan lebih menawarkan paradigma kedua yaitu, Mahkamah Konstitusi sebagai forum penyelesaian sengketa hasil pemilu yang progresif, yaitu yang lebih menerapkan keadilan substantive (substantive justice),” ujar kuasa hukum Pemohon sebagaimana dalam salinan Permohonan.

 

Pendekatan ini berpandangan bahwa Mahkamah tetap berwenang untuk memeriksa seluruh tahapan proses pemilu, tidak terbatas hanya pada proses penghitungan suara saja, tetapi seluruh tahapan, khususnya jika ada kecurangan pemilu (electoral fraud) yang sifatnya TSM, karena bisa menciderai asas-asas pemilu yang luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pendekatan substantive justice akan menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari potensi kehancuran akibat kecurangan dan ketidakadilan yang terjadi dari pelaksanaan pemilu.

Tags:

Berita Terkait