Hubungan antara Titel dan Penyerahan
Kolom Hukum J. Satrio

Hubungan antara Titel dan Penyerahan

Makalan ini merupakan lanjutan dari  artikel yang membahas mengenai “Cara Untuk Memperoleh Hak Milik” melalui suatu penyerahan.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Bagi penganut Teori Abstrak, peristiwa perdata hanya diperlukan untuk menetapkan adanya kehendak untuk menyerahkan. Dan menurut teori absrak, di dalam tindakan menyerahkan sudah tersimpul adanya kehendak untuk menyerahkan. Bahkan ada pengikut teori itu yang berpendapat, bahwa adanya titel yang putatif saja (yang dikira ada) sudah cukup. Kalau kita konsekuen dengan pendapat itu, maka penyerahan itu bisa sah tanpa ada titel. Namun demikian penganut teori abstrak tidak bisa konsekwen sampai sejauh itu, karena bukankah undang-undang sendiri (dalam Pasal 584 BW) mensyaratkan adanya titel?

 

Teori Abstrak menafsirkan syarat titel sebagai adanya kehendak untuk menyerahkan.

 

Jadi, atas tindakan menyerahkan selalu harus ada maksud atau kehendak untuk menyerahkan, dan itu sudah cukup untuk, melalui tindakan penyerahan -yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan tindakan pemilikan- menjadikan orang yang menerima penyerahan sebagai pemilik benda yang diserahkan.

 

Kalau kita terapkan dalam contoh peristiwa di atas, maka pembeli dan semua yang mengoper dari pembeli pertama dan selanjutnya, tetap menjadi pemilik dari obyek jual beli yang diserahkan kepadanya, sekalipun jual beli yang pertama dibatalkan. Karena perjanjian jual belinya dibatalkan, maka ternyata tidak ada terhutang uang pembayaran pada pembeli maupun kewajiban penyerahan pada pihak penjual, sehingga di sana -kalau sudah terlanjur ada penyerahan- ada pembayaran yang tidak terhutang.

 

Penjual berhak untuk menuntut kembali penyerahan obyek jual beli itu dari pembeli atas dasar pembayaran yang tidak terhutang, tetapi karena obyek jual beli sudah tidak ada pada pembeli pertama (sudah diserahkan kepada pembeli selanjutnya), maka penjual harus mau menerima penggantian sebesar harga obyek jual beli. Penjual tidak bisa menuntut dari pihak ketiga, karena hak tuntutnya didasarkan atas ketentuan dalam Buku III BW (Pasal 1359 BW), padahal:

 

Semua hak yang timbul dari ketentuan buku III BW bersifat relatif, dalam arti hanya bisa ditujukan kepada lawan janjinya (Pasal 1340 BW).

 

Lalu, teori mana yang paling patut untuk diterapkan?

Kedua teori itu patut, semua bergantung dari peristiwanya. Kalau transaksi itu baru antara penjual dan pembeli saja, maka kiranya adalah patut diterapkan Teori Kausal. Kalau transaksinya batal, maka mestinya tindakan yang didasarkan atas perbuatan hukum yang batal, tidak menghasilkan akibat sebagai yang dituju (dikehendaki) oleh melakukan tindakan hukum itu.

 

Sebaliknya, kalau transaksi dan penyerahan itu telah dilakukan berulang kali, maka kiranya lebih patut diterapkan Teori Abstrak. Bukankah pembeli berikutnya dan penerima penyerahan selanjutnya sampai yang terakhir tidak tahu dan tidak bisa tahu, bahwa transaksi-transaksi sebelumnya ada mengandung cacat?

Tags:

Berita Terkait