Holding BUMN Tetap dalam Kontrol DPR
Utama

Holding BUMN Tetap dalam Kontrol DPR

Pembentukan holding BUMN hanyalah pengalihan saham dari satu BUMN ke BUMN lain dan membentuk satu group dengan menginduk pada salah satu BUMN. Holding BUMN sebagai upaya restrukturisasi perusahaan dengan pengalihan saham bukan dalam arti penjualan sebagaian atau seluruh saham BUMN ke pihak swasta.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Mahkamah Konstitusi (M) menggelar sidang keterangan ahli atas pengujian materiil Pasal 14 ayat (3) huruf a, b, d, g, dan h UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permohonan ini diajukan Yan Herimen, Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Amidi Susanto, Taufan yang tercatat sebagai pegawai PT PLN (Persero) yang tergabung dalam Serikat Pekerja perusahaan tersebut.  

 

Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Prof Nindyo Pramono mengatakan tidak perlu dikhawatirkan dalam proses restrukturisasi atau privatisasi melalui Holding BUMN. Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara yang disubsitusikan Menteri BUMN tetap akan memegang kontrol pengurusan dan pengelolaan saham negara di BUMN akibat adanya restrukturisasi atau holdingnisasi.

 

“Kontrol DPR tentu dilakukan, melalui mekanisme pengawasan kepada pemerintah selaku pemegang saham pada setiap BUMN dan anak perusahaan hasil holdingnisasi. Pemerintah juga tetap memegang kendali pada anak perusahaan melalui hak-hak istimewa dan saham dwi warna,” kata Nindyo Pramono saat memberi keterangan ahli dari pemerintah di ruang sidang MK, Senin (9/4/2018).

 

Sebelumnya, Para Pemohon mendalilkan norma pasal yang diuji dapat menyebabkan hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan karena beralihnya kepemilikan BUMN seolah menjadi swasta (privatisasi) tanpa melalui proses pembahasan dan/atau pengawasan dari DPR. Hal ini selanjutnya akan mengakibatkan pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pegawai BUMN saat terjadiinya perubahan kepemilikan perseroan.

 

Alasan Pemohon merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Aturan ini salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali dimana BUMN yang produksinya menyangkut hajat hidup orang banyak akan diprivatisasi.

 

Seperti, tertuang dalam PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan beberapa persyaratan di bidang penanaman modal. Misalnya, dalam lampiran halaman 32 dan 33 dimana pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik swasta sahamnya dapat dimiliki hingga 95 sampai 100 persen. Hal ini akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti dijamin Pasal 33 UUD Tahun 1945.

 

Menurut pemohon, Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) Perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan, dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.

 

Selengkapnya, Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) berbunyi, “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai :a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.”

 

Para Pemohon berpendapat tindakan korporasi berupa peleburan, penggabungan, dan pengalihan aktiva BUMN akan menyebabkan berakhirnya perseroan dan menyebabkan hilangnya kekuasaan negara dalam hal mengelola BUMN dan akibatnya terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan BUMN akibat perubahan kepemilikan perseroan tersebut.

 

Tingkatkan nilai tambah

Nindyo melanjutkan privatisasi sebagai penjualan saham persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas kepemilikian saham bagi masyarakat. Baginya, pertimbangan privatisasi tidaklah mudah, pemerintah tidak mungkin semena-mena dalam melakukan privatisasi. Sebab, sebelum memutuskan kebijakan privatisasi wajib dilakukan analisis menyeluruh atas rencana privatisasi.

 

“Pemerintah tidak akan mungkin melakukan privatisasi jika tidak memperoleh nilai tambah bagi negara dan masyarakat,” kata dia.  

 

Karena itu, dampak privatisasi BUMN justru akan meningkatkan nilai tambah sesuai tujuan dari UU BUMN, sehingga tidak merugikan pemerintah dan masyarakat. Sebaliknya, adanya privatisasi menjadikan nilai investasi pemerintah di BUMN justru bertambah seiring dengan kemajuan BUMN setelah diberikan dana dan bantuan dari investor.

 

“Privatisasi juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN dan mengurangi peran negara dalam mekanisme pengelolaan BUMN. Privatisasi BUMN juga telah banyak dilakukan hampir di semua negara maju maupun berkembang sejak 1980-an,” bebernya.

 

Karena itu, privatisasi atau holdingnisasi BUMN tidak perlu dikhawatirkan akan berdampak pada penguasaan swasta atau hilangnya kontrol pemerintah pada BUMN dan hilangnya kontrol DPR terkait kekayaan negara yang dipisahkan menjadi penyertaan modal BUMN.

 

“Holdingnisasi, swastanisasi atau privatisasi, merupakan mekanisme yang lazim dalam dunia hukum korporasi. Dengan tetap ada mekanisme kontrol yang diberikan oleh pembentuk UU dengan memberi hak istimewa kepada pemegang saham pemerintah.”

 

Dengan demikian, hadirnya PP No. 72 Tahun 2016, merupakan bagian dari proses penyertaan modal dalam rangka pembentukan holding BUMN sebagai rencana kerja pemerintah untuk merestrukturisasi BUMN yang memberi nilai tambah, menciptakan kemandirian, efisiensi operasional.

 

“Pembentukan holding BUMN hanyalah pengalihan saham dari satu BUMN ke BUMN lain dan membentuk satu group dengan menginduk pada salah satu BUMN. Ini upaya restrukturisasi perusahaan. Jadi, pengalihan saham ini sebenarnya bukan privatisasi dalam arti penjualan sebagian atau seluruh saham BUMN ke pihak swasta,” ujarnya mengingatkan. (Baca Juga: Alasan PP Holding BUMN Pertambangan Digugat)

Tags:

Berita Terkait