Hindari Respons Negatif, Presiden Minta Komunikasi Publik Soal Vaksin Covid-19 Lebih Terukur
Berita

Hindari Respons Negatif, Presiden Minta Komunikasi Publik Soal Vaksin Covid-19 Lebih Terukur

Presiden Jokowi menyadari masyarakat dalam posisi yang sangat sulit saat ini. Untuk menghindari respons negatif, informasi yang disampaikan perlu benar-benar jelas.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya menyiapkan komunikasi publik terkait vaksin Covid-9 agar tidak menciptakan respons negatif dari masyarakat seperti saat penyusunan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker).

"Vaksin ini saya minta jangan tergesa-gesa karena sangat kompleks, menyangkut nanti persepsi di masyarakat kalau komunikasinya kurang baik bisa kejadian seperti UU Cipta Kerja," kata Presiden Joko Widodo seperti dilansir dari Antara di Istana Merdeka Jakarta, Senin (19/10).

Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu dalam rapat terbatas dengan topik "Antisipasi Penyebaran Covid-19 Saat Libur Panjang Akhir Oktober Tahun 2020" yang dihadiri langsung para menteri kabinet Indonesia Maju.

Seperti diketahui, pada 8 Oktober 2020 terjadi demonstrasi besar-besaran setidaknya di 18 provinsi oleh buruh, mahasiswa dan anggota masyarakat lainnya untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, aksi tersebut juga diwarnai dengan kerusuhan di beberapa tempat. (Baca Juga: Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi)

"Saya minta benar-benar disiapkan mengenai vaksin, mengenai komunikasi publik terutama yang berkaitan halal dan haram, berkaitan dengan harga, berkaitan dengan kualitas, berkaitan dengan distribusi seperti apa," ungkap Jokowi.

Namun komunikasi publik yang dimaksudkan Presiden Jokowi juga bukan akhirnya membuka semua data pemerintah kepada masyarakat. "Meski tidak semuanya harus kita sampaikan ke publik, harga ini juga tidak harus kita sampaikan ke publik," tambah Jokowi.

Titik kritis dari vaksinasi, menurut Presiden Jokowi, adalah di implementasi. "Jangan menganggap mudah implementasi, tidak mudah, prosesnya seperti apa? Siapa yang pertama disuntik terlebih dulu? Kenapa dia? Semua harus dijelaskan betul ke publik, proses-proses komuniksi publik ini yang betul-betul disiapkan," ungkap Presiden.

Tujuan dari komunikasi publik yang baik itu adalah agar tidak ada lagi isu vaksin yang nantinya dapat diplintir. "Siapa yang (mendapat vaksin secara) gratis, siapa yang mandiri? Harus dijelaskan, harus detail, jangan nanti dihantam oleh isu, diplintir kemudian kejadiannya bisa masyarakat demo lagi karena memang masyarakat sekarang ini dalam posisi yang sulit," tambah Presiden.

Menurut Presiden Jokowi, seharusnya ada pembagian tugas antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian BUMN dalam pengerjaan vaksin tersebut. "Juga perlu saya ingatkan dalam pengadaan vaksin ini mestinya harus segera jelas, kalau menurut saya untuk vaksin yang gratis, untuk rakyat, urusan Menteri Kesehatan, untuk yang mandiri, yang bayar itu urusannya BUMN," ungkap Presiden.

Presiden Jokowi pada 5 Oktober 2020 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Pasal 1 ayat 2 disebutkan cakupan pelaksanaan pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi Covid- 19 meliputi: a. pengadaan vaksin Covid-19; b. pelaksanaan vaksinasi Covid-19; c. pendanaan pengadaan Vaksin Covid-19 dan pelaksanaan vaksinasi Covid-19; dan d. dukungan dan fasilitas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Waktu vaksinasi sendiri adalah mulai 2020-2022.

Hingga saat ini menurut Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang juga Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pemerintah sudah mengamankan pengadaan vaksin Covid-19 untuk 135 juta warga dengan jumlah vanksin sekitar 270 juta dosis.

Sasaran penerima vaksin Covid-19 nantinya adalah sebanyak 160 juta orang dengan vaksin yang harus disediakan adalah 320 juta dosis vaksin dengan rincian: 1) Garda terdepan seperti medis dan paramedis "contact tracing", pelayanan publik TNI/Polri, aparat hukum sejumlah 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis. 2) Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW) sebagian pelaku ekonomi berjumlah 5.624.010 orang dengan jumlah vaksin 11.248.00 dosis.

3) Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat perguruan tinggi) sejumlah 4.361.197 orang dengan jumlah vaksin 8.722.394 orang. 4) Aparatur pemerintah (pusat, daerah dan legislatif) sejumlah 2.305.689 orang dengan total vaksin 4.611.734 dosis. 5) Peserta PBJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) sejumlah 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis. 6) Ditambah masyarakat dan pelaku perekonomian lain berusia 19-59 tahun sebanyak 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis.

Hoaks Soal Covid-19

Sementara, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga bulan ini menjaring lebih dari 2.000 konten hoaks seputar virus corona dan Covid-19 di Indonesia. "WHO telah memunculkan suatu istilah baru, yakni infodemi. Infodemi menjadi masalah baru selain Covid-19 itu sendiri," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Semuel Pangerapan.

Data internal Kominfo menunjukkan sejak 23 Januari hingga 18 Oktober terdapat 2.020 konten hoaks seputar Covid-19 di media sosial, sementara yang sudah diturunkan (take down) berjumlah 1.759.

Kementerian mengidentifikasi terdapat tiga jenis infodemi yang beredar di Indonesia, yang pertama berupa disinformasi, yakni informasi sengaja dibuat salah untuk mendestruksi apa yang sudah beredar.

Kedua, malinformasi yaitu info yang faktual, namun dibuat untuk orang tertentu dengan tujuan tertentu. Infodemi ketika berupa misinformasi, informasi yang diberikan tidak tepat, namun tidak ada unsur kesengajaan.

Menurut Semuel, kementerian perlu meluruskan informasi yang beredar seputar Covid-19 agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat. "Kami perlu melakukan pengendalian, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat atau kebebasan berpendapat. Tapi, situasi pandemi ini kami perlu meluruskan informasi-informasi yang salah agar tidak meresahkan masyarakat," kata Semuel.

Dalam menangani konten yang berpotensi hoaks, Semuel menjelaskan kementerian selalu melakukan pengujian fakta, verifikasi, informasi yang masuk, ke beberapa pihak. Jika memang informasi tersebut, setelah diverifikasi adalah tidak benar, kementerian akan memberi "stempel" hoaks terhadap konten tersebut.

Untuk mengatasi hoaks yang beredar, Kominfo menggunakan pendekatan literasi digital, yakni memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ruang digital dan interaksi yang ada di dalamnya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi.

"Tapi, kalau ada orang yang bertujuan membuat keonaran, akan berhubungan dengan polisi," kata Semuel.

Langkah hukum, menurut Semuel, akan diambil jika hoaks tersebut meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban.

Tags:

Berita Terkait