Hindari Politik Uang Dalam Pemilu, Begini Aturan dan Ancaman Hukumannya
Terbaru

Hindari Politik Uang Dalam Pemilu, Begini Aturan dan Ancaman Hukumannya

Bagi pelanggar bakal dijerat dengan sanksi pidana penjara dan denda.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Gegap gempita penyelenggaraan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tersisa hitungan beberapa bulan ke depan. Tak hanya pemilihan presiden dan wakil presiden, masyarakat juga memilih calon anggota legislatif tingkat DPR, DPD dan DPRD tingkat provinsi serta kabupaten/kota yang bakal digelar 14 Februari 2024 mendatang. Para peserta mempersiapkan kampanye agar meraih jabatan politik.

Tapi perlu diingat, meraih kemenangan dengan tanpa melanggar aturan.  Salah satunya tidak menggunakan politik uang alias money politic. Larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Seperti Pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.

UU 7/2017 menjelaskan bahwa politik uang tersebut bertujuan agar peserta pemilu tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Kemudian, politik uang tersebut bertujuan agar peserta kampanye memilih pasangan calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu, dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu.

Apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengambil tindakan. Yakni berupa pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap, atau pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

Sementara, Pasal 286 ayat (1) menyebutkan, “Pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih”.

Baca juga:

Pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pelanggaran dimaksud terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran tersebut jtidak menghilangkan sanksi pidana.

Untuk sanksi pidana politik uang dibedakan tiga kelompok. Pasal 523 ayat 1 menyebutkan,  “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.

Kemudian Pasal 523 ayat 2 mengatur terhadap setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung disanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 4  tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.

Sedangkan Pasal 523 ayat 3 menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta”.

Tolak Politik Uang

Fenomena politik uang menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program ‘Hajar Serangan Fajar’ mengimbau masyarakat ikut mengawal Pemilu dengan menentang dan menolak praktik politik uang yang dapat menjelma menjadi korupsi.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan sudah bukan menjadi rahasia lagi jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang. Apabila masyarakat dengan senang hati menerima politik uang, maka perilaku tersebut dapat memberatkan para kepala daerah serta wakil rakyat. Sebab, ongkos politik/demokrasi yang tergolong sangat mahal dapat memicu kepala daerah/wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi.

“Menjelang pencoblosan banyak orang yang berbagi rezeki. Kami mendorong nanti tahun depan ketika pemilu tolong hindarkan diri dari perbuatan untuk menerima sesuatu dari calon,” ujarnya, Senin (28/8/2023) kemarin.

Menurutnya, para wakil rakyat dan kepala daerah yang terpilih bakal berhitung ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi jabatan politik. Ongkos tersebut pun bakal diupayakan agar kembali modal. Para kepala daerah yang terjaring KPK dalam perkara korupsi tak lepas dari praktik balik modal.

Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu mengatakan, praktik balik modal yang dilakukan kepala daerah terpilih dengan berbagai macam hal. Misalnya, area pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang rawan terjadinya penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah. Bahkan boleh jadi pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang rawan suap/gratifikasi proyek.

“Pengadaan barang/jasa dan proses perizinan kenapa begitu sulit, kenapa banyak pekerjaan kontruksi yang tidak beres, ya karena tadi itu ada mark up, ada kualitas yang diturunkan untuk mengejar setoran,” jelas Alex.

Dihimpun dari data KPK, biaya politik calon bupati/wali kota rata-rata Rp30 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih selama 5 tahun di bawah biaya politik. Begitu pula dengan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya jauh lebih besar lagi.

KPK pernah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Mantan Bupati Klaten Sri Hartini tahun 2016 silam. OTT tersebut terkait perkara tindak pidana korupsi berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara terkait pengisian jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sri Hartini divonis hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang.

Tags:

Berita Terkait