Hindari Kriminalisasi Berlebihan dalam Revisi UU Terorisme
Berita

Hindari Kriminalisasi Berlebihan dalam Revisi UU Terorisme

Ada frasa ‘penelitian berkas’ oleh penuntut umum.

ADY
Bacaan 2 Menit
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Tindak pidana terorisme memang harus diberantas. Tetapi cara-cara penanganan perkaranya tetap harus sesuai aturan hukum. Sejumlah aktivis hak asasi manusia mengingatkan pentingnya menghindari kriminalisasi berlebihan, masa penahanan, dan pengaturan yang merancukan kewenangan. Harapan itu disampaikan sehubungan dengan proses revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Peneliti Setara Institute, Aminudin Syarif, misalnya, melihat potensi kriminalisasi berlebihan (over criminalization) dalam Pasal 12A dan Pasal 12 B draft RUU. Pasal ini mengancam kebebasan berekspresi. Karena itu akuntabilitas penindakan dugaan tindak pidana terorisme tetap diperlukan untuk memastikan tindakan hukum tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). “Harus dipastikan penindakan pidana terorisme tidak melanggar HAM,” katanya dalam jumpa pers di kantor Setara Institute di Jakarta, Kamis (03/3).

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menyoroti pasal penahanan dalam draft revisi UU No. 15 Tahun 2003. Pasal 28 RUU mengubah waktu penahanan dari 7 x 24 jam menjadi 30 hari. Penahanan itu dilakukan sebelum orang yang diduga terkait terorisme dijadikan tersangka. Masa penahanan 30 hari, menurut Tigor, terlalu lama, apalagi menahan orang yang belum jelas status hukumnya dalam tindak pidana. Penahanan selama itu tak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik dan KUHAP. “Itu berpotensi menimbulkan penahanan yang sewenang-wenang,” ujarnya.

Bonar juga meminta untuk mencermati munculnya frasa ‘penelitian berkas’ oleh penuntut umum dalam Pasal 28A RUU. Frasa ‘penelitian berkas’ ini perlu diperjelas karena penuntut punya waktu 30 hari untuk meneliti berkas. Padahal sudah ada waktu 30 hari untuk penangkapan, ada pula masa penelitian berkas 30 hari. Tidak jelas apakah 30 hari masa penelitian berkas ini diperhitungkan sebagai masa tahanan yang bisa dikurangi atau tidak. “Ini bertabrakan dengan prinsip hukum yang cepat, murah dan sederhana,” urainya.

Pasal 31 ayat (2) draft RUU Terorisme mengatur penyadapan. Penyadapan dalam RUU hanya wajib dilaporkan kepada atasan penyidik dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Lalu, bagaimana peran pengadilan dalam penyadapan? Izin penyadapan seharusnya datang dari pengadilan.

Menurut Bonar izin untuk melakukan penyadapan harus tetap melalui Ketua PN. Itu penting guna memastikan adanya konrol eksternal dari kewenangan lebih yang dimiliki oleh penyidik dalam menangani tindak pidana terorisme. “Peran PN penting untuk melakukan verifikasi apakah bukti awal yang ada memungkinkan untuk dilakukan penyadapan atau tidak,” tukasnya.

Ketentuan lain yang disorot Bonar yakni pasal 43A draft RUU Terorisme yang menyebut penyidik atau penuntut umum dalam rangka penanggulangan dapat mencegah orang yang diduga akan melakukan terorisme untuk dibawa dan ditempatkan pada tempat tertentu paling lama 6 bulan. Menurutnya itu sebagai bentuk penahanan selama 6 bulan terhadap orang yang status hukumnya belum jelas. Padahal, penahanan hanya bisa dilakukan terhadap orang yang status hukumnya jelas seperti tersangka, terdakwa atau terpidana.

Selain itu pasal 43B RUU Terorisme mengaburkan kewenangan penanganan tindak pidana terorisme karena posisi Polri dan TNI dianggap sejajar. Bonar menegaskan penanganan tindak pidana terorisme adalah kewenangan Polri. Peran institusi lain dalam menangani terorisme seperti TNI dan BIN berada di bawah koordinasi institusi kepolisian. “Pemberantasan terorisme adalah proses penegakan hukum yang menjadi ranah Polri,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait