Hindari Kredit Macet, Penyelenggara Fintech Diminta Lakukan Ini
Berita

Hindari Kredit Macet, Penyelenggara Fintech Diminta Lakukan Ini

Penyelenggara fintech dilarang melakukan teror dan intimidasi saat menagih pinjaman bermasalah. Mulai menjaga kerahasiaan data debitur (konsumen), membuat basis data rekam jejak dan profil konsumen.

M. Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam acara diskusi dan pameran Fintech Fair 2018 di Center Atrium Mal Taman Anggrek, Jakarta, Jumat (13/7). Foto: MJR
Para pembicara dalam acara diskusi dan pameran Fintech Fair 2018 di Center Atrium Mal Taman Anggrek, Jakarta, Jumat (13/7). Foto: MJR

Regulator menyoroti perlindungan konsumen pada industri financial technology (fintech) yang baru-baru ini ramai menjadi pembicaraan di dunia maya. Pelaku usaha industri fintech diminta mengedepankan aspek perlindungan konsumen dibanding kepentingan bisnis dalam melakukan pelayanan konsumen, khususnya saat menagih pinjaman bermasalah alias kredit macet.

 

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menjelaskan perusahaan fintech, khususnya peer to peer lending tidak dapat melakukan penagihan pinjaman bermasalah dengan melibatkan pihak ketiga atau rekan debitur. Terlebih, penagihan tersebut disertai teror dan intimidasi rekan debitur yang tidak memilikisangkut paut terhadap pinjaman tersebut. Baca Juga: Mekanisme Penagihan Utang Fintech Jadi Sorotan

 

Menurutnya, hal tersebut tidak sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. “Bagi penyelenggara (perusahaan fintech) harus mengedepankan prinsip perlakuan yang adil. Menteror dengan menelepon tetangganya ini adalah tindakan tidak adil,” kata Hendrikus dalam acara diskusi dan pameran Fintech Fair 2018 di Center Atrium Mal Taman Anggrek, Jakarta, Jumat (13/7/2018).

 

Selain mekanisme penagihan tersebut, Hendrikus juga menekankan agar perusahaan fintech menjaga kerahasiaan data debitur agar tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. “Kerahasiaan data konsumen juga harus diperhatikan. Saya berharap penyelenggara fintech tidak semena-mena dalam bertindak,” Hendrikus melanjutkan.

 

Di sisi lain, konsumen juga diminta bertanggung jawab terhadap segala bentuk pinjaman yang didapatkan. Hendrikus menjelaskan sama halnya dengan industri keuangan lain, industri fintech juga memiliki risiko yang juga harus ditanggung konsumen.

 

“Konsumen juga harus menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan sengketa dengan penyelenggara fintech. Sebab, dalam UU Perlindungan Konsumen, hanya konsumen yang beritikad baik yang berhak dilindungi,” lanjutnya.

 

Untuk itu, OJK mendorong kepada perusahaan fintech untuk membuat basis data berisi rekam jejak konsumen. Nantinya, basis data tersebut dapat dimanfaatkan industri keuangan untuk mengetahui profil konsumennya. “Jadi dengan satu pusat data tersebut bisa diketahui daftar konsumen yang tidak memiliki itikad baik,” katanya.

 

Aspek perlindungan konsumen juga menjadi perhatian dari Bank Indonesia (BI). Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BIErwin Haryono mengatakan penerapan perlindungan konsumen fintech yang berkualitas akan berdampak terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat.

 

Dia mengatakan dalam beberapa tahun mendatang industri ini akan berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga, dia mendorong agar penyelenggara fintech terus berkomunikasi dengan regulator agar dapat beroperasi sesuai ketentuan yang berlaku.

 

“Masa depan ekonomi Indonesia ini ditentukan oleh ekonomi digital. Harus banyak diskusi antara pelaku usaha dengan otoritas (regulator),” jelas Erwin.

 

Sementara itu, Bendahara Asosiasi Fintech (Aftech), Sebastian Togelang mengatakan selama ini aspek perlindungan konsumen industri ini banyak menyerap industri keuangan lain seperti perbankan. Dia melanjutkan, permasalahan fintech dalam penagihan pinjaman bermasalah baru-baru ini merupakan pembelajaran bagi perusahaan fintech.

 

“Kami masih belajar dan kami akan terus memperbaikinya. Dalam proses penagihan, kami tidak jauh berbeda dengan industri keuangan lain seperti perbankan,” kata Sebastian.

 

Permasalahan penagihan kredit ini juga menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menilai maraknya cara penagihan kredit online yang dilakukan dengan menghubungi nomor kontak yang ada di handphone konsumen sebagai penerima pinjaman adalah tindakan yang tidak pantas.

 

Dia menilai tindakan tersebut menyalahgunakan data pribadi seperti yang tercantum dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, bisnis yang dijalankan perusahaan kredit online atau fintech sangat berisiko dengan hanya sistem validasi online ditambah konsultasi pihak ahli tanpa melihat kondisi Sistem Informasi Debitur pada Bank Indonesia dan kondisi real di lapangan.

 

“Karenanya, perlu cara khusus untuk menghindari tingginya kasus gagal bayar atas pinjaman yang diberikan seperti merujuk cara menagih yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP,” kata Tulus dikutip dari laman YLKI.

 

Sebelumnya, beberapa waktu terakhir, penagihan kredit di perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending akibat oknum tim kolektor pinjaman perusahaan fintech RupiahPlus (RP) menagih kredit kepada debitur bermasalah melalui rekan peminjam dengan mengakses kontak telepon seluler. Penagihan tersebut dilakukan secara intimidatif dan menggunakan kata-kata kasar.

 

Melihat kondisi ini, manajemen RP juga telah menyampaikan permintaan maafnya kepada masyarakat yang merasa dirugikan akibat tindakan tersebut. RP menyatakan penagihan yang dilakukan pekerjanya tidak sesuai dengan SOP (standar operasional prosedur) perusahaan. Kemudian, pihak RP juga telah melakukan penghentian hubungan kerja terhadap oknum yang bersangkutan.

Tags:

Berita Terkait