Hindari Kecelakaan, Pahami Standar Keselamatan Penyeberangan Angkutan Laut
Berita

Hindari Kecelakaan, Pahami Standar Keselamatan Penyeberangan Angkutan Laut

Sayangnya, fungsi pengawasan belum sepenuhnya dilaksanakan pemerintah. Padahal, pemerintah berkewajiban melakukan pengaturan, pengendalian, dan pengawasan dalam penentuan standar, norma, pedoman, perencanaan dan prosedur persyaratan dan keamanan pelayaran.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Insiden tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun yang memakan korban ratusan penumpang di Danau Toba Sumatera Utara, Senin (18/6) kemarin, menjadi keprihatinan semua pihak termasuk pemerintah dan DPR. Hal ini tentu menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah cq Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub selaku regulator dalam upaya penyelenggaraan standar operasional keselamatan penyeberangan angkutan laut sesuai aturan.  

 

Wakil Ketua Komisi V DPR Sigit Sosiantomo mengatakan komisi yang membidangi transportasi ini mendesak pemerintah pusat dan daerah sebagai pembuat kebijakan tidak lagi membiarkan operator penyeberangan kapal laut melanggar aturan pelayaran. Sebab, kecelakaan tenggelamnya KM Sinar Bangun ini diduga telah melanggar aturan lantaran telah melebihi kapasitas penumpang dan memaksakan diri mengoperasikan kapal saat cuaca buruk.          

 

“Kasus KM Sinar Bangun yang karam di Danau Toba ditengarai melanggar aturan pelayaran. Mulai kelebihan muatan, berlayar dalam keadaan cuaca buruk, hingga tidak memiliki manifes penumpang,” ujar Sigit, Kamis (21/6). Baca Juga: Evaluasi Standar Keselamatan  Angkutan Penyeberangan

 

Hal ini dinilainya melanggar UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan aturan turunnya yakni Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan dan Peraturan Menteri Perhubungan No.104 Tahun 2017 tentang Angkutan Penyeberangan. Menurutnya, bila saja semua operator penyelenggara angkutan penyeberangan mematuhi aturan, insiden musibah karamnya kapal di tengah laut atau danau dapat dicegah.

 

“Kecelakaan ini kan bisa dihindari, kalau saja operator penyeberangan kapal laut mematuhi aturan,” lanjutnya.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu merujuk Pasal 61 ayat (3) PP No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Peraian. Intinya, penyelenggaraan angkutan penyeberangan wajib memenuhi persyaratan kelayaklautan sebagai syarat pelayanan minimal angkutan penyeberangan tanpa terkecuali.

 

 

 

Pasal 61

 

(3). Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib:

      a. memenuhi persyaratan teknis kelayaklautan dan persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan;

    b. memiliki spesifikasi teknis dengan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada lintas yang dilayani;

      c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan;

      d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang dan kendaraan beserta muatannya;

      e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian samping kiri dan kanan kapal;

      f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang diperlukan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

 

 

“Sesuai UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pengaturan, pengendalian, dan pengawasan dalam penentuan standard, norma, pedoman, perencanaan dan prosedur persyaratan dan keamanan pelayaran,” ujarnya mengingatkan.

 

Sayangnya, kata Sigit, amanat Pasal 5 UU 17/ 2008 belum sepenuhnya dilaksanakan pemerintah. Pasalnya, pengawasan dalam kelayakan angkutan laut masih dipandang tidak begitu penting. Alhasil, insiden kecelakaan kapal karam di tengah laut akibat kelebihan muatan masih saja terjadi yang mengancam keselamatan penumpang. Belum lagi, kapal yang melayani penyeberangan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang memadai.

 

Sementara Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi memerintahkan seluruh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) agar mematuhi aturan tentang keselamatan penumpang. Khususnya terkait jumlah penumpang yang akan diangkut oleh kapal harus sesuai dengan kapasitas kapal yang dioperasikan. 

 

Ia pun meminta agar dilakukan video conference rutin ke semua pelabuhan dan KSOP yang berada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan. Menurutnya, adanya kejadian kapal penumpang yang tenggelam di Danau Toba, informasi terkait aturan keselamatan penumpang tersebut wajib diinformasikan kepada para pengurus kantor pelabuhan penyeberangan yang berada di seluruh Indonesia.

 

“Untuk Ditjen Perhubungan Laut tolong dibuat video conference ke semua pelabuhan dan KSOP untuk mematuhi tentang aturan keselamatan tentang jumlah penumpang yang diangkut dan ketersediaan baju pelampung,” ujarnya seperti dikutip laman dephub.go.id.

 

Pelajaran penting

Terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan semestinya insiden karamnya kapal berpenumpang di tengah laut tidak boleh terjadi. Menurutnya, buruk cuaca dalam melakukan pelayaran semestinya menjadi perhatian operator penyelenggara angkutan penyeberangan untuk tidak melakukan perjalanan. “Perlunya kewajiban mematuhi setiap aturan pelayaran,” ujarnya.

 

Menurutnya, insiden tenggelamnya berpenumpang mesti menjadi pelajaran berharga agar kementerian terkait melakukan pembenahan terhadap jajaran di bawahnya. Terlebih, kata Bambang, informasi yang beredar kapal yang tenggelam di Danau Toba tidak dilengkapi dengan  manifest penumpang. “Kejadian ini harus dijadikan pelajaran penting,” ujarnya mengingatkan.

 

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar itu mengingatan manfest penumpang tak boleh dianggap sepele. Sebab, standar keselamatan dalam hal apapun mesti diutamakan. Terlebih, Danau Toba termasuk kawasan obyek wisata yang sangat penting. Ia berharap insiden tenggelamnya kapal di Danau Toba menjadi insiden terakhir. “Jangan sampai kejadian serupa berulang kembali baik di Danau Toba maupun di kawasan wisata lain,” pintanya.

 

Terhadap insiden tersebut, pria biasa disapa Bamsoet itu meminta Polri melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Mulai terhadap pengelola jasa transportasi ataupun instasi terkait. Kata lain, berbagai pihak terkait dalam penyelenggaraan angkutan penyeberangan kapal yang tenggelam di Danau Toba mesti bertanggung jawab.

 

“Semua terkait harus bertanggung jawab secara hukum dan moral yang sangat besar. Kita tidak boleh meremehkan keselamatan. Jangan sampai nyawa saudara-saudara kita melayang percuma hanya karena kecerobohan (kelalaian) mereka,” tambahnya.

 

Sigit menambahkan, terhadap operator penyelenggara angkutan penyeberangan yang lalai agar diberikan sanksi tegas oleh pemerintah. Menurut Sigit, sanksi tegas diberikan agar adanya efek jera bagi operator penyelenggara angkutan penyeberangan yang lain agar dapat berhati-hati dan patuh terhadap aturan keselamatan.

 

Pasal 303 UU Pelayaran mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan bagi operator yang melanggar yakni sanksi pidana penjara paling lama dua tahun dan denda“Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.

 

Sedangkan terhadap perbuatan mengakibatkan kerugian harta benda, maka dapat dipidana paling lama selama 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta. Bila mengakibatkan kematian seseorang, maka dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda sebanyak Rp1,5 miliar.

 

Saya juga meminta pemerintah memberikan sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang lalai, yang menyebabkan kecelakaan kapal tersebut sebagaimana diamanatkan UU Pelayaran,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait