Hindari Faktur Pajak Palsu, DJP Optimalkan e-Faktur
Berita

Hindari Faktur Pajak Palsu, DJP Optimalkan e-Faktur

Mulai berlaku 1 Juli 2014.

FNH
Bacaan 2 Menit
Hindari Faktur Pajak Palsu, DJP Optimalkan e-Faktur
Hukumonline
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengeluarkan program terbaru terkait sistem perpajakan. Setelah sebelumnya mengeluarkan e-SPT sebagai sarana untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan, kali ini DJP menetapkan pembuatan, pembetulan atau penggantian faktur pajak secara online atau e-faktur. Penggunaan ­e-faktur mulai aktif per 1 Juli 2014 mendatang.

Penggunaan e-faktur ini diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 151/PMK011/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak yang dikeluarkan pada November 2013 lalu. E-Faktur pajak merupakan faktur pajak sebagai bukti pungutan PPn yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara elektronik. Bentuk e-faktur pajak berupa dokumen elektronik yang dapat dicetak dalam bentuk kertas atau dalam bentuk file pdf.

Direktur Peraturan Perpajakan I, Irawan, menjelaskan e-faktur pajak bertujuan memberikan kemudahan kepada PKP dalam membuat faktur pajak dengan menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi. Kemudahan yang dimaksud antara lain, tanda tangan basah digantikan dengan tanda tangan elektronik, e-faktur pajak tidak diharuskan untuk dicetak sehingga mengurangi biaya kertas, biaya cetak dan biaya penyimpanan, aplikasi e-faktur pajak satu kesatuan dengan aplikasi e-SPT sehingga lebih memudahkan pelaporan SPT Masa PPN serta permintaan Nomor Seri Faktur Pajak disediakan secara online via laman DJP sehingga tidak perlu mendatangi kantor pelayanan pajak.

Yang terpenting, lanjut Irawan, bagi DJP penerapan e-faktur pajak bertujuan untuk meningkatkan validitas faktur pajak dan menghindari adanya kemungkinan faktur pajak palsu yang selama ini kerap digunakan pengusaha untuk mengurangi besaran pajak. “Selain itu, sekaligus berfungsi sebagai collecting data penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) melalui mekanisme PKP diwajibkan mengirimkan seluruh data faktur pajak ke sistem DJP,” kata Irawan saat Ngobrol Santai bersama awak media di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Jumat (09/5).

Irawan menjelaskan, seluruh data faktur pajak yang dikirimkan oleh PKP ke sistem DJP bertujuan untuk mendapatkan persetujuan dari DJP (approval). Ia menegaskan, e-faktur pajak tanpa approval dari DJP bukan merupakan faktur pajak.

Adapun cara membuat e-faktur sudah disiapkan oleh DJP dengan membangun channeling e-faktur pajak dalam beberapa tahap, yaitu, tahap pertama berupa client application, dimana PKP membuat faktur pajak melalui aplikasi yang diberikan DJP dan kemudian di-install di PC milik PKP. Datanya akan disinkronkan ke sistem DJP. Tahap kedua berupa website application, PKP membuat faktur pajak degan masuk ke website DJP dan mengisi faktur pajak. Tahap ketiga berupa host to host system, PKP membuat faktur pajak melalui sistem atau aplikasi yang dimiliki PKP.

“Kemudian data tersebut dikirimkan ke sistem DJP dengan menggunakan protocol atau messaging standard yang disepakati bersama,” jelas Irawan.

Lalu, siapa saja PKP yang diwajibkan menggunakan e-faktur ini? Irawan menjelaskan, pada dasarnya seluruh PKP wajib membuat faktur pajak secara elektronik. Hanya saja, pemberlakuan aturan ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama diberlakukan 1 Juli 2014 untuk PKP tertentu yang dikukuhkan di KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di Jakarta. Tahap kedua, diberlakukan pada 1 Juli 2015 untuk PKP yang dikukuhkan di KPP di Pulau Jawa dan Bali, serta tahap ketiga diberlakukan 1 Juli 2016 untuk PKP secara keseluruhan.

“Selain itu, sebagai pelaksanaan PMK e-faktur, DJP akan menerbitkan Peraturan DJP yang akan mengatur mengenai tata cara pembuatan e-faktur pajak,” ungkapnya.

DJP pernah menangkap oknum yang menerbitkan faktur pajak palsu, yakni berinisial Z alias J alias B. Direktur Intelijen dan Penyidikan DJP, Yuli Kristiyono, mengatakan upaya mengungkap kasus ini dimulai sejak 2010 silam.  Bermula dari penyidikan terhadap Soleh alias Sony, Eryanti dan Tan Kim Boen alias Wendry. Atas proses penyidikan tersebut, telah dilakukan penuntutan dan diputus melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 Agustus 2010 lalu terhadap Z alias J alias B dan D alias A alias R.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas (P2Humas) DJP Kismantoro Petrus, pernah mengatakan sejak 2013 DJP telah menghapus 325.000 Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai upaya untuk mengantisipasi penerbitan faktur pajak bodong.”PKP yang dihapus separuhnya karena sudah tidak ada kegiatan lagi," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait