Hinca Panjaitan: APBD untuk Sepakbola Kewajiban Konstitusional Negara
Profil

Hinca Panjaitan: APBD untuk Sepakbola Kewajiban Konstitusional Negara

Hinca melakukan penelitian tentang persinggungan antara hukum negara dengan aturan-aturan sepakbola. Lingkup nasional dan internasional.

Mvt
Bacaan 2 Menit
Hinca Panjaitan. Foto: goal.com
Hinca Panjaitan. Foto: goal.com

Tidak banyak ahli, praktisi dan akademisi Indonesia yang menaruh perhatian besar pada hukum olahraga, khususnya sepakbola. Padahal topik ini sebenarnya menarik, terlebih belakangan kisruh persepakbolaan nasional semakin menyeruak. Mulai dari ancaman intervensi pemerintah hingga larangan memakai dana APBD untuk kegiatan sepakbola. Banyak aspek hukum  yang jadi bahan perdebatan di ruang publik, dan semuanya memerlukan analisis dari orang yang mengerti hukum.

 

Hinca Panjaitan adalah satu dari segelintir orang Indonesia yang menggeluti bidang hukum olah raga. Ia juga dikenal sebagai advokat yang banyak menangani kasus berhubungan dengan pers. Perhatiannya terhadap hukum olah raga bukan sesuatu yang aneh, karena Hinca menjadi pengurus PSSI era kepemimpinan Nurdin Halid. Keterlibatannya di bidang olah raga inilah yang mengantarkan Hinca bergumul dengan kasus-kasus hukum olah raga. Dan, itu pula yang mengantarkan Hinca ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

 

Penelitiannya tentang hukum olah raga dituangkan dalam disertasi doktoral yang berhasil ia pertahankan di Universitas Pelita Harapan, 28 Januari lalu. Disertasinya berjudul "Intervensi Negara Terhadap Pengelolaan, Penyelenggaraan, dan Penyelesaian Sengketa Sepakbola Profesional di Era Globalisasi dalam Rangka Memajukan Kesejahteraan Umum di Indonesia (Suatu Kajian Hukum Tata Negara Mengenai Kedaulatan Negara versus Kedaulatan FIFA).” 

 

Dewan penguji sidang doktoralnya dipimpin langsung oleh Rektor UPH, Dr.(HC) Jonathan L. Parapak, M.Eng, Sc, dengan promotor/penguji Prof. Dr. Bintan R.Saragih, S.H., serta co-promotor/penguji Prof Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H, dan Dr. Lintang O. Siahaan, S.H.

 

Sementara, tim pengujinya terdiri dari Prof.Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.; Prof. Dr. Sri Setyaningsih, S.H., M.H.; Prof. Huala Adolf, S.H., LL.M, Ph.D, dan Prof.Hikmawanto Juwana, S.H., LL.M, Ph.D. 

 

Dalam disertasi ini, Hinca menyimpulkan bahwa semua hukum negara di seluruh dunia, termasuk hukum internasional, tunduk pada hukum sepakbola. “Meski tidak untuk semua hal, pada aspek tertentu,” ujarnya.

 

“Disertasi ini merupakan penelitian saya untuk memperoleh doktor dari Unversitas Pelita Harapan,” katanya pada hukumonline di sela sebuah acara, Senin (07/2).

 

Hukum olahraga, atau sebutannya Lex Sportiva, merupakan sistem hukum khusus yang menarik. Menurut Hinca, lex sportiva punya sistem, tatacara, dan komunitas sendiri meskipun bukan entitas negara. “Kalau kita bicara sepakbola, kan otoritas tertingginya FIFA. Nah, FIFA ini ternyata badan hukum swasta nasional yang berdasarkan hukum Swiss. Namun, aktifitasnya internasional, melampaui semua negara,” jelasnya.

 

Hal unik, semua hukum negara di seluruh dunia, termasuk hukum internasional, tunduk pada hukum sepakbola yang dibuat FIFA. Dalam konteks nasional pun, hukum negara seringkali tunduk pada aturan otoritas sepakbola negara masing-masing.

 

Hinca menyimpulkan, kedaulatan negara itu ternyata tidak tak terbatas. Memang, katanya, untuk menyelenggarakan pertandingan sepakbola perlu kepada pihak kepolisian yang notabene aparat negara. Namun, di luar hal itu hukum negara tidak berlaku lagi. Negara tidak dapat ikut campur karena semua aspek tunduk pada aturan FIFA. “Ini realitas dunia internasional yang hidup sudah ratusan tahun, realitas hukum yang ada tapi kita tidak sadari,” katanya.

 

Dalam menyelesaikan disertasinya ini, Hinca melakukan studi perbandingan hukum olahraga, dalam hal ini sepakbola, pada 26 negara. “Saya ingin melihat relasi negara dan olahraga, khususnya masalah intervensi negara,” ujar pria kelahiran Asahan, Sumatra Utara, 25 September 1964 ini.

 

Hinca menemukan ternyata hampir semua negara yang ditelitinya tunduk pada hukum olahraga, terutama sepakbola. Satu yang menarik perhatiannya adalah Yunani. Ia mengungkapkan, FIFA dan otoritas sepakbola Yunani sempat bersitegang dengan parlemen saat akan mengundangkan UU Olahraga.

 

Rancangan yang akan disahkan memberikan ruang luas bagi negara untuk intervensi. Namun, FIFA mengancam kalau jadi diundangkan, Yunani akan dibekukan dari kegiatan mereka. Akhirnya parlemen Yunani menyerah dan dibuatlah ketentuan peralihan. “Khusus untuk sepakbola, tidak berlaku UU tersebut. Luar biasa kan,” ujarnya.

 

Intervensi

Menurut Hinca, masalah intervensi ini merupakan hal menarik berkaitan dengan kondisi persepakbolaan Indonesia. Ia mengatakan tidak sedikit kasus intervensi penegak hukum dalam persepakbolaan Indonesia. Misalnya, kasus pemidanaan terhadap dua pesepakbola di Jawa Tengah, tahun 2009.

 

Saat itu, 12 Februari 2009, Nova Zaenal dan Bernard Momadao ditahan Poltabes Surakarta. Nova, pemain Persis Solo dan Momadao, pemain asing Gresik United berkelahi sengit di lapangan ketika kedua tim bertanding dalam pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia di Stadion R Maladi, Solo. 

 

Pertandingan itu ternyata turut disaksikan Kapolda Jateng, Irjen Alex Bambang Riatmodjo. Menilai perkelahian sudah berlebihan dan berpotensi memancing kerusuhan, Bambang memerintahkan anak buahnya menyeret kedua pemain tersebut ke Mapolda Jateng. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

 

Hinca mengatakan hal ini sebagai kesalahan. “Negara boleh bilang ini hukum pidana. Tapi untuk olahraga, khususnya sepakbola, tidak bisa. Ada kondisi dimana negara tidak bisa ikut campur. Itu yang saya sebut kedaulatan olahraga,” tegasnya.

 

Meski demikian, Hinca mengaku intervensi negara tidak dilarang secara absolut dalam sepakbola. “Menarik memang untuk dibahas, pada batas mana negara dapat ikut serta mengatur sepakbola. Dalam era globalisasi dan konsep negara kesejahteraan ini, negara sebenarnya memang punya hak bahkan kewajiban intervensi,” ujar dia.

 

Dalam disertasinya, Hinca membedakan intervensi negara dalam dua bentuk, turun tangan dan campur tangan.  Turun tangan diartikannya sebagai intervensi positif. “Negara turun tangan menolong karena sepakbola membutuhkan bantuan,” katanya.

 

Kongres sepakbola di Malang, Jawa Timur, pertengahan tahun 2009 lalu disebutnya sebagai bentuk turun tangan negara. “Saat itu karena prestasi sepakbola buruk, presiden mengajak semua rakyat berdiskusi apa yang harus dilakukan,” jelasnya.

 

Bentuk lain intervensi yang dirumuskan Hinca adalah campur tangan. “Ini intervensi negatif,” kata sarjana hukum dari Universitas HKBP Nommensen, Sumatera Utara ini.

 

Hinca mencontohkan, izin yang diberikan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) pada Liga Primer Indonesia dapat dikategorikan sebagai campur tangan negara. “Izin sepertiItu kewenangannya PSSI sebagai otoritas sepakbola, bukan negara. Apalagi, PSSI tidak mengakui keberadaan liga tersebut,” sergahnya.

 

Intinya, kata Hinca, negara berkewajiban menyelenggarakan infrastruktur olahraga agar warga negaranya bisa berolahraga. Juga, memastikan warga negaranya berolahraga di tempat yang benar. “Tapi negara dilarang mengurus warga negaranya berolahraga,” tegasnya.

 

Dana APBD

Hinca juga mengomentari pro kontra penggunaan dana APBD untuk membiayai klub sepakbola. Ia dengan tegas mengatakan bahwa penggunaan dana APBD seperti itu justru merupakan kewajiban konstitusional negara. Karenanya, tidak masalah kompetisi sepakbola Indonesia dibiayai oleh APBD.

 

“Dalam konstitusi dan undang-undang, negara wajib memastikan semua warga negaranya berolahraga. Termasuk menyediakan anggarannya. Itu kewajiban konstitusional,” tandasnya.

 

Hinca beralasan, menyediakan anggaran untuk klub sepakbola merupakan bentuk pemenuhan hak warga negara untuk menikmati olahraga dan hiburan. “Satu-satunya kondisi di mana masyarakat itu setara adalah ketika datang ke stadion untuk menonton sepakbola. Di stadion, tak peduli tukang becak, pejabat, orang kaya miskin, semua larut dalam kegembiraan. Dalam hal ini, APBD digunakan dalam konteks leisure (kesenangan) untuk menikmati hiburannya sebagai warga negara,” kata dia.

 

Meski demikian, Hinca mengamini bahwa penggunaan APBD untuk sepakbola harus sesuai aturan hukum. “Jika klub tidak bisa mempertanggungjawabkan, lalu pengurusnya dijerat korupsi, memang seharusnya,” sebutnya.

 

Namun, Hinca menolak tanggung jawab itu dibebankan pada PSSI sebab federasi olahraga ini tidak pernah terima dana APBD. “Semuanya diterima langsung oleh klub. PSSI tidak pernah dibantu negara sepeserpun, kecuali penyelenggaraan Piala AFF 2010 lalu Rp20 miliar dari APBN,” ungkapnya.

 

Ketika ditanyakan mengenai penyelesaian kasus suap dalam sepakbola, Hinca mengakui ada persinggungan yang cukup rumit. Menurutnya, dalam lex sportiva tidak dikenal hukum pidana dengan semua bentuk sanksi yang menyertainya. “Hukum sepakbola tidak kenal penjara dan kurungan,” tegasnya.

 

Hinca mengatakan, sepakbola mengenal beragam sanksi mulai dari denda hingga larangan beraktifitas di dunia sepakbola. Ia mencontohkan kasus yang menimpa dua Komite Eksekutif FIFA. “Mereka menerima suap di Piala Dunia. Hukumannya adalah larangan aktif di dunia sepakbola seumur hidup. Itu jauh lebih kejam daripada, misalnya, pidana penjara dua tahun dalam hukum negara,” kata dia.

 

Untuk tingkat negara, Hinca mengungkapkan, dari sekitar 208 negara anggota FIFA hanya Italia yang punya mekanisme hukum sendiri menyelesaikan kasus suap. “Negara lain tetap hukum negaranya bisa diterapkan. Ini tidak masalah kok,” kilahnya.

 

Artinya, Bagi Hinca, yang tidak boleh adalah hukum negara diterapkan pada suatu peristiwa sepakbola. Ia kembali mengacu pada kasus pemidanaan pemain di Solo. “Kalau yang seperti itu seharusnya tidak bisa dipidana,” pungkasnya.

 

Apapun simpulan dan rekomendasinya, buah pemikiran Hinca merupakan sumbangsih untuk pengembangan hukum olah raga atau lex sportiva di Indonesia.

Tags: