Himbara Minta Aset BUMN Disamakan Aset Korporasi
Berita

Himbara Minta Aset BUMN Disamakan Aset Korporasi

Ada tiga harapan Himbara kepada DPR terkait hapus tagih kredit.

YOZ
Bacaan 2 Menit
Himbara Minta Aset BUMN Disamakan Aset Korporasi
Hukumonline

Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) kembali memberikan masukan kepada Komisi XI DPR terkait penyelesaian piutang negara, Kamis (11/4). Himbara sepakat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pembatalan sejumlah pasal yang terdapat di UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) wajib dilaksanakan.

Berdasarkan putusan MK atas perkara No. 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 dengan pemohon PT Sarana Aspalindo Padang dkk., disimpulkan bahwa piutang BUMN bukan lagi merupakan piutang negara sehingga penyelesaiannya tidak lagi dilimpahkan ke PUPN/KPKNL.

“Sebagai produk hukum dari lembaga peradilan yang sah, putusan MK dimaksud wajib untuk kami laksanakan,” ujar Ketua Umum Himbara, Gatot Mudiantoro Suwondo.  

Sehubungan dengan hal tersebut, kata Gatot, dalam rangka implementasinya, Kementerian BUMN telah meminta agar bank-bank BUMN segera menyusun Guiding Principle sebagai acuan bagi bank-bank BUMN dalam menyusun kebijakan dan Prosedur Hapus Tagih dengan memperhatikan pengelolaan piutang yang baik dan ketentuan yang berlaku antara lain UU PT, UU BUMN, serta peraturan pelaksanaannya.

Menurut Gatot, pada dasarnya Himbara mendukung pemerintah dalam menggerakkan dunia usaha guna mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Himbara juga memberikan kesempatan kepada debitur untuk menyelesaikan kewajibannya kepada bank sehingga dapat menggerakkan usahanya kembali.

“Kita juga mengomptimalkan penyelesaian piutang macet dan memberikan kepastian penerimaan pembayaran bagi bank sehingga dapat meningkatkan performance bank,” katanya.   

Dalam kesempatan ini, Gatot mengingatkan ada perbedaan mendasar antara bank-bank BUMN dengan bank-bank swasta. Bank-bank milik BUMN, katanya, harus mengikuti sembilan regulasi, sedangkan bank swasta hanya mengikuti tiga regulasi yang ada. 

Adapun sembilan regulasi yang mesti dipatuhi bank-bank BUMN adalah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.  1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kemudian UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 BUMN, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

“Sedangkan swasta hanya hanya mengikuti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan UU Perbankan,” kata Gatot.

Lebih jauh, sambung Gatot, Himbara berharap agar seluruh pemangku kepentingan dari bank-bank BUMN, regulator termasuk DPR, dapat memberikan kepercayaan kepada para pengurus bank BUMN dalam menjalankan amanah mengelola perusahaan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

Kemudian, perlu adanya kesamaan pandang dari seluruh stake holders bank-bank BUMN, termasuk DPR bahwa aset bank BUMN adalah aset korporasi, sehingga bank-bank BUMN dapat meningkatkan daya saing dengan memiliki level of playing field yang sama dengan perbankan swasta sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi negara.

Himbara juga berharap dan meminta kepada DPR, khususnya Komisi XI untuk dapat menyelaraskan seluruh perundang-undangan terkait pengelolaan bank-bank BUMN, sehingga tidak ada lagi multitafsir dan kontradiksi pelaksanaan peraturan perundang-undangan sehingga terciptanya kepastian hukum dalam menjalankan usaha bank. 

“Kita berharap DPR bijak dalam membahas keputusan MK terkait diperbolehkannya penghapusan piutang oleh bank BUMN,” ujar Dirut Bank BNI ini.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengakui, dirinya dan beberapa anggota Komisi XI ada yang tidak setuju dengan putusan MK terkait penghapusan kredit hapus tagih bank-bank BUMN. Menurutnya, piutang bank BUMN merupakan piutang negara, sehingga ada potensi kerugian negara bila piutang tersebut dihapuskan.

Harry mengatakan, hingga kini Komisi XI masih mengkaji mengenai putusan MK tersebut. “Sebagian dari Komisi XI masih beranggapan bahwa piutang bank BUMN merupakan piutang negara. Artinya, apa yang dimiliki bank BUMN, maka secara otomatis juga dimiliki oleh negara,” ujarnya.

Untuk diketahui, pemerintah telah menyerahkan RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah kepada DPR. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pembahasan mengenai RUU PNPD sangat diperlukan mengingat banyaknya BUMN dan BUMD yang sulit menagih piutang yang telah dikeluarkan. Menurutnya, diperlukan undang-undang khusus tentang pengurusan piutang negara dan piutang daerah.

Kehadiran UU PNPD juga diperlukan sebagai payung hukum bagi perusahaan plat merah agar lebih mengembangkan usahanya di dunia profesional. Apalagi, kepemilikan BUMN atau BUMD tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah saat ini. Agus berharap jika RUU ini disetujui, BUMN/BUMD nantinya diizinkan untuk mengelola piutangnya sendiri, sehingga tidak timbul kekhawatiran adanya kerugian negara.

Menurut Agus, salah satu yang dikeluhkan oleh perusahaan-perusahaan plat merah adalah mereka selalu dihadapkan pada situasi bahwa piutang perseroan yang dimiliki oleh negara atau BUMN atau BUMD selalu dianggap sebagai piutang negara.

Dia juga menjelaskan undang-undang ini nantinya mengatur jika piutang negara tidak perlu diatur panitia, cukup Kementerian Keuangan, sehingga unit yang menangani piutang negara dapat lebih efisien dan lebih efektif. “Kalau disusun oleh panitia nanti tidak ada yang merasa betul-betul bertanggung jawab untuk melaksanakannya,” tuturnya.

Namun Harry mengatakan, sebagian anggota Komisi XI mulai menyuarakan adanya penolakan terhadap RUU tersebut menjadi undang-undang. Menurutnya, Komisi XI masih menginginkan adanya kepastian hukum terhadap putusan MK tentang kredit hapus tagih tersebut.

“Kita masih menganggap ada pertentangan antara keputusan MK tentang kredit hapus tagih dengan RUU Piutang Negara,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait