Hilirisasi Pertambangan Ancam Industri Jepang dan Malaysia
Utama

Hilirisasi Pertambangan Ancam Industri Jepang dan Malaysia

Pemerintah menyatakan siap jika harus berhadapan di ranah hukum internasional.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, mengungkapkan selama ini Indonesia menjadi pemasok energi untuk menggerakan industri di beberapa negara Asia, terutama Jepang dan Malaysia. Adanya kebijakan hilirisasi pertambangan mengakibatkan terganggunya kegiatan industri di kedua negara itu.

"Tanpa disadari ekspor batubara kita memberi amunisi mereka untuk menggerakkan sektor ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Malaysia menggunakan batubara yang 60% diantaranya berasal dari Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/3).

Di sisi lain, lanjut Ahmad, pemerintah Malaysia sudah mencium aroma rencana hilirisasi pertambangan Indonesia. Hal itu mendorong mereka segera mengubah haluan konsumsi energi. Malaysia langsung menyusun peta jalan (roadmap) energi dalam mengantisipasi kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia.

Dalam roadmap tersebut, Malaysia sigap melakukan konversi energi. Ia mengatakan bahwa Malaysia telah mulai mengubah kebutuhan energi batubara dengan memanfaatkan nuklir. Namun begitu, untuk mencukupi kebutuhan batubara yang tak bisa dihindari, Malaysia membeli ladang batubara di kawasan tertentu di Indonesia.

“Kebijakan hilirisasi melalui peningkatan nilai tambah secara tidak langsung menghentikan amunisi mereka untuk menggerakan industri. Mereka membeli ladang agar hasil produksinya bisa diekspor,” tambah Ahmad.

Sementara itu, Jepang telah menunjukan rencana untuk mengajukan keberatan ke World Trade Organization (WTO) terkait dengan penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebab, Negeri Matahari Terbit itu merupakan rumah bagi beberapa produsen stainless steel terbesar di dunia. Kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah dari Indonesia membuat negara itu harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan nikel dari negara lain.

Menanggapi kondisi industri dua negara sahabat itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar,menjelaskan bahwa sudah ada sosialisasi sebelumnya. Ia mengingatkan, sejak tahun 2005 lalu kementeriannya telah melakukan pemberitahuan kepada kedua negara. Dengan demikian, sudah selayaknya mereka mempersiapkan diri.

“Kebijakan hilirisasi mineral dalam bentuk larangan ekspor mineral mentah sudah disosialisasikan kepada pengusaha pertambangan sejak lama. Bahkan sosialisasi juga dilakukan ke Jepang agar kalangan industri disana melakukan sejumlah antisipasi. Tahun 2005 kami sudah sosialisasikan ke Jepang. Mereka sudah tahu. Kami katakan, kami juga ingin maju seperti Jepang," tegasnya.

Sukhyar mengakui, kebijakan yang diputuskan oleh pihaknya memang 'memukul' industri di Malaysia dan Jepang. Dia menyebut industri di Negeri Jiran harus mencari alternatif pasokan batubara yang selama ini diimpor dari Indonesia. Sedangkan Jepang, harus menerima kenyataan tidak lagi mendapat pasokan bijih nikel dari Indonesia.

Terhadap ancaman Jepang akan melaporkan Indonesia ke WTO, Sukhyar mengatakan pemerintah siap menghadapinya. Saat ini, ia menjelaskan belum ada gugatan secara resmi yang ditujukan kepada Indonesia. Hanya saja, Sukhyar melihat sudah ada geliat Jepang untuk mempermasalahkan kebijakannya dalam ranah hukum internasional.

"Jepang akan membawa masalah larangan ekspor ini ke WTO. Kami siap menghadapi rencana itu. Jika sampai ke Arbitrase, kita harus siap," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait