“Hilangnya” Nama Harun Masiku dan Gubernur Papua Barat dari Tuntutan Eks Komisioner KPU
Berita

“Hilangnya” Nama Harun Masiku dan Gubernur Papua Barat dari Tuntutan Eks Komisioner KPU

​​​​​​​Pengajuan JC Wahyu ditolak dan dikenakan hukuman tambahan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat menjalani sidang dengan agenda tuntutan. Foto: RES
Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat menjalani sidang dengan agenda tuntutan. Foto: RES

Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan kepada mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap secara bersama-sama dengan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridellina berkaitan dengan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku senilai Rp600 juta. Agustiani sendiri dituntut selama 4 tahun 6 bulan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu penuntut juga menyatakan Wahyu terbukti menerima suap berkaitan dengan proses pemilihan anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020-2025 sebesar Rp500 juta. “Menyatakan Terdakwa I Wahyu Setiawan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dan berlanjut, sebagaimana dalam dakwaan primair, dan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kumulatif (kedua),” ujar penuntut umum dalam surat tuntutannya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/8).

Dakwaan primair yang dimaksud yaitu Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara dakwaan komulatif kedua yaitu Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun yang cukup menarik di sini penuntut umum dalam tuntutan pidananya tidak mencantumkan nama Harun Masiku, calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan sebagai orang yang memberi uang. Penuntut justru mencantumkan nama Saeful Bahri, salah seorang staf dari kantor PDI Perjuangan yang hanya merupakan perantara sebagai pemberi suap. (Baca: Perkara Penyuap Anggota KPU Disidangkan, Nama Harun Masiku Jelas Disebut)

“Terdakwa I Wahyu Setiawan selaku anggota (komisioner) KPU periode tahun 2017–2022 dan Terdakwa II Agustiani Tio Fridelina, terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, yaitu menerima uang sebesar Sin$19,000.00 dan sebesar Sin$38,350 atau seluruhnya setara dengan jumlah sebesar Rp600 juta dari Saeful Bahri,” kata penuntut.

Padahal dalam uraian unsur menerima hadiah atau janji disinggung adanya peran Harun Masiku sebagai pemberi uang dalam perkara ini. Seperti uraian penuntut yang menyatakan adanya fakta hukum pada 13 Desember 2019, Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah (advokat) menemui Harun Masiku di Hotel Grand Hyatt Jakarta untuk melaporkan bahwa biaya pengurusan di KPU RI untuk kepentingan Harun Masiku memerlukan dana sebesar Rp1,5 miliar. Beberapa hari kemudian Harun Masiku kembali menemui Saeful Bahri dengan mengatakan bahwa dirinya telah menyiapkan uang tersebut sekaligus mengatakan “awal Januari saya dilantik”.

Kemudian uraian selanjutnya penuntut juga menyatakan Harun Masiku memberi uang untuk pembayaran awal suap kepada Wahyu. “Harun Masiku menyerahkan uang kepada Saeful Bahri sejumlah Rp400 juta yang dititipkan melalui Kusnadi dan Donny Tri Istiqomah. Selanjutnya Saeful Bahri memerintahkan sopirnya, yaitu Moh. Ilham Yulianto menukarkan sebagian uang tersebut, yaitu sejumlah Rp200 juta ke dalam pecahan mata uang dollar Singapura sebesar Sin$20 ribu yang akan diberikan kepada Terdakwa I (Wahyu Setiawan) sebagai uang Down Payment (DP) sebagaimana permintaan sebelumnya. Sedangkan sisa uang tersebut dibagi untuk Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah masing-masing sejumlah Rp100 juta,” ujar penuntut.

Begitu pula pada penerimaan suap berkaitan dengan pemilihan anggota KPU Provinsi Papua Barat. Penuntut Umum tidak mencantumkan nama Gubernur Papua Barat Domingun Mandacan selaku pemberi suap. Terdakwa I Wahyu Setiawan selaku anggota (komisioner) KPU periode tahun 2017–2022 terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu menerima uang sebesar Rp500 juta dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo, yang diberikan karena kekuasaan atau wewenang yang berhubungan pada jabatan Terdakwa I selaku Anggota KPU RI,” kata penuntut.

Padahal dalam uraian unsur menerima hadiah atau janji, Rosa yang merupakan Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat bertugas untuk menyampaikan penerimaan suap. Sementara uang suap itu sendiri berasal dari Domingus. “Pada tanggal 3 Januari 2020, Rosa Muhammad Thamrin Payapo menerima uang sebesar Rp500 juta dari Dominggus Mandacan yang kemudian uang tersebut disetorkan Rosa Muhammad Thamrin Payapo ke rekening pribadinya pada Bank Mandiri Cabang Manokwari untuk nantinya akan ditransfer ke rekening Terdakwa I,” jelas penuntut. (Baca: Pernyataan Pengacara Bongkar Kecurangan Pemilu Berujung Pencabutan Kuasa)

JC ditolak

Dalam menjatuhkan tuntutan, penuntut mempertimbangkan sejumlah hal seperti pertimbangan memberatkan dan meringankan. Untuk memberatkan perbuatan Wahyu dan Agustiani dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Perbuatan para Terdakwa berpotensi mencederai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan terakhir Para Terdakwa telah menikmati keuntungan dari perbuatannya. Sementara meringankan yaitu bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan keduanya mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya.

Selain hukuman pidana, Wahyu juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik dalam rentang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu selama 4 tahun. (Baca: Dicecar Buronnya Harun Masiku, Begini Jawaban KPK)

Penuntut juga menolak status Justice Collaborator (JC) yang diajukan Wahyu dengan alasan pada ketentuan SEMA Nomor 04 tahun 2011 yang mengatur tata cara penetapan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator), yaitu harus memenuhi syarat-syarat antara lain yang bersangkutan bukanlah pelaku utama (perannya sangat kecil), bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya maupun pihak-pihak lain yang mempunyai peranannya lebih besar.

Berdasarkan fakta-fakta hukum persidangan sebagaimana uraian pembahasan sebelumnya, telah dapat dibuktikan bahwa Wahyu merupakan pelaku utama dalam penerimaan uang suap dari Saeful Bahri terkait permohonan penggantian Caleg DPR RI dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku di KPU RI. Demikian pula telah dapat dibuktikan bahwa ia juga merupakan “pelaku utama” dalam penerimaan uang suap dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025.

Selain terbukti dalam kedua perbuatan yang didakwakan tersebut, pada pemeriksaan persidangan penuntut menilai bahwa Wahyu tidak terlalu kooperatif, masih memberikan keterangan yang berbelit-belit dengan sejumlah bantahan, seperti bantahan. Seperti menyatakan “hanya bercanda” menuliskan ucapan “1000”, bantahan mengenai uang yang diterima dari Saeful Bahri tidak terkait dengan surat permohonan penggantian caleg Harun Masiku di KPU RI, bantahan mengenai uang yang ditransfer Rosa Muhammad 316 Tuntutan ini telah dibacakan pada tanggal 3 Agustus 2020 di Pengadilan Tipikor Thamrin Payapo adalah untuk bisnis property.

“Di mana bantahan-bantahan tersebut sama sekali tidak beralasan karena bertentangan dengan keterangan saksi-saksi maupun alat bukti lainnya. Berdasarkan uraian di atas, kami selaku Penuntut Umum menilai bahwa Terdakwa I tidak layak untuk dapat ditetapkan sebagai JC (Justice Collaborator) karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam SEMA Nomor 04 tahun 2011,” tegas penuntut.

Tags:

Berita Terkait