Hendrikus Passagi: Fintech P2P Lending ‘Haram’ Bermain On Balance Sheet
Utama

Hendrikus Passagi: Fintech P2P Lending ‘Haram’ Bermain On Balance Sheet

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencabut izin penyelenggara teknologi finansial (fintech) bila terbukti melakukan on balance sheet tanpa peringatan atau teguran.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Hendrikus Passagi. Foto: NNP
Hendrikus Passagi. Foto: NNP

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau fintech Peer to Peer Lending dilarang menjadi pihak yang ikut memberikan pinjaman (lender) dan dicatatkan dalam balance sheet atau yang dikenal dengan istilah on balance sheet. Bila ditemukan penyelenggara fintech Peer to Peer Lending melakukan on balance sheet, OJK tegas mencabut izin fintech.

 

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengatakan bahwa Pasal 43 POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) tegas melarang penyelenggara fintech bertindak menjadi pihak yang ikut memberikan pinjaman atau lender. Ia mengatakan, regulator tidak akan memberikan peringatan ketika ditemukan bukti penyelenggara fintech melakukan on balance sheet. Hendrikus cukup keras mengatakan OJK akan langsung mencabut izin yang sebelumnya diberikan.

 

“Kita ngga usah kasih peringatan karena kalau dikasih peringatan itu penyakit,” kata Hendrikus saat diwawancarai Hukumonline di kantornya  sekira akhir November 2017.

 

Sikap tegas regulator bukan tanpa pertimbangan lantaran inovasi digital berkembang pesat sehingga OJK merasa perlu memberikan kepastian kepada indsutri agar bisa tumbuh sehat. Hendrikus melanjutkan, penyelenggara fintech Peer to Peer Lending sebelum terjun masuk ke industri jasa keuangan harus memiliki pemahaman bahwa regulator punya peran untuk  menjamin industri yang lebih dulu ada (existing) tetap tumbuh dan tidak terdisrupsi dengan model bisnis baru yang dikembangkan masing-masing penyelenggara fintech.

 

Sekadar informasi, data per Desember 2017 terdapat 27 fintech Peer to Peer Lending yang sudah diberi izin OJK. Dari 27 perusahaan tersebut, 19 perusahaan merupakan perusahaan lokal dan 8 lainnya sebagian dimiliki asing. Selain itu, ada sekitar 32 fintech Peer to Peer Lending dalam tahap pendaftaran. Kemudian ada 28 perusahaan yang menyatakan minat mendaftar kepada otoritas. Sementara itu, total pembiayaan fintech hingga November 2017 telah mencapai Rp2,26 triliun dengan jumlah peminjam sebanyak 290.335 orang.

 

Potensi tersebut diyakini terus berkembang. Untuk mengantisipasi industri jasa keuangan secara umum, OJK merasa perlu memperjelas aturan main untuk dipatuhi ‘pemain baru’ sebelum masuk industri. Terbitnya POJK Nomor 77 Tahun 2016 cukup memperjelas aturan main terutama bagi peer to peer lending. Regulasi yang menjadi tindak lanjut POJK masih dibahas intens oleh OJK di antaranya Rancangan SEOJK tentang Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggaraan LPMUBTI dan Rancangan SEOJK tentang Penyelenggaraan LPMUBTI.

 

Kedua RSEOJK pun telah diuji publik awal November 2017. Beberapa kalangan, akademisi, regulator, termasuk penyelenggara fintech telah memberikan catatan. Yang mengemuka dalam pemaparan sebetulnya lebih kepada catatan industri fintech karena meskipun sama-sama berbentuk peer to peer lending, mereka memiliki model bisnis berbeda-beda. Terlepas dari perdebatan dan catatan tersebut, OJK lebih concern memastikan industri keuangan tumbuh sehat dan tidak saling ‘mematikan’ pemain pada industri yang existing.

 

Baca:

 

Untuk mendalami bagaimana cara OJK menjamin industri jasa keuangan ‘ramah’ kepada fintech Peer to Peer Lending tetapi memastikan pemain existing tetap tumbuh, Hukumonline berkesempatan mewawancarai Hendrikus Passagi lebih lanjut. Dalam wawancara dengan Hukumonline akhir November 2017 di kantor OJK Menara Merdeka, Hendrikus berbicara mengenai sikap tegas OJK ketika menemukan adanya penyelenggara fintech Peer to Peer Lending bermain on balance sheet. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bisa dijelaskan lebih jauh mengenai alasan larangan on balance sheet?

Pertama, ada potensi front runner. Kalau penyelenggara bisa memberi pinjaman melalui crowdfunding dan dia bisa ikut memberikan pinjaman, maka ada potensi sebagai pemilik informasi yang lengkap, dia (penyelenggara) akan memilih dulu daftar pinjaman yang baik-baik kemudian dia akan berikan pinjaman.

 

Sementara, daftar calon peminjam yang jelek, diserahkan ke lender yang lain. Itu namanya risiko front runner, menyalahgunakan informasi yang dimiliki. Sehingga POJK Nomor 77 Tahun 2016 jelas dia dilarang ikut bertindak sebagai pemberi pinjaman. Dia hanya boleh memfasilitasi lender dan borrower, dia tidak boleh ikut terlibat dalam kegiatan lender dan borrower. Makanya, dia dilarang menjadi borrower.

 

Kedua, mereka dilarang supaya menghindari kesan terjadi praktik shadow banking atau praktik pinjaman yang dilakukan seperti bank atau perusahaan pembiayaan. Kalau ini dibiarkan, maka kegiatan fintech Peer to Peer Lending sangat jelas mengganggu kegiatan usaha perbankan dan perusahaan pembiayaan.

 

Selama masa pendaftaran pasca POJK Nomor 77 Tahun 2016, apakah ada penyelenggara fintech yang terindikasi on balance sheet?

Kalau di OJK, kita tidak bisa bicara indikasi. Sebagai regulator, kita hanya bisa bicara ketika ada bukti. Jadi kalau misalnya, wartawan mengatakan ada perusahaan yang melakukan on balance sheet, kita dengarkan tapi tidak bisa kita jadikan satu-satunya bukti. Kita harus memanggil kemudian meminta laporan pembukuan dari akuntan publik yang ditunjuk.  

 

Karena kalau kita bicara indikasi atau rumor, dalam bisnis kan bersaing. Bisa dibayangkan kalau ada 26 penyelenggara fintech Peer to Peer Lending, mereka itu bersaing. Ada potensi salah satu menjelek-jelekan. Adil ngga OJK sebagai regulator mendengarkan isu-isu saling menjelekkan itu tadi? Ya tidak adil dong. Saya harus mendapatkan alat bukti sama seperti polisi harus ada yang minimal melapor, siapa yang melapor misalnya petugas pajak karena yang melapor bisanya pihak yang merugikan.

 

Nantinya, bagaimana cara penindakan yang akan dilakukan OJK?

Kita cabut izinnya.

 

Apa tidak ada peringatan dulu sebelum dilakukan pencabutan?

Kalau dari kami, setiap pelanggaran yang jelas-jelas ada larangan dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016, tidak ada  peringatan. Masa kamu misalnya ada lampu merah, UU Lalu Lintas itu pelanggaran. Tiba-tiba kamu melanggar, lalu Polisi bilang peringatan pertama. Masa seperti itu, bagaimana logikanya, ya saya tangkap.

 

Bagaimana dengan nasib borrower dan lender-nya?

Makanya, setiap penyelenggara yang mengajukan sudah ada rencana kerja penyelesaian masalah, itu yang akan dieksekusi. Bukan berarti izin dicabut dia enak-enakan pergi, oo… tidak.

 

Kewajibannya tetap dilaksanakan sesuai dengan perjanjian awal ketika registrasi. Kalau tidak eksekusi, itu masuk ke ranah pidana, karena penipuan. Jadi kamu penyelenggara, jangan berpikir nyantai kalau dicabut izinnya. Cabut izin, jalankan kewajiban, kalau tidak kita laporkan ke polisi.

 

Bagaimana cara OJK mengawasi eksekusi pelaksanaan rencana kerja tersebut?

Sewaktu dicabut izinnya, kewajibannya kan sesuai rencana kerjanya. Izin dicabut berarti tidak bisa berusaha lagi, tetapi kewajiban dia sesuai janji ke OJK tetap ada. Ini dua peristiwa hukum yang berbeda.

 

Cabut kegiatan usaha berarti dia beku tidak bisa menambah nasabah, tapi diperjanjian penyelenggara dengan OJK mengatakan akan ini, silahkan selesaikan. Kalau tidak diselesaikan, cidera janji kan.

 

Standar apa yang harus dimuat dan sampaikan fintech dalam rencana kerja tersebut?

Nanti di masa pendaftaran ada syarat, lalu ada rencana bisnis dan penyelesaian masalah. Karena sebagai penyelenggara fintech Peer to Peer Lending, satu-satunya kepentingan yang diinginkan adalah kepastian dan kesehatan industri. Karena kalau satu jatuh, semua akan kena. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. 

 

Kalau kita berangkat dari pemikiran itu, kerja regulator jadi ringan dong. Karena akan terjadi namanya public scrutining (pengawasan dari publik). Publik ikut mengawasi, sesama pelaku industri saling melihat. Kalau ada aneh-aneh datang ke OJK.

 

Menegaskan kembali, artinya OJK benar-benar akan langsung mencabut izin ketika ada on balance sheet?

Kita ngga usah kasih peringatan, karena kalau dikasih peringatan itu penyakit. Kan Cuma dikasih SP 1 aja. Kalau saya ditanya kejam banget tidak kasih SP 1 dan SP 2, begitu berarti kalau langgar lampu merah kamu bilang ke Polisi saya jangan ditilang, kasih SP 1 pak. Segala sesuatu yang sudah ditulis jelas dan ada sanksinya di POJK Nomor 77 Tahun 2016.

 

Karena targetnya adalah menciptakan industri keuangan Peer to Peer Lending yang sehat, maka dalam setiap pelanggaran hampir dipastikan OJK tidak akan mengeluarkan surat peringatan. Langsung pencabutan. Setiap pelanggaran Pasal-Pasal dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 yang memang sudah dilarang, tidak ada peringatan.

 

Kalau misalnya di situ tidak ada larangan tapi ada perbuatan yang akan mengarah pada tindakan yang melanggar, itu mungkin kita kasih peringatan. Ketika mengawal regulasi itu, kita selalu berada di depan regulasi. Ketika ada kegiatan yang berpotensi melanggar, kita akan beritahu. Ini haram hukumnya kalau ada on balance sheet.

Tags:

Berita Terkait