Hatta Ali Didesak Mundur, MA: Tidak Relevan!
Utama

Hatta Ali Didesak Mundur, MA: Tidak Relevan!

MA telah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi di lingkungan pengadilan, tapi itulah masalahnya tidak lepas dari faktor integritas hakim itu sendiri. Bagi MA, kritikan yang konstruktif dan obyektif dibutuhkan sebagai masukan untuk meningkatkan sistem pembinaan dan pengawasan hakim.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Lembaga peradilan kembali “ternoda” setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan bernama Kayat bersama seorang pengusaha bernama Sudarman melalui pengacaranya Johnson Siburian, Jum’at (3/5/2019) malam. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka terkait jual beli perkara di PN Balikpapan. Kayat diduga menerima uang suap Rp100 juta dari komitmen fee sebesar Rp500 juta.

 

Diduga Hakim Kayat menerima suap terkait penanganan perkara pemalsuan surat di PN Balikpapan. Ia disangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Sementara sebagai pemberi suap yaitu Sudarman dan Johnson Siburian. Keduanya disangkakan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Baca Juga: Hakim PN Balikpapan Tersangka Suap, MA Terus Berbenah

 

Kasus berawal dari putusan perkara bernomor 697/Pid.B/2018/PN Bpp, dimana Sudarman divonis lepas dari segala tuntutan dalam dalam kasus pemalsuan surat pada Desember 2018. Padahal, penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Balikpapan yang dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Balikpapan bernama M. Mirhan menuntut selama 5 tahun.

 

Ternyata sebelumnya, Kayat selaku hakim pernah bertemu dengan Johnson, kuasa hukum Sudarman dan menawarkan bantuan dengan imbalan Rp500 juta jika ingin kliennya bebas. Sudarman menjanjikan akan memberi Rp500 juta jika tanahnya yang ada di Balikpapan laku terjual.

 

Setelah mendapat uang muka penjualan rumah itu, pada 3 Mei 2019, Rosa dan Johnson menyerahkan uang sebesar Rp100 juta kepada Kayat di PN Balikpapan. Sedangkan Rp100 juta lain dltemukan di kantor Johnson yang diketahui berasal dari kantor hukum Jodi Advokat & Legal Consultant. Hingga akhirnya mereka ditangkap KPK di tempat yang berbeda.   

 

Tentunya, penangkapan hakim ini menambah daftar panjang nama-nama hakim yang terlibat praktik korupsi (suap) di lingkungan pengadilan (judicial corruption). ICW mencatat sejak era kepemimpinan Ketua MA Hatta Ali, sudah ada 20 orang hakim yang terlibat praktik korupsi. Kejadian ini seharusnya menjadi bahan refleksi serius dua institusi pengawas hakim, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial (KY).

 

“Tertangkapnya hakim Kayat karena tersangkut kasus korupsi mengkonfirmasi sistem pengawasan belum berjalan optimal meski sudah ada regulasi pengawasan dan pembinaan di MA. Ke depan dua lembaga tersebut penting merumuskan ulang grand design pengawasan, bahkan jika diperlukan dapat melibatkan KPK sebagai pihak eksternal,” tulis ICW dalam keterangannya, Minggu (5/4/2019).

  

Untuk itu, ICW menuntut Hatta Ali mengundurkan diri sebagai Ketua MA karena dinilai telah gagal untuk menciptakan lingkungan pengadilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi. “Kita juga meminta Badan Pengawas MA melibatkan KY dan KPK untuk melakukan pembenahan lingkungan pengadilan agar terbebas dari praktik korupsi,” pintanya.

 

Hukumonline.com

 

Kritikan konstruktif dibutuhkan

Terpisah, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan berulangnya penangkapan hakim bukan MA tidak serius melakukan pembinaan dan pengawasan. Bahkan, pada tahun 2017/2018 lalu, MA telah mencanangkan tahun pembersihan terhadap oknum aparat peradilan yang melakukan perbuatan tercela. “MA tidak main-main melakukan pembersihan dengan melibatkan KPK untuk menangkap dan menindak oknum aparatur peradilan yang melakukan suap dan jual beli perkara,” kata Andi saat dihubungi, Senin (6/5/2019).

 

Dalam berbagai kesempatan, lanjutnya, Ketua MA selalu menekankan tidak akan memberi toleransi kepada aparatur peradilan yang terbukti melanggar. Bagi yang tidak bisa dibina terpaksa akan “dibinasakan” agar virusnya tidak menyebar kepada yang lain. Dalam upaya meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang efektif,

 

MA sebenarnya telah menerbitkan beberapa Perma dan Maklumat yang berkaitan dengan Pembinaan dan Pengawasan ini. Maklumat Ketua MA No. 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA, dan Badan Peradilan di Bawahnya. Termasuk, Peraturan MA No. 7, 8, 9 Tahun 2016 terkait mekanisme pembinaan dan pengawasan aparatur peradilan.

 

“Di satu sisi, tentu kami merasa prihatin atas terjadinya lagi penangkapan hakim PN. Balikpapan, Kayat. Tapi, di sisi lain kami merasa optimis, Insya Allah, meski dinodai perilaku segelintir aparatur peradilan yang merendahkan wibawa dan martabat peradilan, namun tidak menyurutkan langkah dan kerja keras serta keseriusan MA untuk berbenah.”

 

Kalau timbul sorotan dan kritikan terhadap sistem pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh MA sehubungan dengan ditangkapnya Hakim Kayat di PN Balikpapan, oleh KPK dapat dipahami. Bagi MA, kata dia, kritikan yang konstruktif dan obyektif dibutuhkan sebagai masukan untuk meningkatkan sistem pembinaan dan pengawasan hakim.

 

“Sebenarnya, MA telah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi di lingkungan pengadilan, tapi itulah masalahnya tidak lepas dari faktor integritas hakim itu sendiri,” dalihnya.

 

Meski begitu, dibandingkan hakim hakim yang bermasalah dengan jumlah hakim yang tersebar di seluruh Indonesia maka masih jauh lebih banyak hakim yang berintegritas baik dan memegang teguh etika profesi. “Berdasarkan alasan tersebut kami menilai tuntutan yang meminta supaya Hatta Ali mengundurkan diri sebagai Ketua MA karena dinilai gagal untuk menciptakan lingkungan pengadilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi tidak berdasar dan tidak relevan!".

Tags:

Berita Terkait