Hati-hati! Mengingkari Janji Menikah Sebagai PMH
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Hati-hati! Mengingkari Janji Menikah Sebagai PMH

Bagi muda-mudi yang saat ini sedang menjalin hubungan (berpacaran) berhati-hatilah membuat janji menikahi yang diingkari disertai dengan unsur-unsur perbuatan yang merugikan salah satu pihak sebagai perbuatan melawan hukum, bahkan bisa dipidana dengan pasal penipuan.

Aida Mardatillah
Bacaan 8 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Di zaman saat ini seringkali terjadi Ghosting (mengakhiri sebuah hubungan secara mendadak), istilah viral yang sedang trend di kalangan anak muda. Nah, Ghosting ini tidak jarang dialami muda-mudi yang menjalin hubungan atau pacaran. Kemudian berjanji untuk menikahi, tetapi tidak menepati janjinya. Tahukah kamu bahwa memberi janji menikah, lalu mengingkari janji tersebut dapat digugat perdata dan terjerat pidana. Sebab, perkara seperti ini sudah ada yurisprudensinya.

Persoalan janji menikahi ini banyak terjadi pada pasangan, mulai dari janji menikahi, salah satu pasangannya menyerahkan keperawanannya, atau melakukan hubungan layaknya suami istri, hingga hamil. Lalu, membatalkan rencana pernikahan begitu saja, padahal persiapan pernikahan sudah 90 persen, mulai biaya catering hingga sewa gedung. Ternyata kejadian seperti ini sudah banyak terjadi dari dahulu hingga saat ini.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal istilah “perjanjian perkawinan”. Sebelum melangsungkan perkawinan, pasangan boleh mengadakan perjanjian sepanjang substansi perjanjian tidak melanggar batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Tapi, tidak demikian halnya dengan janji menikahi. Pada umumnya, janji menikahi disampaikan secara lisan, bahkan mungkin sebagai bagian dari upaya merayu pasangan. Ada yang berhasil merayu, ada pula yang tidak berhasil. Berhasil merayu pasangan berkat iming-iming janji untuk dinikahi, bukan berarti bebas melaksanakan tindakan melanggar hukum.

Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menghukum seorang pria dari Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), berinisial AS (34) sebesar Rp 150 juta. Sebab, AS dianggap ingkar janji karena tidak jadi menikahi kekasihnya, berinisial SSL. Mengutip website MA, perkara ini tertuang dalam putusan kasasi MA No. 1644 K/Pdt/2020. (Baca Juga: Perjanjian Pra Nikah Demi Melindungi Pasangan Suami-Istri)

Dalam berkas gugatan perkara ini, diceritakan kasus itu bermula saat AS dan SSL menjalin hubungan pacaran. Pada 14 Februari 2018, AS melamar SSL sesuai dengan adat istiadat Jawa. AS bersama orang tua dan kerabatnya datang ke rumah SSL membawa cincin pertunangan dan barang hantaran. Dalam acara lamaran itu, disepakati pernikahan akan digelar pada September 2018.

Setelah lamaran, AS membawa SSL jalan-jalan ke Cilacap dan check in di hotel. Di kamar tersebut, AS merayu dan membujuk SSL untuk berhubungan layaknya suami-istri. SSL menolak dengan alasan belum sah sebagai suami-istri. AS merajuk, mengungkit bahwa keduanya sudah lamaran dan tinggal menunggu waktu untuk menikah. SSL akhirnya terbujuk rayuan maut AS hingga SSL menyerahkan keperawanannya kepada AS malam itu juga.

Baru berjalan dua bulan, watak asli AS terungkap. AS kembali menjalin hubungan asmara dengan mantan pacarnya. Hingga pada waktu yang dijanjikan, AS tidak jadi menikahi SSL. Pada Oktober 2018, AS datang ke rumah SSL dan bertemu dengan kedua orang tua SSL. Dalam pertemuan itu, AS menyatakan tidak jadi menikahi SSL. Mendengar hal itu, keluarga SSL tidak terima dan menggugat AS ke pengadilan.

Singkat cerita, Pengadilan Negeri (PN) Banyumas memutuskan AS telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan telah merugikan SSL. Oleh sebab itu, AS dihukum untuk membayar ganti rugi kepada SSL berupa kerugian imateriil sebesar Rp 100 juta secara tunai dan sekaligus. Duduk sebagai ketua majelis Enan Sugiarto dengan anggota majelis Tri Wahyudi dan Randi Jastian Afandi.

Atas putusan itu, AS tidak terima dan mengajukan permohonan banding. Alih-alih dikabulkan/dimenangkan, hukuman (ganti kerugian, red) ke AS malah diperberat. Pengadilan Tinggi (PT) Semarang memperberat ganti rugi imateril yang harus dibayar AS ke SSL menjadi Rp 150 juta secara tunai dan sekaligus. Perkara ini diputus oleh ketua majelis Dwi Prasetyanto dengan anggota Santun Simamora dan Saparudin Hasibuan.

AS semakin tidak terima dengan putusan banding dan langsung mengajukan kasasi ke MA. Namun, MA menolak kasasi dari AS. "Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp 500 ribu," ujar Majelis Kasasi yang diketuai I Gusti Agung Sumanatha dengan anggota Sudrajad Dimyati dan Pri Pambudi Teguh dalam Putusan No. 1644 K/Pdt/2020.

Majelis MA menilai AS telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena telah membatalkan secara sepihak rencana pernikahan dengan SSL yang telah disepakati bersama tanpa alasan yang sah. Padahal, sebelumnya telah dilakukan kesepakatan yang melibatkan kerabat kedua belah pihak. "Sehingga pembatalan a quo membawa kerugian moril pada Penggugat Konvensi (penggugat asal, red) dan keluarga," demikian bunyi pertimbangan Majelis Kasasi.

Dari kasus tersebut, ingkar janji tidak menikahi menempuh gugatan perdata dengan menggunakan dalil perbuatan melawan hukum. Onrechtmatigedaad umumnya merujuk pada Pasal 1365 BW/KUH Perdata yang menyebutkan setiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Dalam praktiknya, onrechtmatigedaad adalah konsep hukum yang mudah digunakan pihak-pihak yang merasa dirugikan, dan bisa menjadi perangkap dalam hubungan berpacaran yang tak berlanjut ke pelaminan. Sebab, kasus seperti ini telah ada yurisprudensinya. Salah satu yang menjadi yurisprudensi adalah putusan MA yang dijatuhkan Hakim Agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Arbijoto pada pertengahan Juli 2003 silam.  

Dalam putusan ini, Majelis Hakim MA itu mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat. Dalam Putusan MA No. 3277 K/Pdt/2000 ini, judex factie dianggap salah menerapkan hukum. Majelis menganggap tidak dipenuhinya janji menikahi mengandung arti Tergugat telah melanggar norma kesusilaan, kepatutan masyarakat, dan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum.

Oleh karena perbuatan tidak memenuhi janji menikahi itu menyebabkan kerugian bagi Penggugat, maka Tergugat asal wajib membayar ganti rugi yang besarnya ditetapkan dalam amar putusan. Ganti ruginya jumlahnya sebesar Rp7,5 juta sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan Penggugat untuk membiayai hidup Tergugat selama mereka berdua menjalin asmara.

Dari putusan perkara ini dapat ditarik kaidah hukum bahwa “dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini, perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Putusan ini juga diketahui bukan putusan pertama yang menghukum pelaku yang ingkar janji menikahi.

Majelis Hakim Agung ini merujuk pada yurisprudensi Putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Dalam putusan ini, hakim agung menyatakan perbuatan Tergugat asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasi sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat asli.

Dalam buku berjudul Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions), Sudargo Gautama mencatat putusan 8 Februari 1986 itu mungkin yang pertama kali di Indonesia terkait masalah tidak menepati janji untuk melangsungkan perkawinan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dan diikuti keharusan membayar ganti rugi.

Mensyaratkan ada kerugian

Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Endah Hartati mengatakan ingkar janji menikahi yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dijerat hukum baik pidana maupun gugatan perdata. “Perbuatan tersebut harus melawan hukum, menimbulkan kerugian, adanya sebab akibat antara perbuatan melawan hukum, kerugian yang dialami dan terdapat unsur kesalahan,” kata Endah Kepada Hukumonline, Senin (10/5/2021).

Secara hukum perdata, kata dia, pihak yang tidak menepati janji menikahi bisa dituntut. Tapi, janji untuk menikahi tidak dapat membawa penuntutan ganti kerugian dan perjanjian dilakukan tidak tertulis sepanjang memenuhi unsur-unsur Pasal 58 BW/KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum itu harus ada sebab akibatnya, terdapat unsur kesalahan, dapat meminta ganti kerugian.  

Pasal 58 BW menyebutkan “janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya. Segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”. 

Pasal 58 KUH Perdata merumuskan tiga hal. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkan perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.

Endah menjelaskan jika pemberitahuan kawin telah diikuti oleh pengumuman, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak lain. Lalu, mengenai perbuatan melawan hukum, kata dia, diartikan sebagai perbuatan yang tidak pantas dalam lingkup kesusilaan masyarakat.

Jadi, apakah janji menikahi tanpa adanya unsur-unsur merugikan salah satu pihak tidak dapat dijerat hukuman? Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FH UI), Heru Susetyo mengatakan batalnya pernikahan ini dapat berakibat hukum, bisa diajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, bila salah satu pihak melanggar janji untuk melaksanakan pernikahan.

Namun, apabila janji itu hanya secara lisan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dengan janjinya, tidak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. “Jadi, kalau hanya pacaran saja dan janji ingin menikahkan, tidak ada kerugian baik fisik, psikis, batin, seksualitasnya, ekonominya, maka tidak bisa dilakukan gugatan ke pengadilan.”

Perkara menarik lainnya, termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu dalam Putusan No. 11/Pdt/G/1988/PN/Kef. Perkara ini timbul dari hubungan intim yang terjalin antara penggugat P (penggugat) dengan H (tergugat) sejak tahun 1982 s.d. 1988. H membujuk dan merayu P agar melakukan hubungan intim dengan janji bila Hamil, H akan menikahi P. Ternyata perbuatan ini mengakibatkan P hamil. Karena kehamilan P, orang tua P meminta kepada H agar persoalan ini diselesaikan baik-baik, tetapi tidak berhasil.

Kemudian P menuntut ke pengadilan agar memutuskan H telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar hukum adat yaitu “Pualeu Manleur dan Tamnoni” dan menghukum H untuk membayar sanksi adat dan tuntutan adat. Alhasil, gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Kefamenanu. Dari perkara ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum juga mencakup tindakan yang melanggar adat.

Bisa dijerat pidana

Bahkan, terdapat kasus ingkar janji menikahi yang dijerat dengan hukum pidana. Hal ini termuat dalam Putusan MA No. 522 K/Sip/1994. Majelis MA menghukum si pria (sebut saja D) yang “kebablasan bertindak” setelah berjanji menikahi dan bertunangan dengan seorang perempuan (sebut saja R). Gara-gara janji menikahi nyaris terealisir, D dan R melakukan hubungan suami istri sampai sang perempuan hamil.

Kehamilan itu ternyata tidak diharapkan D, dan memaksa calon pasangannya menggugurkan kandungan. Upaya paksa ini dibarengi dengan pukulan dan tendangan. MA akhirnya menghukum si pria dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, dan penganiayaan mengakibatkan luka berat.

Dalam perkara lain, Majelis Hakim MA menggunakan konstruksi Pasal 378 KUHP (Penipuan) untuk menghukum seorang pria yang tidak menepati janji menikahi. Konstruksi pemikiran ini juga ditemukan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan tanggal 5 November 2015.

Dalam kasus ini, terdakwa berjanji menikahi pacarnya dan sudah membicarakan mahar. Terdakwa mendapatkan sejumlah barang dari keluarga saksi korban. Tapi kemudian terdakwa melarikan diri ke pulau Jawa untuk menghindari perkawinan dengan saksi korban. Padahal, keluarga saksi korban sudah memesan organ musik. Pada bagian alasan memberatkan majelis hakim menyatakan “akibat perbuatan terdakwa, saksi korban dan keluarganya merasa malu terhadap warga sekitar karena tidak jadi menikah padahal telah mempersiapkan segala sesuatunya”.

Meskipun sudah ada yurisprudensi, tak semua gugatan atas janji menikahi yang diingkari diterima oleh majelis hakim. Dalam salah satu putusan kasasi MA tertanggal 23 Februari 2013, Majelis MA menolak permohonan kasasi Penggugat asal. Dalam petitum gugatan di pengadilan tingkat pertama, Penggugat asal meminta majelis hakim menyatakan Tergugat telah ingkar janji untuk menikahi Penggugat. Namun argumentasi Penggugat ditepis Majelis. Majelis Hakim Agung beralasan Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya telah menyerahkan keperawanan kepada Tergugat asal setelah Tergugat asal berjanji akan menikahi Penggugat.

Dari paparan diatas sudah banyak kasus-kasus yang akhirnya menyebabkan jeratan hukum akibat janji menikahi, dalam kondisi merugikan salah satu pihak. Maka dari itu, bagi muda-mudi yang saat ini sedang menjalin hubungan (berpacaran) berhati-hatilah membuat janji menikahi yang dingkari disertai dengan unsur-unsur perbuatan yang merugikan salah satu pihak sebagai PMH melawan hukum, bahkan bisa dijerat pidana dengan pasal penipuan.  

Tags:

Berita Terkait