Hati-hati! Bikin Spoiler Film Bisa Langgar Hak Cipta
Terbaru

Hati-hati! Bikin Spoiler Film Bisa Langgar Hak Cipta

Buat karya, pahami hukumnya dan hargai orang yang membuatnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Film atau yang sering disebut sebagai movie, gambar hidup, film teater atau foto bergerak, adalah serangkaian gambar diam, yang ketika ditampilkan pada layar akan menciptakan ilusi gambar bergerak yang dikarenakan efek fenomena phi. Ilusi optik ini memaksa penonton untuk melihat gerakan berkelanjutan antar objek yang berbeda secara cepat dan berturut-turut.

Film sudah menjadi industri tersendiri yang mendapatkan tempat di hati masyarakat dunia. Hampir di seluruh dunia ratusan film diputar di bioskop-bioskop dan menjadi salah satu hiburan bagi masyarakat dunia.

Seiring dengan perkembangan zaman, muncul spoiler film. Spoiler atau bocoran atau beberan  merupakan tulisan atau keterangan mengenai suatu cerita, yang membeberkan jalan cerita tersebut. Bahkan di era digital, spoiler film cukup merajalela dan hadir dalam berbagai platform-platform digital seperti Youtube, Tiktok, dan lain sebagainya.

Baca Juga:

Namun tahukah kalian bahwa spoiler film dapat merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak cipta? Menurut Koordinator Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI (DJKI Kemkumham) Agus Damarsasongko mengatakan bahwa spoiler dapat melanggar hak cipta tergantung pada tujuannya. Jika konten yang dibuat bersifat komersil, maka konten kreator melanggar hak cipta.

Beberapa hal dalam spoiler yang dianggap melanggar hak cipta adalah jika pembuat konten mengambil konten orang lain, spoiler berisi cerita yang mengikuti alur dan memberikan kesimpulan, mengambil gambar di film, memotong sebagian gambar di dalam film, menyebarkan cuplikan film dan menggandakan konten tersebut di media sosial.

“Ketika film tadi dimasukkan ke dalam konten dan masuk di intenet ini dikatakan sebagai komunikasi ciptaan, ada transmisi suatu ciptaan yang disampaikan kepada publik yang dapat diakses. Defenisi ini kaitannya bisa diakses dari mana pun ketika konten itu diakses oleh orang ini kaitannya dengan hak distriibusi ciptaan,” kata Agung dalam sebuah diskusi, Senin (11/7).

Agung juga mengingatkan bahwa spoiler film dengan tujuan komersil tidak hanya merugikan produser film saja, namun juga  merugikan pihak-pihak yang ikut bekerja sama di dalam sebuah film seperti penata musik, penata tari, ciptaan lagu dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan platform-platform yang melakukan review terhadap suatu film? Sebenarnya ada beberapa platform digital yang menyajikan review dan rating terhadap suati film misalkan imdb, rotten tomatoes, dan lain sebagainya. Namun platform-platform tersebut sudah mengantongi izin dari pemilik film.

Sehingga Agung mengingatkan para konten kreator untuk berhati-hati saat menyebarkan spoiler film di media sosial. Jika ingin membuat konten spoiler film, ada baiknya untuk meminta izin kepada pemilik hak cipta, terutama untuk konten-kontenn yang menghasilkan keuntungan ekonomi, karena dapat merugikan si pemilik ciptaan.

Jika terjadi pelanggaran, maka ketentuan pidana atau hukuman atas pelanggaran hak cipta diatur dalam UUHC. Pasal 112 UUHC menyatakan bahwa pelanggaran hak cipta dengan menghilangkan, mengubah, atau merusak informasi manajemen hak cipta untuk penggunaan komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. Sementara Pasal 113 ayat (4) UUHC menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pembajakan hak cipta dipidana pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar.

Namun tak hanya sanksi pidana, Agung menjelaskan bahwa UU HC memberikan beberapa solusi kepada pihak yang melanggar HC. Misalnya sebelum dilakukan tuntutan pidana, maka  akan ada mediasi antar kedua belah pihak yang bersengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU HC. Dan juga gugatan perdata terkait ganti rugi.

“Sebelum pidana ada mediasi dulu, jadi mediasi bisa dilakukan para pihak yang melakukan pelanggaran. Kalau bentuk pelanggaran digital, pemilik atau pemegang HC bisa menutup hak akses untuk situs bersangkutan seihngga orang tidak bisa mengakses konten. Itu biasanya dilaporkan ke Dirjen KI dan DJKI akan memberikan rekomendasi ke Kominfo. Jadi ada komunikasi secara persuasive, sanksi pidana itu sanksi terakhir. Jadi buat karyanya, pahami hukumnya dan hargai orang yang membuatnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait