Hasil Penelitian KPPU Soal Jasa Rapid Test dan Advokasi Program Kartu Pra Kerja
Berita

Hasil Penelitian KPPU Soal Jasa Rapid Test dan Advokasi Program Kartu Pra Kerja

Perkara jasa rapid test bisa naik ke tahap penyelidikan jika menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Proses advokasi KPPU terkait program kartu pra kerja menghasilkan iktikad baik, Manajemen Pelaksana bersedia memperbaiki sistem pengelolaan kartu prakerja.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

Penyebaran wabah virus Corona atau Covid-19 di Indonesia ternyata menjadi ladang bisnis tersendiri bagi sektor kesehatan. Setelah penyebaran Covid-19 yang cukup massif, sektor kesehatan, terutama Rumah Sakit (RS) turut menyediakan jasa pengecekan cepat Covid-19 atau yang dikenal dengan rapid test Covid-19.

Namun dari isu yang berkembang menyebutkan bahwa pihak RS selaku penyedia jasa diduga melakukan pelanggaran hukum persaingan usaha. Di mana adanya dugaan perjanjian barang mengikat (tying-in) atas produk alat uji cepat, atau jasa rapid test yang dijual secara paket dengan uji layanan kesehatan lainnya. Hal tersebut membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penelitian.

Komisioner KPPU, Guntur Saragih menyebut bahwa pihaknya sudah menuntaskan penelitian dalam proses penegakan hukum atas dugaan perjanjian penjualan barang mengikat (tying-in) atas produk alat uji cepat atau rapid test untuk diagnosis Covid-19 di berbagai rumah sakit. (Baca: KPPU Selidiki Potensi Pelanggaran Pelaksanaan Rapid Test oleh Rumah Sakit)

Dalam penelitian atas dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2) UU Anti Monopoli, KPPU menyimpulkan bahwa sebagian besar rumah sakit yang menjadi objek penelitian tersebut telah melakukan perubahan perilaku dengan menyesuaikan bentuk pemasaran produk rapid test tersebut.

Pasal 15:

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Guntur menjelaskan bahwa penelitian perkara ini merupakan inisiatif KPPU yang dilakukan sejak 13 April lalu guna menindaklanjuti informasi dari masyarakat yang mengeluhkan penawaran jasa rapid test Covid-19 secara paket dan menyebabkan tingginya harga jasa tersebut.

Penelitian difokuskan pada upaya penemuan bukti-bukti yang menunjang dugaan pelanggaran dan dilaksanakan melalui survei lapangan dan pemanggilan berbagai pihak terkait.

Dalam penelitian, lanjut Guntur, KPPU telah melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari berbagai rumah sakit yang diduga melakukan praktik tying-in layanan untuk rapid test, keterangan ahli, serta melakukan survei lapangan di Jabodetabek dan kota dimana terdapat Kantor Perwakilan KPPU (yakni Medan, Lampung, Bandung, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar).

“Namun sampai saat ini, KPPU belum menemukan bukti yang cukup untuk dijadikan ke tahapan penyelidikan, khususnya pemenuhan unsur dampak persaingan usaha tidak sehat,” kata Guntur dalam pres rilis yang dikutip hukumonline, Selasa (16/6).

Saat ini, para pelaku usaha telah melakukan perubahan dalam hal menjual jasa Rapid Test. Dalam berbagai brosur jasa layanan yang dikeluarkan rumah sakit, penawaran rapid test yang terpisah dengan uji layanan kesehatan lainnya telah mulai dilakukan. Sehingga masyarakat dapat membeli layanan rapid test tanpa harus membeli bentuk paket dengan beberapa layanan jasa kesehatan lainnya saat melakukan diagnosis Covid-19.

Meskipun demikian, Guntur menegaskan jika perilaku seperti ini dapat masuk kategori penyelidikan, jika dalam praktiknya menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. KPPU akan tetap memantau informasi yang berkembang di masyarakat terkait pemasaran produk dan layanan kesehatan di masa pandemi.

Untuk itu, KPPU meminta agar publik segera melapor ketika menemukan adanya upaya tying-in atau bentuk-bentuk pelanggaran lain oleh penyedia layanan kesehatan. Sanksi akan dikenakan KPPU kepada mereka yang mencoba melanggar hukum persaingan, khususnya di masa Pandemi Covid-19 dan dalam waktu setelahnya.

Kartu Pra Kerja

Selain itu, KPPU telah melakukan proses advokasi kepada pemerintah dan penyelenggara Program Kartu Prakerja dan sejauh ini tidak menemukan indikasi pelanggaran hukum persaingan usaha dalam pelaksanaan program tersebut.

“Kesimpulan ini dibuat berdasarkan analisis mendalam dan diskusi dengan pihak-pihak terkait program tersebut, sebagai tindak lanjut dari saran dan rekomendasi KPPU yang telah disampaikan,” kata anggota KPPU Kodrat Wibowo.

Sebelumnya, KPPU menggarisbawahi pentingnya beberapa pengaturan agar tercipta persaingan usaha sehat dalam penyelenggaraan program prakerja tersebut, di antaranya: (i) pengaturan kriteria seleksi para penyelenggara pelatihan, (ii) hubungan kerja sama antara platform digital dan lembaga pendidikan, (iii) antisipasi pelanggaran prinsip kemitraan, (iv) fleksibilitas pilihan bagi konsumen/peserta, dan (v) antisipasi pengaturan yang lebih baik bila program pelatihan offline juga diadakan.

Menurut Kodrat, dalam proses advokasi KPPU telah meminta keterangan/informasi, memberikan masukan serta melakukan diskusi dengan para pihak terkait, khususnya Manajemen Pelaksana Program Prakerja, 8 (delapan) platform digital, lembaga-lembaga pelatihan, dan peserta program. (Baca: KPPU Telusuri Dugaan Pelanggaran dalam Pelibatan Mitra Kartu Prakerja)

Kodrt mengatakan, proses advokasi yang dilakukan KPPU menghasilkan iktikad baik Manajemen Pelaksana untuk memperbaiki sistem pengelolaan kartu prakerja, khususnya dalam hal penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, seperti mereview kontrak kerjasama untuk memastikan tidak terjadinya diskriminasi oleh platform digital kepada lembaga pelatihan lain, review dan persetujuan atas besaran komisi jasa, maupun review tentang pengaturan standar kualitas minimal untuk pelatihan yang layak ditawarkan dalam program tersebut.

Untuk selanjutnya, ucap Kodrat, pihak Manajemen Pelaksana sendiri menyatakan terbuka untuk meninjau ulang kebijakan yang dibuatnya, jika KPPU menemukan adanya dugaan pelanggaran persaingan usaha, khususnya perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh platform digital kepada lembaga pelatihan lain atau lembaga pelatihan yang tidak terafiliasi dengan platform digital.

“KPPU mengapresiasi upaya kooperatif yang ditunjukkan Manajemen Pelaksana dengan tetap bekerja sama dalam mengawasi proses persaingan usaha dalam pelaksanaan program tersebut. Khususnya dalam memberikan rekomendasi lanjutan ketika terdapat kebijakan-kebijakan tambahan nantinya yang dapat mendistorsi pasar, sehingga program tersebut dapat dilaksanakan berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait