Harga Tiket Pesawat Saat Ini Diyakini Hasil Predatory Pricing Masa Lalu
Utama

Harga Tiket Pesawat Saat Ini Diyakini Hasil Predatory Pricing Masa Lalu

Era murahnya harga tiket pesawat LCC masa lalu sebagai harga yang predatory, sedangkan tingginya harga tiket pesawat saat ini disebutnya merupakan harga normal.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Seminar bertajuk “Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi”, yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat, Jumat (9/8). Foto: RES
Seminar bertajuk “Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi”, yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat, Jumat (9/8). Foto: RES

Melonjaknya harga tiket pesawat tepat mendekati lebaran Idul Fitri lalu membuat publik ‘terngaga’. Bahkan untuk beberapa bagasi maskapai golongan low cost carrier (LCC) yang sebelumnya tak berbayar berubah menjadi berbayar.

 

Alhasil, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berupaya memperbaiki harga dengan menetapkan tarif batas atas (TBA) maupun tarif batas bawah (TBB) melalui Kepmenhub No. 106 Tahun 2019 tentang TBA Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri, kendati dalam aspek persaingan usaha mekanisme harga harusnya diserahkan pada mekanisme pasar.

 

Pada tahapan berikutnya, skema lain digunakan pemerintah sebagai upaya menurunkan harga tiket, yakni melalui pemberian diskon harga khusus untuk penerbangan domestik dengan jadwal tertentu (low season) sebesar 50% dari TBA. Sayangnya, harga tiket tak kunjung pulih.

 

“Diharapkan kita bisa cari solusi, setiap minggu selalu kita rapatkan, kita cari apa yang bisa kita benahi,” ungkap Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam seminar bertajuk Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat, Jumat (9/8).

 

Dalam konteks pelayanan, Ia menyebut Kemenhub berdasarkan UU Penerbangan mempunyai fungsi regulasi untuk mengatur beberapa hal demi melindungi kepentingan masyarakat. Untuk itu penetapan TBA dan TBB adalah solusi Kemenhub dalam menjalankan fungsi regulasi, walaupun hasilnya tak maksimal setidaknya ada perubahan. Ia berharap melalui TBA dan TBB itu akan ada ekuilibrium baru tarif penerbangan yang berimbang bagi maskapai maupun penumpang.

 

Sebaliknya, penasehat Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lin Che Wei, justru mengkategorikan era murahnya harga tiket pesawat LCC masa lalu sebagai harga yang predatory, sedangkan tingginya harga tiket pesawat saat ini disebutnya merupakan harga normal.

 

Terbukti, sebelum era predatory itu hanya 16 juta dari 200 jutaan rakyat Indonesia yang naik pesawat. Ketika semua maskapai berkompetisi menjatuhkan harga akhirnya angka penumpang pesawat Indonesia melonjak hingga 80 persen.

 

Padahal harga murah yang ketika itu berlaku, katanya, tak bisa dipertemukan antara variable cost dengan fixed cost-nya. Berkat harga yang begitu murah, akhirnya banyak perusahaan penerbangan merugi. Garuda Indonesia misalnya, yang sudah tiga tahun merugi akibat persaingan harga yang begitu predatory.

 

“Cuma waktu itu KPPU enggak pernah ribut. Semua konsumen menikmati harga murah sekali, sementara maskapai banyak yang merugi,” ujarnya, dalam Seminar bertajuk Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakn Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat yang didukung Hukumonline, Jumat (9/8).

 

Hukumonline.com

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat memukul gong dalam rangka pembukaan Seminar Nasional dengan tema "Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi", di Jakarta (9/8).

 

Kendati akibat kenaikan harga tiket mengakibatkan menurunkan angka penumpang pesawat, Ia menyebut belum tentu maskapai merugi, malah lebih profitable. Dari situ bisa dilihat bahwa harga tiket pesawat saat ini justru adalah harga normal, sementara harga lama yang sangat murah adalah harga predatory.

 

“Yang harus kita lakukan mencegah jangan sampai terjadi excessive competition yang bisa membunuh airlines. Justru harga tiket airlines yang begitu rendah mendistorsi modal transportasi lain seperti angkutan darat,” jelasnya.

 

(Baca: KPPU Akan Sidangkan 7 Maskapai Terkait Kartel Harga Tiket)

 

Sepakat dengan Lin, pengamat Dunia Penerbangan, Chappy Hakim juga menyebut transportasi penerbangan memang sepatutnya mahal jika dibandingkan transportasi lainnya. Betapa tidak? Konsumen membeli tiket dengan kurs rupiah, sementara transaksi untuk operating cost pesawat banyak sekali yang menggunakan dolar. Melihat kondisi dolar yang ketika itu terus menguat atas rupiah, wajar saja jika harga tiket pesawat naik.

 

Ditambah lagi, secara strategi pemasaran memang untuk peak season karena begitu tingginya permintaan maka harga juga meningkat. Gabungan kurs dolar yang naik ditambah kondisi peak season momen lebaran itu jelas membuat harga tiket seolah melambung tinggi. Ia juga menyayangkan, justru ketika dulu banyak maskapai banting harga semua pihak seolah membiarkan saja, padahal maskapai banyak merugi.

 

“Operational cost menggunakan dolar USD, sementara pendapatan dari pembelian masyarakat dalam rupiah. Jaraknya jauh sekali, jelas saja industri merugi,” ujarnya.

 

Justru, Ia membongkar kembali banyaknya terjadi kecelakaan pesawat terbang ketika era murahnya tiket pesawat sepanjang 2007 hingga 2017. Disamping itu banyak maskapai penerbangan yang bangkrut dan merugi bahkan Republik Indonesia kala itu masuk kategori 2 Federal Aviation Administration (FAA) audit standar keselamatan dan keamanan.

 

Tak berhenti di situ, pada akhir 2015 terjadi delay pesawat yang disebutnya ‘menggila’ di Cengkareng, yakni antara 10 sampai 12 jam delay. Hal itu dikarenakan adanya over kapasitas penerbangan yang akhirnya berujung pada optimalisasi bandara Halim Perdana Kusuma.

 

“Wajar mahal, karena operating cost-nya tinggi. Dulu sebelum era tiket murah pesawat itu malah glamour & luxuries,” ingatnya.

 

Hal itu dibenarkan oleh Pilot sebuah Maskapai Penerbangan, Vincent Raditya. Menurutnya, mahalnya biaya operasional pesawat tak bisa ditampik sangat tinggi sekali. Bahkan untuk menjamin standar keamanan dan keselamatan penumpang, para pilot diwajibkan untuk mengikuti training setiap 6 bulan sekali dan itu biayanya sangat mahal. Training itu biasanya dilakukan di luar negeri atau melalui simulator yang harganya sangat fantastis.

 

Selain itu katanya, biaya leasing (sewa) pesawat sangatlah tinggi dan memang kenyataannya seperti itu. Namun Ia berharap agar gap kehendak harga tiket pesawat antar konsumen dan dunia penerbangan dapat segera teratasi.

 

“Maskapai sekarang saya perhatikan ingin fokus pada kualitas ketimbang kuantitas. Ke depan, saya percaya ada jalan tengah,” imbuhnya.

 

Tags:

Berita Terkait