Harga Jual Gas Domestik Dinilai Terlalu Mahal
Berita

Harga Jual Gas Domestik Dinilai Terlalu Mahal

Masyarakat harus menanggung beban yang lebih berat dibanding perusahaan internasional yang membeli gas dari lapangan migas di Indonesia.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Harga Jual Gas Domestik Dinilai Terlalu Mahal
Hukumonline

Masyarakat selama ini telah diperlakukan tidak adil dalam pembelian gas. Soalnya, Pemerintah menjual gas sesuai dengan harga pasar, sedangkan kepada pembeli asing dikenakan harga kesepakatan dan umumnya flat untuk jangka panjang. Karena itu, ada ketidakadilan perlakuan antara pembeli dalam negeri dengan pembeli asing.

 

Penilaian itu datang dari pengamat perminyakan, Kurtubi, dalam sebuah diskusi di gedung DPD, Jakarta pekan lalu. Kurtubi mengatakan, masyarakat harus menanggung beban yang lebih berat dibanding perusahaan internasional yang membeli gas dari lapangan migas di Indonesia. Hal itu terlihat dari fasilitas pembelian gas dari Lapangan Gas Tangguh yang berlaku flat untuk jangka panjang kendati harga gas di pasar internasional sedang tinggi.

 

Menurut dia, saat ini masyarakat membeli gas dengan harga lima kali lebih mahal. “Renegosiasi penjualan gas untuk Lapangan Gas Tangguh, Papua, yang ditetapkan sebesar AS$3,35 per mmbtu, sedangkan masyarakat yang selama ini menggunakan gas harus membeli dengan harga AS$15 per mmbtu atau disesuaikan dengan harga gas dunia,” ujar Kurtubi.


Kurtubi menganggap selama ini
Pemerintah telah merendahkan harga dirinya. Hal itu terlihat dari negosiasi harga antara perusahaan pembeli gas dari lapangan gas di Tanah Air yang seharusnya dilakukan secara bussines to bussines (B to B), bukan melalui mekanisme business to government (B to G).

 

Ia memprediksikan, negara akan menderita kerugian hingga Rp500 triliun dengan dioperasikannya blok Tangguh di Papua yang menggandeng perusahaan minyak asing, British Petroleum. Padahal, jika Pertamina bisa mengoperasikan ladang gas tersebut, kerugian sebesar itu diperkirakan tidak akan terjadi. “Harga gas dijual senilai AS$3,35 per mmbtu, sedangkan Pertamina bisa menjual gas dari Blok Badak hingga AS$6 per mmbtu,” terang Kurtubi.

 

Terkait kenaikan harga jual gas, Kurtubi menyarankan sebaiknya PT Pertamina (Persero) tidak mengacu harga Elpiji pada CP Aramco. Sebab CP Aramco merupakan harga untuk gas Elpiji impor. Sementara mayoritas gas Elpiji yang dijual Pertamina adalah produksi dalam negeri.

 

Lebih jauh, Kurtubi memaparkan, Pertamina sebenarnya tidak memiliki kewenangan menaikkan harga. Pasalnya, kekuasaan itu sebenarnya ada di tangan pemerintah sebagai regulator. Ia menghimbau Pertamina menghindari kerugian tanpa membebani rakyat dengan menggunakan gas Tangguh Papua untuk kebutuhan domestik.

 

Sebelumnya, Kepala Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas menjelaskan, sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan, ICW menentang cara penghitungan harga Elpiji karena tidak masuk akal. Bila Elpiji lebih banyak dari produksi dalam negeri, harganya seharusnya di bawah patokan CP Aramco.

 

Penentuan harga gas Elpiji, kata Firdaus, harus berpedoman pada semangat public service obligation. Bila patokan CP Aramco terus dijadikan patokan, ia menyarankan agar penjualan gas Elpiji menganut pasar terbuka, sehingga perusahaan lain di luar Pertamina bisa memasarkan gas Elpiji ke masyarakat sehingga harga bersaing.

Tags: