“Haram” Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK
Berita

“Haram” Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK

Ini tindakan inkonstitusional, memunculkan ketidakpastian hukum dan menggerogoti kewibawaan MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
“Haram” Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi (MK) jengah dengan pendapat putusan MK tidak harus dipatuhi terus-menerus karena tidak bersifat abadi.

“Norma yang sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi itu tidak bisa dihidupkan lagi. Norma itu ‘haram’ untuk dihidupkan kembali, kecuali kontitusinya mengalami perubahan,” tegas Ketua MK Akil Mochtar di ruang kerjanya, Jum’at (12/4).

Setiap putusan MK yang telah menyatakan suatu norma dalam undang-undang  bertentangan dengan UUD 1945 harus dianggap tetap berlaku. Sekaligus mengikat seluruh warga negara sepanjang UUD 1945 pun tak mengalami perubahan. Kekuatan hukumnya sama seperti undang-undang.

“Sebenarnya putusan MK bukan membatalkan suatu norma, tetapi menyatakan bertentangan dengan UUD 1945.  Tidak punya kekuatan hukum mengikat yang sifatnya ergo omnes (mengikat semua warga negara),” ujarnya mengikat    

Menurutnya, hanya ada ketidakpastian hukum apabila memunculkan kembali pasal-pasal dalam undang-undang yang sudah dibatalkan MK dalam dalam undang-undang baru. Bahkan, hal ini bertentangan dengan konsep jaminan negara hukum yang demokratis.

Akil menuturkan dalam sistem demokrasi yang dibangun saat ini, sudah mulai muncul gejala atau upaya pembangkangan terhadap putusan-putusan MK. Tindakan serupa itu akan menggerogoti kewibawaan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi.

“Dengan cara-cara seperti ini, nantinya ada norma yang sudah dibatalkan MK, dimunculkan kembali, lalu diuji lagi, dan seterusnya. Lalu, dimana kepastian hukumnya,” tanya Ketua MK.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono berpendapat putusan MK tidak harus dipatuhi terus menerus. Alasannya, masyarakat dan konstitusi pasti akan mengalami perkembangan.

Ignatius berpendapat, sah-sah saja jika ketentuan yang pernah dibatalkan MK masuk kembali ke dalam RUU. Namun, bukan berarti pembentuk undang-undang tidak mematuhi putusan MK. Putusan MK akan tetap menjadi bahan diskusi dalam proses pembahasan RUU.

Untuk diketahui, sejumlah materi dalam pembahasan RKUHP khususnya pasal penghinaan presiden tengah ramai diperbincangkan. Tak terkecuali, RUU MA yang memuat ketentuan pidana bagi hakim agung. Sebagian kalangan masih mempersoalkan kenapa ketentuan ini muncul lagi dalam kedua RUU itu.

Padahal, MK  melalui putusannya pernah membatalkan pasal-pasal yang memuat materi norma yang sama. Misalnya, pada 2007 MK telah membatalkan tiga pasal KUHP terkait delik penghinaan presiden yakni Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang dimohonkan Eggi Sudjana.

Akhir Maret lalu, MK juga telah membatalkan tiga pasal yang memuat ancaman pidana bagi hakim dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) karena dianggap melanggar konstitusi. Namun, kedua norma itu masih bercokol di Pasal 265 RKUHP dan Pasal 97 dan Pasal 98 RUU MA.        

Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin berpendapat setiap materi muatan pasal, ayat dalam suatu undang-undang yang sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh MK tidak bisa dihidupkan kembali. “Kalau pasal atau ayat dalam undang-undang yang sudah menjadi ‘mayat’ dihidupkan lagi akan inkonstitusional,” kata Irman saat dihubungi hukumonline, Sabtu (13/4).

Dia memandang setiap putusan MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. Meski begitu, menurutnya jika ingin membangun sistem etika berbangsa dan bernegara dan menghindari penghinaan terhadap lembaga (presiden), norma itu bisa dihidupkan kembali. Namun, tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP yang berimplikasi sanksi pidana dan mengekang kebebasan hak warga negara.         

“Prinsipnya, jangankan presiden, lurah pun tidak boleh dihina, tapi tak perlu ada dalam RUU KUHP. Ini jauh lebih mudah penyelesaiannya jika hanya dimasukkan dalam sistem etika berbangsa dan bernegara,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait