Belum juga sebulan terbit, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 –-tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Telekomunikasi–- sudah mendapat tentangan. Siapa lagi kalau bukan investor asing. Mereka merasa dirugikan dengan adanya beleid yang diterbitkan pada 17 Maret itu.
Pasalnya, ada sejumlah pasal yang dianggap bakal merusak iklim investasi di Tanah Air. Pasal itu antara lain Pasal 5 dan Pasal 20. Pasal 5 berintikan bahwa penanam modal asing dilarang untuk memiliki, membangun dan mengelola menara telekomunikasi. Sementara Pasal 20 menegaskan bahwa setiap penyelenggara telekomunikasi yang telah memperoleh izin harus menyesuaikan dengan peraturan tersebut.
Pasal 5
|
Pasal 20
|
Peraturan Menteri Kominfo No. 2/3/2008
Tentu saja beleid itu ditentang habis-habisan. Apalagi, sudah bukan rahasia umum, bahwa bisnis telekomunikasi di negeri ini dikuasai oleh asing. Mulai dari operator sampai dengan infrastruktur, seperti pembangunan menara telekomunikasi atau biasa disebut base transceiver station (BTS). Sejumlah pemain besar di bidang komunikasi dan industri infrastruktur telekomunikasi adalah Exelcomindo (XL), Hutchinson, NTS, Bakrie, Sampoerna, Mobile-8, Nokia, Siemens, Telkom Flexi, Ericsson, Huawei, ZTE dan Alcatel. Nama-nama itu tak lepas dari saham investor asing. Sehingga, jika itu tetap diberlakukan, tentu saja sejumlah nama tadi bakal terkena imbasnya.
Bisnis menara BTS memang sangat menggiurkan. Lihat saja data Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel). Tahun lalu, kebutuhan akan menara BTS di Indonesia ditaksir mencapai 43 ribu titik. Sementara kapasitas yang bisa dibangun hanya 7 ribu. Jadi, pantas saja kalau asing juga mau berbecek-becek masuk ke industri ini.
Koordinator Komunitas Pemantau Telekomunikasi Indonesia (KPTI), Broto Sudewo mengatakan, peraturan Menteri Kominfo itu membingungkan kalangan investor. Soalnya, peraturan itu akan berpengaruh terhadap proyek-proyek infrastruktur lainnya. Akibat ketidakpastian hukum itu, investor asing enggan melakukan investasi di berbagai bidang, katanya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri sebenarnya tidak mendukung sepenuhnya peraturan itu. Wakil Kepala BKPM Yus'an mengatakan, Indonesia masih sangat membutuhkan pembangunan menara BTS melalui peran swasta dan asing. Apalagi, di negeri ini masih banyak daerah yang belum terjangkau sinyal alias blank spot. Pelarangan itu, kata Yus'an, tidak jelas tujuannya. Ia berharap, peraturan itu tidak untuk menggolkan bisnis pihak-pihak tertentu. Sayangnya, Yus'an menolak menjelaskan pihak tertentu yang dimaksudkannya.
Namun, sumber hukumonline yang tak mau disebutkan namanya membisikan, terbitnya beleid ini salah satunya dipicu adanya tender pembangunan 4.000 BTS oleh XL. Diduga, ada oknum di Ditjen Postel yang ikut bermain dalam tender tersebut. Bahkan, isu miring itu berhembus cukup kencang, mengarah ke salah satu kelompok usaha dimana pemiliknya adalah salah satu pejabat penting negeri ini, yang ingin memenangkan tender itu. Konyolnya, untuk pendanaan, kelompok bisnis itu memperoleh dari investor asing di bidang telekomunikasi, yang cukup terkenal.
Tidak termasuk DNI
Bukan itu saja, aturan itu juga membuat Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu geleng-geleng kepala. Sebab, industri penyedia menara BTS tidak termasuk sektor yang tertutup bagi asing. Di dalam Peraturan Presiden No. 111/2008 tentang Daftar Negatif Investasi (Perpres DNI), bidang kominfo yang dilarang adalah bisnis manajemen dan penyelenggaraan stasiun monitoring spektrum radio dan frekuensi satelit, dan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) radio dan televisi.
Sementara di bidang perhubungan yang terkait dengan telekomunikasi, bisnis yang tertutup untuk asing hanya telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran, Vessel Trafic Information System (VTIS) dan pemanduan lalu lintas udara. Kasus ini semakin menunjukan adanya miskoordinasi antar pemerintah. Mengapa peraturan Menkominfo bisa bertentangan dengan (hukum yang lebih tinggi, red) Perpres DNI? tanya Broto.
Berbagai tudingan miring itu dibantah oleh Basuki. Menurutnya, peraturan itu sudah dikaji matang dan disosialisasikan ke publik. Pihaknya juga melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda). Alhasil, kata dia, peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan lain, mulai dari Undang-Undang No 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan sebagainya. Ditjen Postel sudah mempertimbangkan penyusunan peraturan ini dari berbagai aspek. Itulah sebabnya muncul Pasal 20 yang memberi toleransi cukup kuat, tutur Basuki belum lama ini.
Mengenai sikap keragu-raguan sebagian pihak tendapat pendanaan pembangunan menara telekomunikasi oleh pelaku usaha dalam negeri, Basuki menjelaskan, bahwa kegelisahan itu tidak perlu didramatisir. Sebab, sumber keuangan dapat diupayakan secara profesional mengingat potensi pasar telekomunikasi di Indonesia masih luar biasa besar.
Ia mencontohkan, ketika ada pihak yang mempertanyakan kesiapan industri telekomunikasi domestik yang mem-back up penyediaan kandungan lokal pada layanan 3G, ternyata dalam prosesnya tidak terlalu signifikan kendalanya.
Basuki meyakinkan, bahwa peraturan tersebut masih memberi peluang bagi vendor asing dalam penyedian perangkat telekomunikasi. Karena, lanjutnya, yang tertutup dari pihak asing hanya sebagai penyedia, pengelola, pemilik dan atau kontraktor menara BTS tersebut.