Hanya 30 persen Perusahaan Media yang Sehat Bisnis
Berita

Hanya 30 persen Perusahaan Media yang Sehat Bisnis

Dewan Pers menerbitkan aturan tentang standar perusahaan pers, Desember silam. Tanpa didukung matangnya kualitas para jurnalisnya, standar ini takkan banyak berarti. Celakanya, data menunjukkan sebagian besar media belum sehat bisnis.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Modal Dasar tak Cukup

Modal dasar yang tertera dalam standar tersebut sekurang-kurangnya Rp50 juta. Angka itu menurut ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU 40/2007, red). Itu patokan yang paling ringan, komentar Ridlo 'Eisy, Ketua Harian SPS.

 

Menurut Ridlo, modal sebesar itu tergolong amat cekak. Ridlo mengungkapkan, untuk mendirikan media mingguan semacam tabloid saja sekurangnya perlu modal Rp400-500 juta. Itu pun skala lokal. Kalau mau menyasar tingkat nasional, bisa lebih banyak lagi, timpal Ridlo. Ridlo menambahkan, media besar semacam Kompas tentu butuh modal triliunan rupiah. Harian lokal, sambung Ridlo mencontohkan, setidaknya perlu dana semiliar rupiah.

 

Ridlo juga menyambut baik ketentuan soal upah karyawan yang setidaknya sesuai dengan upah minimum regional. Plus, upah dibayarkan minimal 13 kali dalam setahun. Supaya tidak ada eksploitasi terhadap wartawan, ujarnya.

 

Pun demikian, Ridlo tak dapat menutup mata. Masih ada saja perusahaan media yang telat menggaji karyawannya. Gaji sebulan-dua bulan saja tidak dibayar, tukasnya getir. Alasannya, apa lagi kalau bukan kekuatan modal.

 

Ridlo menyampaikan, saat ini ada 420-an penerbit yang menjadi anggota SPS. Sedangkan Leo mengutarakan, saat ini ada sekitar 850 perusahaan media cetak. Celakanya, hanya 30 persen yang sehat bisnis. Leo juga mencatat terdapat lebih dari 2.000 stasiun radio dan 120-an stasiun teve. Itupun, hanya 10 persen media siar yang sehat bisnis. ATVSI, menurut penuturan Leo, mengungkapkan baru tiga stasiun teve yang sudah mereguk untung alias melampaui balik modalnya.

 

Ridlo maupun Leo menambahkan, sehat-sakitnya perusahaan media tergantung pada tiga hal besar. Pertama, besaran modal. Kedua, kekuatan pemasaran. Bisa kita lihat keberlanjutan media itu memperoleh iklan, tukas Leo. Dan ketiga, semua terpulang pada kompetensi atawa mutu wartawannya.

 

Sertifikasi wartawan

Sayangnya, di Indonesia belum ada school of journalism. Kita sedang merancang kurikulumnya, dengan mengacu negara Norwegia, sambung Leo. Menurut Leo, Indonesia justru tertinggal dari India yang sudah duluan punya sekolah jurnalisme. Pandangan Leo ini dibenarkan oleh anggota Dewan Pers lainnya, Abdullah Alamudi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: