Hampir Dua Tahun, Masih Ada Kendala BPJS
Berita

Hampir Dua Tahun, Masih Ada Kendala BPJS

Iuran yang terkumpul masih jadi kendala. Padahal berguna untuk membiayai manfaat kepada peserta.

ADY
Bacaan 2 Menit
BPJS Kesehatan. Foto: RZK
BPJS Kesehatan. Foto: RZK
BPJS mulai bertransformasi sejak 1 Januari 2014. Walau sudah berjalan hampir dua tahun BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih menghadapi kendala dalam melaksanakan program jaminan sosial.

Penilaian itu setidaknya datang dari Timboel Siregar. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) ini melihat sepanjang 2014 BPJS Kesehatan masih menghadapi kendala iuran. Iuran yang terkumpul lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan untuk manfaat peserta. Sehingga rasio klaim BPJS Kesehatan lebih dari seratus persen, idealnya rasio klaim itu 90 persen. Kondisi itu masih berpotensi besar terjadi sampai sekarang.

Timboel menilai persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan itu terjadi karena jajaran direksi tidak menerbitkan kebijakan yang mampu mendorong kedisiplinan peserta untuk membayar iuran. Ia mengingatkan Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan memberi kewenangan kepada direksi untuk membentuk sistem penarikan iuran. Namun, sistem itu tidak dibangun secara baik sehingga tingkat kedisplinan peserta membayar iuran tergolong rendah.

Timboel menilai rutinitas peserta membayar iuran sebagai bentuk pelaksanaan prinsip gotong royong sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS. Jika kedisiplinan membayar iuran itu bisa tercapai maka dana yang terkumpul di BPJS Kesehatan besar sehingga tidak perlu khawatir lagi membayar klaim dan kapitasi dalam rangka memberikan manfaat kepada peserta.

Timboel menyayangkan MoU antara Apindo dan BPJS Kesehatan yang berakibat pada penundaan kepesertaan peserta penerima upah (PPU). Akibatnya, banyak perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sesuai batas waktu yang ditentukan regulasi. Padahal, peningkatan peserta kategori PPU itu penting untuk mendukung kemampuan keuangan BPJS Kesehatan.

Misalnya, melansir data BPS Timboel menyebut jumlah pekerja sektor formal sekitar 40 juta orang. Jika BPJS Kesehatan mampu mendorong 25 juta orang pekerja formal jadi peserta maka iuran yang terkumpul mencapai Rp36 triliun. Dengan dana tersebut ia yakin BPJS Kesehatan tidak akan mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai manfaat yang diterima peserta. “Direksi BPJS Kesehatan yang ada sekarang ini gagal meningkatkan penerimaan iuran,” katanya dalam seminar internasional yang diselenggarakan TURC di Jakarta, Kamis (19/11).

Pengaturan sanksi yang diamanatkan PP No. 86 Tahun 2013 tidak dijalankan dengan serius sehingga pengenaan sanksi tidak berjalan maksimal. Akibatnya, BPJS Kesehatan kehilangan potensi iuran yang bisa masuk. Begitu pula dengan persoalan klaim di RS yang terindikasi ada kesalahan, kecurangan (fraud) dan korupsi banyak yang tidak ditindak tegas. Hal itu menyebabkan rasio klaim BPJS Kesehatan di atas seratus  persen. “Defisit itu tidak akan terjadi jika direksi BPJS Kesehatan mampu mengelola iuran dan klaim dengan baik,” tegasnya.

BPJS Ketenagakerjaan juga tak lepas dari kendala. Timboel mengatakan direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak mengantisipasi dengan baik terbitnya Permenaker No.60 Tahun 2015. Dampaknya, buruh yang ingin mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) harus menunggu enam bulan sampai satu tahun. Jika diantisipasi dengan baik, maka persoalan itu tidak terjadi dan buruh bisa mencairkan dana JHT nya dengan cepat.

Ketua DPN Apindo bidang Jaminan Sosial, Timoer Soetanto, mengatakan defisit yang dialami BPJS Kesehatan mestinya bisa dicegah jika biaya dan manfaat dihitung secara benar. Jika itu tidak bisa dilakukan dengan benar maka terjadi defisit struktural. Kemudian, pembayaran klaim itu harus meminimalisasi celah terjadinya fraud. Ia mengusulkan agar hal itu dilakukan dengan membangun sistem teknologi informasi.

Timoer berpendapat tugas utama direksi BPJS Kesehatan kedepan diantaranya merapikan rekam medis setiap peserta dalam sebuah sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem teknologi informasi. Misalnya, dalam kartu kepesertaan BPJS Kesehatan dimuat chip yang berisi diantaranya rekam medis peserta yang bersangkutan. Dengan begitu diharapkan ketika RS mengajukan klaim dapat dicek secara sistem. “Itu bisa dilakukan dengan bantuan teknologi informasi,” urainya.

Untuk BPJS Ketenagakerjaan Timoer melihat kendala dalam program Jaminan Pensiun (JP). Itu menyangkut ketersediaan dana untuk membayar manfaat JP. Sebab nantinya manfaat itu akan dibayar lewat iuran peserta aktif. Oleh karenanya besaran iuran JP yang saat ini 3 persen  perlu dikaji ulang secara periodik. Selain itu investasi yang bergulir harus mampu menjamin pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga menjamin generasi mendatang yang jadi peserta JP bisa rutin membayar iuran karena punya kemampuan ekonomi yang cukup.
Tags:

Berita Terkait