Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Naikan Tarif Tol
Berita

Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Naikan Tarif Tol

Harus mempertimbangkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Selain itu, kenaikan tarif tol mesti diimbangi kualitas pelayanan jalan tol.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Jalan Tol. Foto: Sgp
Ilustrasi Jalan Tol. Foto: Sgp

Rencana pemerintah mengintegrasikan tarif jalan tol untuk ruas jalan lingkar luar Jakarta atau Outer Ring Road (JORR) yang berimbas pada kenaikan tarif tol dikritisi sejumlah kalangan masyarakat termasuk parlemen. Meski rencana kebijakan tersebut ditunda, namun kalangan DPR meminta pemerintah agar tidak tergesa-gesa menaikan tarif tol JORR sebelum dilakukan kajian mendalam sesuai amanat UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.      

 

“Pemerintah mestinya tidak tergesa-gesa menaikan tarif tol JORR. Kajian mendalam terhadap rencana tersebut mestinya dilakukan (sesuai UU Jalan, red),” ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo melalui pernyataan tertulisnya yang diterima Hukumonline, Jum’at (22/6).  

 

Dia mengutip Pasal 48 ayat (1) UU Jalan yang mengharuskan tarif tol dihitung berdasar kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi. Karena itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terlebih dahulu memberikan penjelasan kepada publik sebelum menaikan tarif tol. “Hal yang harus dikaji betul berdasarkan kemampuan bayar masyarakat dan jarak tempuh di tol JORR,” sarannya.

 

“Kaji ulang ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan efek lain, seperti kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di masyarakat!” Baca Juga: Tarif 5 Ruas Tol Bakal Naik, YLKI Kritik UU Jalan

 

Belum lama ini, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mengumumkan akan memberlakukan integrasi tarif tol JORR mulai 20 Juni 2018. Kebijakan ini berimbas pada penyeragaman tarif tol JORR dari semula Rp9.500 menjadi Rp15.000. Sontak, kebijakan ini mendapat kritikan dari sebagian masyarakat terutama di media sosial.   

 

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan rencana kebijakan tersebut dipandang tidak logis karena kenaikan tarif jalan tol JORR terbilang tinggi. Menurutnya, kalkulasi kenaikan tariff tol ini tidak melalui pertimbangan yang matang. Dia mengakui evaluasi  dan penyesuaian  tarif tol dilakukan setiap 2 tahun sekali. Penyesuaian tarif terakhir terjadi pada tahun 2015. 

 

“Kenaikan tarif ini berpotensi menyalahi regulasi, khususnya Pasal 48 UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan,” ujar Fadli. 

 

Pasal 48

(1) Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.

(2) Tarif tol yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol ditetapkan pemberlakuannya bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol.

(3) Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi.

(4) Pemberlakuan tarif tol awal dan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh Menteri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif awal tol dan penyesuaian tarif tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.

 

Menurutnya, Pasal 48 ayat (1) UU Jalan mesti menjadi pertimbangan sebelum pemerintah menaikan tarif jalan tol yakni kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi. “Pertanyaannya, apakah rencana kenaikan tarif tol JORR ini telah dihitung berdasarkan tiga komponen tersebut?” ujarnya.

 

Tak hanya itu, pendapatan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) cukup tinggi. Misalnya sepanjang 2017, PT Jasa Marga Tbk mencatat pendapatan sebesar Rp35,09 triliun atau meningkat 110,62 persen dibanding pendapatan tahun 2016 sebesar Rp16,66 triliun. Selain itu, penyesuaian tarif tol ini tidak diiringi penyesuaian Standar Pelayanan Minimal (SPM).

 

Dia merujuk Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 16 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan minimal Jalan Tol yang mesti memperhatikan delapan hal. Yakni, kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan, kebersihan lingkungan, serta kelayakan tempat istirahat dan pelayanan.

 

Berdasarkan pemeriksaan BPK, kata Fadli, masih banyak ditemukan pemenuhan SPM jalan tol tak memadai. Antara lain, belum adanya SOP pemeriksaan pemenuhan SPM yang lengkap, tidak adanya penetapan standar penggunaan kecepatan tempuh rata-rata, dan beberapa ruas tol ditemukan tak memenuhi indikator jumlah antrian kendaraan dan kecepatan tempuh minimal rata-rata.

 

“Jadi, seharusnya kalau indikator-indikator SPM itu belum bisa dipenuhi, kenaikan tarif tol tak bisa dilakukan. Ini sama saja masyarakat dipaksa membayar lebih mahal untuk pelayanan yang masih buruk,” sebutnya.

 

Mesti dibatalkan

Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Soesiantomo menilai pemerintah mestinya tidak hanya sekedar menunda kenaikan tarif tol ini, tetapi semestinya dibatalkan. Menurutnya pengintegrasian jalan tol yang berujung menaikan tarif tol di beberapa jalan berpotensi melanggar Pasal 48 UU Jalan. Menurutnya, terdapat indikasi kenaikan tarif tol terselubung dalam kebijakan tersebut, khususnya bagi para pengguna tol jarak pendek.

 

“Dan kenaikan itu sangat signifikan yaitu 57 persen dari tarif awal Rp9.500 menjadi Rp15.000. Padahal, jika mengacu UU, dengan inflasi hanya 3 persen per tahun, maka kenaikan maksimal hanya 6 persen,” dalihnya.

 

Dia meminta pemerintah sebagai regulator fokus untuk mengingatkan dan mengawasi pengelolaan jalan tol oleh operator agar memenuhi SPM. Apalagi, hasil audit BPK menemukan banyak persoalan dalam pengelolaan tol mulai dari SPM yang tidak dipenuhi, hingga penetapan tarif yang membebani masyarakat

 

Berdasarkan hasil evaluasi BPK terhadap pengelolaan di beberapa ruas jalan tol di Jawa sejak 2014-2016 setidaknya menemukan beberapa persoalan. Yakni, proses penilaian pemenuhan SPM belum memadai; beberapa jalan tol tidak memenuhi standar pada aspek kelancaran lalu lintas. Begitu pula dengan kebijakan penerapan integrasi sistem pembayaran pada jalan tol Trans Jawa dalam menghadapi lalu lintas Lebaran Tahun 2016 tidak didukung kajian/rencana antisipasi yang memadai dampaknya.

 

“Intinya, kenaikan tarif tol belum mempertimbangkan pemenuhan pelayanan atas kelancaran lalu lintas,” imbuhnya.

 

Efisiensi jarak tempuh

Sebelumnya, dalam siaran persnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) menunda penerapan Integrasi Sistem Transaksi Tol Jalan Tol JORR untuk memberi kesempatan Badan Pengatur Jalan Tol dan BUJT mensosialisiasikan secara  intensif kepada masyarakat. Kementerian PUPR menilai kualitas layanan jalan tol melalui integrasi sistem ini untuk meningkatnya efisiensi waktu jarak tempuh karena transaksi hanya dilakukan satu kali.

 

Bila pengguna jalan tol ruas tol JORR sebelumnya melakukan 2-3 kali transaksi untuk perjalanan lintas-seksi per ruas. Belum lagi, tol JORR dikelola oleh operator BUJT yang berbeda-beda. Dengan begitu, masing-masing ruas tol memiliki gerbang pembayaran. Dengan adanya integrasi sistem transaksi, maka lima gerbang tol akan dihilangkan yaitu gerbang tol Meruya Utama, Meruya Utama 1, Semper Utama, Rorotan, dan Pondok Ranji sayap arah Bintaro, sehingga kemacetan di tengah ruas tol diharapkan akan berkurang.

 

“Transaksi hanya akan dilakukan satu kali pada gerbang tol masuk (on-ramp payment),” demikian bunyi siaran pers dari Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR, Rabu (20/6/2018).

 

Kementerian PUPR berharap penyesuaian tarif tol dapat menjawab kebutuhan pelaku usaha logistik yang mampu mendorong truk/kontainer dalam memanfaatkan jalan tol, hingga mengurangi beban jalan arteri. “Melalui penyederhanaan sistem transaksi akan berlaku sistem terbuka dengan pemberlakuan tarif tunggal, dimana pengguna tol - sesuai golongan kendaraannya - akan membayar besaran tarif tol yang sama tanpa memperhitungkan jauh dekatnya jarak tempuh.”

Tags:

Berita Terkait