Hakim Tawarkan Tiga Konsep Peradilan Adat
Berita

Hakim Tawarkan Tiga Konsep Peradilan Adat

Belajar dari Eritrea dan Papua Nugini

ALI
Bacaan 2 Menit
Hakim Tawarkan Tiga Konsep Peradilan Adat
Hukumonline

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Lilik Mulyadi mengusulkan tiga konsep peradilan adat yang dapat diterapkan di sistem peradilan nasional. Usulan ini dia sampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat di Jakarta, Kamis (10/10).

“Bagaimana konsep peradilan adat mendatang? Saya menawarkan tiga konsep,” ujarnya ketika menjadi pembicara dalam KTT tersebut.

Pertama, peradilan adat bersifat mandiri. Konsep ini menawarkan peradilan adat sebagai lingkungan peradilan kelima, setelah peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer. Konsep ini baru bisa diterapkan bila pemerintah dan DPR menindaklanjuti melalui perubahan peraturan perundang-undangan.

Kedua, peradilan adat masuk ke dalam kamar peradilan umum. Lilik menawarkan konsep ini dengan menyandingkan pengadilan adat berada dalam posisi sejajar dengan pengadilan negeri di dalam peradilan umum. “Saya usulkan nanti personil (hakim,-red) nya adalah gabungan antar hakim karier dan hakim ad hoc,” ujarnya.

Hakim ad hoc yang ditawarkan oleh Lilik kelak bukan bersifat permanen seperti hakim ad hoc yang ada sekarang ini di sejumlah peradilan khusus di bawah peradilan umum. “Kalau ada perkara, lalu bisa menunjuk hakimnya. Manfaatnya dari segi SDM dan Keuangan Negara itu memungkinkan,” tambah dosen di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya ini.

Status pengadilan adat juga bisa diposisikan dengan pengadilan khusus lainnya, seperti pengadilan hubungan industrial (PHI) dan pengadilan niaga. “Perkara adat ditempatkan secara khusus sehingga upaya hukum juga harus khusus. Upaya hukumnya tak ada banding, langsung kasasi ke MA, sama seperti PHI dan Pengadilan Niaga,” ujarnya.

Ketiga, tak perlu dibentuk pengadilan adat tetapi cukup memanfaatkan pengadilan yang sudah ada saat ini. Yakni, mendorong para hakim menggali nilai-nilai adat ketika akan memutuskan suatu perkara. “Konsep ini sudah diterapkan saat ini. Misalnya, bagaimana hakim memutus perkara waris di padang dan sebagainya dengan menggali nilai adat,” ujarnya. 

Tantangannya adalah Mahkamah Agung (MA) harus menempatkan para hakim yang tepat dan memahami hukum adat di suatu daerah dimana mereka ditempatkan. “Konsep mutasi dan promosi di MA harus mensyaratkan bahwa hakim yang bersangkutan memahami dan bisa menggali nilai-nilai adat dalam masyarakat dimana dia bertugas,” tambahnya.

Lebih lanjut, Lilik mengatakan posisi hukum adat di peradilan nasional saat ini seperti antara ada dan tiada. Di satu sisi, hukum adat memang benar-benar ada dan eksis, tetapi di sisi lain pemerintah dan DPR belum memformalkan pengakuan eksistensi hukum adat ini ke dalam peraturan perundang-undangan.

Peneliti Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Rikardo Simarmata mengatakan Indonesia bisa mencontoh negara Eritrea dan Papua Nugini yang telah sukses menghidupkan hukum adat ke peradilan nasional mereka.

Rikardo menjelaskan Eritrea merupakan satu-satunya negara di Sub Sahara Afrika yang hampir semua hukum adatnya dituliskan, yakni ada 23 dari 27 golongan hukum adat. Pada 1992, pemerintah Eritrea membentuk peradilan desa sebagai peradilan tingkat pertama, tetapi kebijakan ini tak berhasil.

“Selanjutnya, pada 2003 dibentuk Peradilan Komunitas sebagai kombinasi dari peradilan adat dan peradilan perdamaian. Peradilan komunitas didudukan sebagai peradilan tingkat pertama di bawah pengadilan distrik, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung,” jelasnya.

Peradilan Komunitas ini menangani kasus-kasus kehidupan sehari-hari yang tidak kompleks seperti perkara perdata (sengketa batas tanah, benda bergerak dan tidak bergerak dengan nilai tertentu) dan pidana (intimidasi, kerusakan harta milik disebabkan ternak dll). Hakim menggunakan hukum negara dan adat ketika menyelesaikan kasus tersebut.

Kebijakan ini pun akhirnya efektif. “Sejak 2003, sengketa yang diselesaikan di Peradilan Komunitas sebanyak 60 persen (dari total kasus yang masuk,-red),” ujanrya.

Sedangkan, di Papua Nugini, peradilan adat yang sukses berada di Bougainville –sebuah negara bagian (provinsi) di Papua Nugini-. Pada 2008, pemerintah Papua Nugini mengadakan asesmen terhadap daerah otonom itu dan menyimpulkan bahwa peradilan formal tak memadai untuk merespn kebutuhan masyarakat dan tidak memberdayakan masyarakat dalam penyelesaian sengketa.

Berdasarkan asesmen itu, lanjut Rikardo, pemerintah menunjuk Pusat Perdamaian dan Rekonsiliasi Bougainville untuk melatih masyarakat mengenai penyelesaian konflik terutama melalui mediasi. “Masyarakat merasakan dampak positif dari pelatihan-pelatihan tersebut,” ujarnya.

Beberapa alasannya adalah para pihak jadi merasa mendapat informasi yang memadai mengenai hak-haknya; peradilan informal/adat dianggap objektif dan tidak bias; peradilan informal/adat dianggap mampu memulihkan keharmonisan kelompok; dan terdapat perubahan kesadaran serta perilaku mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Tags:

Berita Terkait