Hakim Tak Salah Jika Adopsi Ketentuan Hukum Internasional
Edsus Akhir Tahun 2014

Hakim Tak Salah Jika Adopsi Ketentuan Hukum Internasional

Awalnya, penerapan precautionary principle di dalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Kini, telah terwujud dalam sistem hukum nasional.

KAR
Bacaan 2 Menit
Hakim Tak Salah Jika Adopsi Ketentuan Hukum Internasional
Hukumonline

Bayangkan, jika banyak beredar kapas transgenik yang mengandung unsur berisiko di pasaran saat ini. Bisa jadi, banyak jenis hama yang resisten terhadap insektisida, keanekaragaman hayati terganggu karena banyak gulma yang sulit diberantas, bahkan mungkin banyak hewan dan manusia yang keracunan. Untunglah, PP No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika mewajibkan penerapan asas kehati-hatian. Dengan demikian, pemanfaatan produk-produk transgenik kini cukup ketat.

Bahkan, kini penerapan asas kehati-hatian (precautionary principle) tak hanya terbatas pada masalah terkait produk-produk transgenik. Precautionary principle telah menjelma sebagai prinsip pengelolaan lingkungan yang umum. Perwujudan itu secara nyata tercermin dalam Pasal 2f UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan harus didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian.

Mungkin, pengaturan mengenai penerapan asas kehati-hatian itu belum akan terbit jika Dedi dkk. tak menggugat Perum Perhutani dan Pemerintah tatkala longsor terjadi di Gunung Mandalawangi. Pasalnya, kemunculan penerapan asas kehati-hatian dalam peraturan perundang-undangan memang baru terjadi pascaadanya putusan pengadilan mengenai gugatan Dedi dkk.

Dedi, memang bukanlah sarjana hukum yang menjunjung penerapan hukum progresif. Tetapi, perkara yang diajukan bersama beberapa rekannya itulah yang membawa penerapan hukum progresifdi bidang lingkungan hidup. Sesungguhnya, Dedi bersama Hayati, Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, dan Mahmud melakukan gugatan perwakilan (class action) hanya untuk mencari keadilan atas peristiwa longsor di kawasan Gunung Mandalawangi. Sebab, longsor itu melenyapkan harta benda dan merenggut nyawa sanak saudara mereka.

Para warga dari Kecamatan Kadung Ora, Kabupaten Garut, Jawa Barat itu menggugat Direksi Perum Perhutani untuk bertanggung jawab atas strict liability terhadap kerugian yang dialami. Sebab mereka yakin, longsor berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani. Para warga juga menggugat Presiden RI, Gubernur Jawa Barat, Menteri Kehutanan, dan Bupati Garut karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pemerintah dinilai melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.

Pada tanggal 28 Agustus 2003, Pengadilan Negeri Bandung dalam putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG mengabulkan sebagian gugatan Dedi dkk. Hakim berpendapat bahwa Direksi Perhutani, Menteri Kehutanan, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Garut bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak bencana lonsor itu. Oleh karena itu, majelis memutuskan harus ada recoverydan rehabilitasi di kawasan Gunung Mandalawangi. Selain itu, warga yang menjadi korban longsor berhak mendapat ganti rugi sebesar Rp10 miliar.

“Negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas majelis hakim dalam pertimbangannya.

Para terhukum rupanya tak puas dengan putusan tersebut. Perkara itu kemudian dibawa ke tingkat banding. Namun, Pengadilan Tinggi Bandung justru menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan PT Bandung No. 507/PDT/2003/PT.Bdg tanggal 5 Februari 2004 hanya menambah perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansinya.

Proses hukum kemudian berlanjut hingga tingkat kasasi. Lagi-lagi MA menguatkan putusan yang ada. Akan tetapi yang menarik adalah pertimbangan hakim yang mencerminkan penerapan hukum progresif. Pasalnya, hakim mengadopsi ketentuan hukum internasional asas kehati-hatian (precautionary principle) yang belum menjadi bagian sistem hukum nasional. Hakim beralasan, ketentuan yang diadopsi merupakan ius cogen, norma yang diterima masyarakat internasional secara keseluruhan dan tidak dapat dilanggar.

MA berpendapat bahwa dalam kasus ini hakim harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan precautionary principle, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and Development). Hal ini dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak.

MA mengakui, saat itu prinsip kehati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia. Tetapi, karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka MA berpendapat bahwa semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktik.

“Hakim tidak salah menerapkan hukum bila ia mengadopsi ketentuan hukum internasional. Penerapanprecautionary principle di dalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum,” tegas majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya.

Kini sejarah mencatat, Putusan MA No. 1794 K/Pdt/2004 yang memenangkan Dedi dkk. itu benar-benar progresif. Ia hadir sebagai tonggak pengaturan asas kehati-hatian dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tags: