Hakim Sulit Tegakkan Keadilan Restorasi
Berita

Hakim Sulit Tegakkan Keadilan Restorasi

Hukum acara mengharuskan hakim memutus perkara yang sudah masuk ke pengadilan.

Ali
Bacaan 2 Menit
Aturan KUHAP hambat hakim terapkan keadilan restorasi.<br> Foto: ilustrasi (Sgp)
Aturan KUHAP hambat hakim terapkan keadilan restorasi.<br> Foto: ilustrasi (Sgp)

Desakan agar aparat hukum menegakkan restorative justice atau keadilan restorasi semakin menguat. Keadilan restorasi merupakan pendekatan ‘penghukuman’ yang melibatkan terdakwa dan korban. Outputnya, tercapai win-win solution antara kedua belah pihak, bukan semata-mata menghukum berat si terdakwa.

 

Hakim Agung Rehngena Purba mengatakan prinsipnya kalangan hakim setuju untuk menegakkan restorative justice agar korban benar-benar memperoleh keadilan. “Kita sepakat dengan konsep ini,” ujarnya dalam sebuah seminar di Jakarta, Jumat (27/5).

 

Namun, lanjutnya, ada ketentuan hukum acara yang tak boleh dilanggar oleh para hakim dalam menangani perkara. Dalam KUHAP, hakim tidak boleh menghentikan perkara bila sebuah perkara sudah masuk ke persidangan. “Bagaimana kita mau melaksanakan? Kita di MA tidak boleh melanggar di KUHAP,” kata Rehngena. 

 

Bila sebuah perkara sudah terlanjur disidangkan, maka ‘perdamaian’ sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Khususnya dalam perkara-perkara pidana. “Maksimal kami hanya bisa meringankan hukuman saja, bukan menghentikan perkara,” ujarnya lagi.

 

Rehngena menuturkan hanya dalam perkara-perkara tertentu saja hakim bisa menegakkan restorative justice. Misalnya, dalam perkara yang melibatkan anak. Pasalnya, ini didukung oleh aturan ‘hukum acara’ khusus dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

 

Pasal 56 ayat (1) berbunyi Sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.

 

Menurut Rehngena, pada tahap ini hakim bisa mengedepankan keadilan restorasi untuk ‘mendamaikan’ anak yang menjadi pelaku kejahatan dengan korban. “Pada tahap ini, sidang belum dibuka,” ujarnya.

 

Namun, lanjut Rehngena, ada beberapa perkara pidana yang memiliki karakteristik berbeda sehingga tidak mungkin menggunakan pendekatan restorative justice. “Ada beberapa perkara yang tidak bisa, seperti perkara terorisme, narkotika dan lain sebagainya,” tuturnya.

 

Rehngena berharap kelak ada aturan internal Mahkamah Agung (MA) yang memberi pedoman kepada para hakim untuk bisa menegakkan restorative justice dengan mudah. “Mungkin nanti kita perlu Perma (Peraturan Mahkamah Agung,-red),” katanya.

 

Sementara hakim mengaku masih perlu aturan internal, penegak hukum lainnya sudah merasakan dampak penerapan resrorative justice bagi pekerjaan mereka. Teguh Suhendro, Jaksa dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menuturkan saat ini perkara pencurian sudah mulai terseleksi ke meja jaksa penuntut umum.

 

Hal ini disebabkan, jelas Teguh, adanya aturan internal dari Kapolri yang menyatakan untuk perkara pencurian dengan nilai yang kecil, seperti kasus Nenek Minah, tidak perlu diteruskan ke JPU. “Dampaknya, sekarang kami tidak terlalu banyak mengurusi perkara-perkara pencurian yang kecil,” pungkasnya.

Tags: