Hakim PN Balikpapan Tersangka Suap, MA Terus Berbenah
Utama

Hakim PN Balikpapan Tersangka Suap, MA Terus Berbenah

Hakim Kayat justru menawarkan kepada Sudarman melalui kuasa hukumnya untuk mengurus perkara. Meski prihatin, penangkapan hakim PN Balikpapan ini, tidak menyurutkan langkah dan kerja keras serta keseriusan MA untuk terus berbenah.

Aji Prasetyo/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Penyidik KPK saat menunjukan barang bukti uang suap yang melibatkan Hakim PN Balikpapan Kayat di Gedung KPK, Sabtu (4/5). Foto: RES
Penyidik KPK saat menunjukan barang bukti uang suap yang melibatkan Hakim PN Balikpapan Kayat di Gedung KPK, Sabtu (4/5). Foto: RES

Kode Etik Profesi dan Pedoman Hakim (KEPPH) dalam segi Berintegritas Tinggi di poin 5.1.3 menyebut harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.

 

Kemudian pada poin 5.1.7. ada juga larangan Hakim melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

 

Dua poin ini tampaknya tidak diindahkan Kayat, hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan karena diduga menerima uang suap Rp100 juta dari komitmen fee sebesar Rp500 juta. Kemudian Kayat ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menariknya, Kayat bukan pelaku pasif.

 

Ia aktif menagih uang yang sebelumnya dijanjikan seorang pengusaha bernama Sudarman melalui pengacaranya Johnson Siburian. Hal ini terjadi setelah sebulan pembacaan putusan Sudarman yang menjadi terdakwa kasus pemalsuan surat. 

 

Dalam perkara bernomor 697/Pid.B/2018/PN Bpp, Sudarman divonis lepas karena tuntutan tidak dapat diterima. Padahal penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Balikpapan yang dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Balipapan bernama M. Mirhan menuntut selama 5 tahun. 

 

"Tanggal 2 Mei 2019, JHS (Johnson Siburian) bertemu KYT (Kayat) di PN Balikpapan. KYT menyampaikan akan pindah tugas ke Sukoharjo, menagih janji fee dan bertanya, oleh-olehnya mana?" kata Wakil Ketua KPK Laode Syarif di kantornya, Sabtu (4/5/2019).

 

Dalam konstruksi perkara, Syarif menjelaskan pada tahun 2018, Sudarman dan dua terdakwa lain di sidang di PN Balikpapan dengan Nomor Perkara 697/Pid.B/2018/PN Bpp dalam kasus pemalsuan surat. 

 

Setelah sidang, Kayat selaku hakim bertemu dengan Johnson yang merupakan kuasa hukum Sudarman dan menawarkan bantuan dengan imbalan Rp500 juta jika ingin kliennya bebas. Sudarman belum bisa memenuhi permintaan tersebut, namun ia menjanjikan akan memberikan Rp500 juta jika tanahnya yang ada di Balikpapan sudah laku terjual.

 

Untuk memberikan keyakinan pada Kayat, Sudarman sampai menawarkan agar memegang sertifikat tanahnya dan akan memberlkan uang seteIah tanahnya laku terjual. Namun Kayat menolak dan meminta imbalan diserahkan dalam bentuk tunai saja.

 

"Desember 2018 SDM dltuntut pidana 5 tahun penjara, beberapa hari kemudian masih di bulan Desember 2018, SDM diputus lepas dengan tuntutan tidak dlterima. Akibat putusan tersebut, SDM dibebaskan," terang Syarif. 

 

Sekitar sebulan setelah pembacaan putusan uang belum kunjung diserahkan. Disinilah Kayat menagih janji Sudarman melalui Johnson selaku kuasa hukumnya karena dirinya akan segera pindah tugas ke Sukoharjo. 

 

Pada 3 Mei 2019, karena sudah mendapat uang muka dari pihak pembeli tanahnya, Sudarman mengambil uang sebesar Rp250 juta di sebuah bank di Balikpapan. Dari jumlah tersebut, Rp200 juta ia masukan ke dalam kantong plastik hitam, dan Rp50 juta ia masukan ke dalam tasnya.

 

"Kemudian ia menyerahkan uang Rp200 juta kepada JHS dan RIS (Rosa Isabella) untuk diberikan pada KYT di sebuah Restoran Padang," jelas Syarif. 

 

Selanjutnya, pada 4 Mei 2019, Rosa dan Johnson menyerahkan uang sebesar Rp100 juta kepada Kayat di PN Balikpapan. Sedangkan Rp100 juta lainnya dltemukan di kantor Johnson yang diketahui berasal dari kantor hukum Jodi Advokat & Legal Consultant. 

 

Kamuflase

Penangkapan ini berawal saat Tim KPK mendapat informasi akan ada penyerahan uang dari Johnson ke Kayat yang diduga untuk membebaskan Sudarman dari perkara pidana dengan Dakwaan Penipuan yang disidangkan di PN Balikpapan.

 

Sekitar pukul 17.00 WITA Jumat, 3 Mei 2019 di halaman parkir depan PN Balikpapan, Rosa terllhat berjalan ke arah mobil milik Kayat yang diparkir di depan PN Balikpapan membawa sebuah kantong kresek plastik hitam (dua lapis) berisikan uang Rp100 juta. Saat RIS sampai di mobil dan ingin meletakkan uang tersebut mobil dalam keadaan terkunci. Kemudian Rosa menghubungi Kayat agar membuka kunci mobil. 

 

"KYT diduga membuka kunci mobil dari kejauhan menggunakan remote control. Setelah mobil terbuka, JHS mendatangi RIS dan meletakkan uang dalam plastik kresek di kursi mobil silver dan kemudian satu lapis kresek hitam lain digunakan untuk membawa botol minuman bekas sambil berjalan menjauhi mobil tersebut," jelasnya. 

 

KPK menduga cara ini digunakan sebagai kamuflase. "Agar seolah-olah tetap terlihat membawa kantong kresek hitam meskipun uang telah ditinggalkan di mobil KYT," tuturnya. 

 

Tidak lama berselang, setelah Rosa dan Johnson pergi, Kayat datang ke mobilnya kemudian tim segera mengamankannya dengan barang bukti uang sebesar Rp100 juta di dalam tas kresek hitam yang ada di mobil tersebut serta uang Rp28,5 juta yang ada di tas KYT. 

 

Tim lain juga mengamankan Jhonson dan Rosa yang masih berada di lingkungan PN Balikpapan. Kemudian tim menuju rumah Sudarman di daerah Jalan Soekarno Hatta, Balikpapan. Di sana, sekitar pukul 19.00 WITA, tim mengamankan yang bersangkutan. 

 

Terkait uang Rp28,5 juta itu sendiri, Syarif melanjutkan pihaknya masih mendalami apakah masih merupakan bagian dari komitmen imbalan dalam perkara yang sama atau perkara lainnya. 

 

Setelah melakukan permintaan keterangan sebelum batas waktu 24 jam seperti diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, maka disimpulkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di PNi Balikpapan pada tahun 2018.

 

Lalu, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Diduga menerima suap yaitu Kayat, hakim di PN Balikpapan. Ia disangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor.

 

Sementara sebagai pemberi suap yaitu Sudarman dan Johnson Siburian. Keduanya disangkakan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan ketiganya ditahan di lokasi berbeda selama 20 hari ke depan demi kelancaran proses penyidikan. "SDM di Rutan C-1 KPK, JHS di Rutan Guntur, KYT di Rutan K-4 KPK," katanya. 

 

Ditindak tegas

Terpisah, Mahkamah Agung (MA) membenarkan KPK telah melakukan operasi tangkap tangan dengan mengamankan seorang hakim dan panitera muda pidana di PN Balikpapan, Kalimantan Timur pada Jumat (3/5). Saat ini MA masih menunggu hasil pemeriksaan sementara KPK. "Kami menghubungi Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, ternyata benar seorang hakim dan panitera muda pidana di PN. Balikpapan diamankan KPK, selebihnya pengacara dan pihak swasta," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Sabtu (4/5/2019).

 

Andi mengatakan MA akan mengambil tindakan tegas bila hakim dan panitera yang bersangkutan memang terbukti terlibat dalam kasus suap tersebut. "Bukan hanya hakim atau panitera yang bersangkutan ditindak, tetapi atasannya pun (Ketua PN Balikpapan) bisa kena tindakan jika lalai atau tidak maksimal melakukan pembinaan dalam tanggung jawabnya sebagai ketua," ujar Andi.

 

Lebih lanjut Andi mengatakan berdasarkan informasi dari Ketua PT Kalimantan, pada saat ini Ketua PN Balikpapan sedang mengikuti pelatihan pembangunan zona integritas di Yogyakarta. "Tentu MA merasa prihatin atas OTT yang menjerat hakim dan panitera ini, karena sebenarnya kami tidak hentinya melakukan pembinaan dan pengawasan, tetapi ya itulah yang terjadi," kata Andi.

 

Menurutnya, berulangnya penangkapan hakim bukan MA tidak serius melakukan pembinaan dan pengawasan. Bahkan, pada tahun 2017/2018  lalu MA telah mencanangkan tahun pembersihan terhadap oknum aparat peradilan yang melakukan perbuatan tercela. “MA tidak main-main melakukan pembersihan dengan melibatkan KPK untuk menangkap dan menindak oknum aparatur peradilan yang melakukan suap dan jual beli perkara,” lanjutnya.

 

Dalam berbagai kesempatan, lanjutnya, Ketua MA selalu menekankan tidak akan memberi toleransi kepada aparatur peradilan yang terbukti melanggar. Bagi yang tidak bisa dibina terpaksa akan “dibinasakan” agar virusnya tidak menyebar kepada yang lain. Dalam upaya meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang efektif, MA sebenarnya telah menerbitkan beberapa Perma dan Maklumat yang berkaitan dengan Pembinaan dan Pengawasan ini.

 

“Di satu sisi, tentu kami merasa prihatin atas terjadinya lagi penangkapan hakim PN. Balikpapan, Kayat. Tapi, di sisi lain kami merasa optimis, Insya Allah, meski dinodai perilaku segelintir aparatur peradilan yang merendahkan wibawa dan martabat peradilan, namun tidak menyurutkan langkah dan kerja keras serta keseriusan MA untuk berbenah.”

 

Sebelumnya, pada Jumat (3/5) malam, KPK mengamankan lima orang termasuk seorang hakim dan panitera muda pidana PN Balikpapan. Kemudian, mereka dibawa ke Polda Balikpapan untuk diperiksa. KPK juga mengamankan sejumlah uang (Rp100 juta) yang diduga merupakan bagian dari permintaan (suap) sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait