Hakim Pailitkan Televisi Pendidikan Indonesia
Utama

Hakim Pailitkan Televisi Pendidikan Indonesia

Majelis hakim menilai TPI memiliki lebih dari dua kreditur. Pembuktian pailit dapat dilakukan secara sederhana. Akibatnya, perusahaan pengelola stasiun televisi pendidikan itu dipailitkan. TPI bersiap kasasi.

Mon
Bacaan 2 Menit
TPI
TPI

Setelah dua kali dimohonkan pailit, akhirnya PT Televisi Pendidikan Indonesia dinyatakan pailit. Putusan pailit itu dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Maryana, Rabu (14/10) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. “Permohonan pailit berdasarkan hukum dapat dikabulkan,”  kata Maryana saat membacakan putusan.

 

Dalam putusan perkara No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST itu majelis hakim mengangkat dua kurator untuk mengurus harta pailit TPI. Yakni, Safitri H. Saptogino dan William Edward Daniel. Hakim yang akan mengawasi proses kepailian adalah Nani Indrawati.

 

Majelis hakim menilai Crown Capital Global Limited terbukti sebagai kreditur dari TPI karena memiliki Subordinated Bones Purchase Agreement (obligasi) senilai AS$53 juta dolar. Obligasi itu diterbitkan pada 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Obligasi itu berbentuk obligasi atas unjuk sehingga siapapun yang membawa dan menunjukan surat utang itu dapat mengajukan tagihan.

 

Namun ketika jatuh tempo, TPI tak jua melunasi utang obligasi. Pemohon lalu mengirimkan dua kali somasi agar televisi pendidikan itu melaksanakan kewajiban. Menurut pemohon pailit, hasilnya masih nihil, TPI masih membandel. Walhasil, pemohon lalu mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

 

Menurut majelis utang tersebut terbukti belum dilunasi hingga kini. Hal itu mengacu dari laporan keuangan tahun buku yang berakhir pada 31 Desember 1999 hutang belum dilunasi. Begitupula dalam laporan keuangan tahun buku 2000, due diligence 1 Januari 2000 hingga 30 Juni 2000, serta laporan keuangan 31 Desember 2005. Dalam laporan keuangan itu disebutkan TPI memiliki utang obligasi sebesar AS$53 juta dolar.

 

Dalam pada neraca keuangan TPI pada 2007 dan 2008, utang obligasi itu tak tercantum lagi. Meski demikian majelis hakim berpendapat sepanjang persidangan tidak ada pihak yang membuktikan pelunasan tagihan pada 2007 dan 2008. Menurut majelis apakah utang itu dihapuskan atau dihilangkan dari laporan keuangan menjadi urusan administrasi internal TPI.

 

TPI bukannya membantah argumentasi pemohon. Malah TPI sengaja menghadirkan dua orang saksi ke persidangan, yakni Direktur TPI Erwin Andersen dan Direktur PT Global Mediacom, Tbk Budi Rustanto. Keduanya memastikan bahwa utang obligasi sudah lunas. Kesaksian Erwin dan Budi Rustanto ditepis majelis karena keduanya memiliki keterkaitan dengan TPI, sehingga terbuka kemungkinan kesaksian mereka conflict of interest.

 

Bukti laporan pencurian lembar obligasi yang diajukan TPI tidak menguatkan argumen kuasa hukum TPI. Sebelumnya, kuasa hukum TPI menyatakan obligasi itu hanya akal-akalan untuk menutupi dugaan penggelapan uang TPI yang dilakukan oleh Siti Hardiyanti Rukmana. Utang telah dilunasi pada 23 Desember 1996 melalui transfer lewat BNI. Meski sudah lunas, lembar asli obligasi berada di Shadik Wahono, orang yang diduga tanan kanan Tutut. Shadik diduga mencuri obligasi itu untuk menagih pada TPI melalui dua perusahaan, yakni Fillago Limited dan Crown Capital.

 

Majelis hakim berpendapat laporan ke kepolisian itu belum dapat membuktikan ketidakabsahan obligasi yang ada di tangan pemohon. Permintaan pelunasan dengan transfer lewat BNI, kata majelis hakim, tidak ada kaitannya dengan obyek permohonan pailit, yakni obligasi. Sebab ketika itu, TPI belum menerbitkan obligasi.

 

Pembuktian Sederhana

Majelis hakim menilai permohonan pailt Crown Capital memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebab terbukti bahwa Crown Capital memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. TPI juga memiliki lima kreditur lain. Dengan demikian syarat pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juga terpenuhi.

 

TPI berutang kepada Asian Venture Finance Limited sebesat AS$10,325 juta. Utang atas pembiayaan kendaraan pada PT U Finance Indonesia sebesar Rp274,077 juta. Selain itu, TPI juga berutang kepada Yayasan TVRI sebesar Rp2,991 miliar serta PT Media Nusantara Cipta Tbk sebesar Rp195,109 miliar dan Rp155,500 miliar yang jatuh tempo pada 2009.

 

Usai bersidang, kuasa hukum TPI, Marx Andryan menyatakan putusan majelis hakim terlalu dipaksakan. Ada beberapa bukti yang tidak dipertimbangkan majelis hakim, antara lain bukti pelunasan utang. “Kita pasti akan mengajukan kasasi,” ujar Marx.

 

Sementara, kuasa hukum Crown Capital Ibrahim Senen menyatakan menghargai putusan majelis hakim. Menurut Ibrahim putusan sesuai dengan fakta hukum di persidangan. “Harapannya dengan putusan ini TPI bisa menyelesaikan kewajiban membayar utang,” ujar Ibrahim.

 

Tags:

Berita Terkait